Liputan6.com, Jakarta - Netflix memiliki 481.450 pelanggan di Indonesia pada 2019, dan diperkirakan naik dua kali lipat pada 2020 menjadi 906.800. Demikian menurut data dari Statista.
Namun, biaya langganan yang dibayar oleh pengguna mengalir ke anak perusahaan Netflix di Belanda yaitu Netflix International B.V.
Bila 481.450 pelanggan di Indonesia berlangganan paket paling murah, maka Netflix B.V. meraup Rp 52,48 miliar per bulan. Artinya, selama setahun Indonesia sudah merugi Rp 629,74 miliar.
Kerugian yang dialami Indonesia, lantaran Netflix belum menyandang status Badan Usaha Tetap (BUT). Pada dasarnya, setiap perusahaan Over The Top (OTT) seperti Netflix, harus membuat BUT.
Baca Juga
Advertisement
Ketetapan kewajiban pembuatan BUT itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 mengenai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
"Potensi kerugian itu dihitung kira-kira berdasarkan jumlah subscriber. Ini semua perkiraan ya atau hitungan kasarnya," kata Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi saat acara diskusi di Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Maka itu, untuk bisa menjerat pajak Netflix CS, maka pemerintah harus terlebih dahulu mengklasifikasikan bentuk usaha Netflix di Indonesia. Hal ini bertujuan mempermudah pemerintah untuk mengetahui tindakan yang akan diambil jika nanti ada pelanggaran hukum, termasuk dalam hal ini pembayaran pajak.
"Dasar hukumnya harus jelas. Sekarang masih bertanya-tanya, katanya melanggar, tapi penegak hukum tidak bisa langsung mengambil langkah. Ada konten yang melanggar, tapi kita tidak bisa take down," jelasnya.
DPR Dorong Pemerintah Cepat Tarik Pajak dari Netflix
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong pemerintah segera menemukan formula terbaik untuk bisa menarik pajak dari para pemain over-the-top (OTT) di Indonesia, termasuk Netflix.
Netflix, seperti sejumlah layanan OTT lain di Indonesia, sampai saat ini belum menjadi Badan Usaha Tetap (BUT), sehingga pemerintah belum bisa menarik pajak.
"Kami ingin pemerintah cepat menemukan formula untuk menarik pajak dari Netflix, yang bahkan sampai sekarang belum juga menjadi BUT," kata anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi, dalam diskusi Polemik Netflix: Antara Bisnis, Regulasi, dan Norma Sosial di Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Baca Juga
Menurutnya, pemerintah harus terlebih dahulu mengklasifikasikan bentuk usaha Netflix di Indonesia. Hal ini bertujuan mempermudah pemerintah untuk mengetahui tindakan yang akan diambil jika nanti ada pelanggaran hukum, termasuk dalam hal ini pembayaran pajak.
"Dasar hukumnya harus jelas. Sekarang masih bertanya-tanya, katanya melanggar, tapi penegak hukum tidak bisa langsung mengambil langkah. Ada konten yang melanggar, tapi kita tidak bisa take down," jelasnya.
Ia pun mencontohkan upaya Singapura untuk mendapatkan pajak dari layanan Netflix. Singapura melakukan perubahan pada Goods and Services Tax (GSD), yang kini mencakup layanan video streaming dan berlangganan online. Perubahan ini bertujuan untuk melindungi ritel lokal agar bisa bersaing dengan vendor luar negeri.
Mengutip laporan Business Insider, Netflix pada Desember 2020 mengatakan akan menaikkan harga paket layanannya di Singapura mulai 9 Januari 2020.
Advertisement
Sinergi Semua Pihak
Untuk menentukan klasifikasi Netflix, kata Bobby, pemerintah harus melihat pada unsur penyiran dan telekomunikasi di dalamnya.
Menurutnya, Netflix sebagai layanan video streaming terdiri dari kedua unsur tersebut. Hal ini untuk mempermudah menggatur regulasi mengenai layanan tersebut.
"Perlu ada gerakan dinamis aktif, dan yang pertama perlu dilakukan adalah mengingat klasifikasinya ada unsur penyiaran dan telekomunikasi. Sehingga, kedua UU yang berbeda ini jelas dasar hukumnya (untuk mengatur Netflix)," tuturnya.
Selain itu, ia menilai perlu ada sinergi lembaga-lembaga negara untuk mengawasi konten Netflix. Kerja sama dari masyarakat pun dibutuhkan untuk hal ini.
"Perlu sinergi lembaga negara untuk mengawasi konten Netflix. Kalau kita menunggu ada paket legislasi, akan lebih lama lagi. Bisa nanti apakah KPI bersama Kemkominfo, atau lembaga lain. Publik pun harus bersinergi untuk mengawasi konten-konten yang hadir atas serbuan fenomena layanan-layanan digital ini," ucapnya menutup pembicaraan.
Sumber: Merdeka.com
Reporter: Fauzan Jamaludin