Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pihak mendorong pemerintah, dalam hal ini Kemkominfo, untuk mencopot konten negatif di Netflix.
Kemkominfo sejauh ini belum pernah melakukan teguran kepada Netflix terkait dengan konten-konten streaming film-nya. Sebagaimana diketahui, banyak yang menganggap konten-kontennya itu ada yang berunsur pornografi.
Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Ferdinandus Setu punya alasan mengapa Netflix belum pernah mendapatkan teguran dari pihaknya.
"Persoalan teguran itu, belum pernah. Karena begini, Netflix belum digunakan secara massif. Maksudnya semua pengguna provider telekomunikasi bisa mengakses," kata pria yang akrab disapa Nando kepada Merdeka.com melalui sambungan telepon, Jumat (17/1/2020).
Baca Juga
Advertisement
"Telkom group misalnya, kan msh belum membuka blokir Netflix. Beda hal seperti Google. Kalau Google itu kan sudah digunakan banyak pengguna internet di Indonesia jadi ketika ada konten yang melanggar, pasti kami tegur," sambungnya.
Nando mengungkap, Netflix sebelumnya sudah pernah bertemu dengan Menkominfo Johnny G. Plate. Saat pertemuan itu, Menkominfo menyampaikan agar Netflix harus mengikuti setiap regulasi di Indonesia.
"Saat Pak Menteri bertemu dengan Netflix, beliau menyampaikan terkait dengan regulasi yang ada di Indonesia. Itu sebetulnya hal yang wajar. Sebab, Pak Menteri selalu menyampaikan aturan-aturan apa saja yang ada di Indonesia ketika bertemu dengan setiap platform digital," ujarnya memungkaskan.
YLKI Minta Kemkominfo Take Down Konten Negatif di Netflix
Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk memblokir konten Netflix yang bermuatan pornografi, SARA, dan melanggar norma kesusilaan.
Dia mengatakan Kemkominfo memiliki kewenangan untuk melakukan take down Netflix tanpa harus menunggu laporan dan keluhan dari masyarakat.
"Kewenangan take down di Kemkominfo, seharusnya tanpa perlu menunggu laporan masyarakat dan wajib melakukan monitoring. Kalau itu bertentangan, minimal menegur atau bisa take down Netflix. Jadi, ancaman itu bisa memperkuat posisi tawar Indonesia," tuturnya dalam keterangan resmi yang diterima, Kamis (16/1/2020).
Baca Juga
Selain itu, dia juga meminta Netflix untuk menghormati norma-norma yang berlaku di Indonesia dan menganjurkan masyarakat melaporkan konten-konten bermasalah di Netflix pada Kemkominfo.
"Seperti di Arab Saudi, siaran televisi dari Prancis menyesuaikan dengan norma yang berlaku di Arab Saudi, seharusnya Netflix menghormati norma-norma di Indonesia," tuturnya lebih lanjut.
Selain mendesak Kemkominfo melakukan take down konten yang tidak sesuai dengan norma di Indonesia, dia juga menyoroti sikap Netflix yang enggan membayar pajak.
"Ini persoalan fairness. Masa' mereka mau berbisnis di Indonesia, tapi tidak mau berkontribusi untuk pembangunan infrastruktur," ujarnya.
Advertisement
Atur Netflix Cs, Indonesia Perlu Perpres Layanan Digital
Sebelumnya, anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi, mengusulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat peraturan presiden (Perpres) untuk menjembatani semua yang diperlukan dalam mengatur dan mengawasi layanan-layanan digital, termasuk Netflix.
"Perpres bisa menutupi semuanya. Celah hukum yang ada bisa diibaratkan, bisa ditutup oleh Perpres," tutur Bobby di acara diskusi "Polemik Netflix: Antara Bisnis, Regulasi, dan Norma Sosial" di kawasan Jakarta, Kamis (16/1/2020).
"Perpres itu kiranya bisa melingkupi kekosongan hukum yang ada, sebagai dasar nantinya bagi para penegak hukum. Ini salah satu contoh regulasi yang bisa disiapkan," sambungnya.
Komentar Pengamat
Hal senada disampaikan oleh pengamat Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK), Heru Sutadi. Menurut dia, mengatur layanan-layanan digital yang beroperasi di Indonesia membutuhkan kerja sama berbagai lembaga.
"Jadi memang ini tidak bisa diatur oleh satu lembaga. Kalau tidak bisa, seharusnya diatur melalui peraturan bersama menteri, atau PP (Peraturan Pemerintah), atau Perpres," tutur Heru.
Dalam jangka panjang, kata Heru, sebaiknya memang dibuat Undang-Undang (UU) sebagai payung hukum untuk layanan digital di Indonesia. Sayangnya, pembuatan UU memakan waktu yang tidak sebentar, sedangkan layanan digital semakin berkembang.
"Kalau misalnya jangka panjang harus ada UU, tapi UU itu tidak mudah. Dari pengalaman kami, (R)UU Penyiaran saja sampai sekarang belum terwujud," ungkapnya.
Sumber: Merdeka.com
Reporter: Fauzan Jamaludin
Advertisement