Liputan6.com, Pelalawan - Alat berat Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) terus menumbangkan pohon sawit di lahan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan, Riau. Sejak Jumat pekan lalu hingga Selasa pekan ini, sudah ada 300 hektare lahan dieksekusi.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018, ada 3323 hektare target eksekusi lahan. Seluas 1.280 hektare di antaranya merupakan lahan plasma atau milik warga, sisanya milik PT PSJ.
Baca Juga
Advertisement
Esekusi ini bakal sampai ke lahan plasma sehingga membuat ratusan warga berupaya mengadang petugas. Mereka tak takut berhadapan dengan aparat bersenjata demi mempertahankan satu-satunya mata pencaharian.
Minggu petang, 19 Desember 2020, situasi di lokasi sempat mencekam. Warga yang awalnya hanya melihat dari kejauhan masuk ke lokasi eksekusi sehingga empat di antaranya ditangkap meskipun dilepas lagi.
Puncak kericuhan terjadi ketika salah satu pimpinan DPRD Riau, Zukri Misran, berusaha mendekati lokasi eksekusi. Pria daerah pemilihan Pelalawan ini diminta menjauh oleh polisi meski datang secara baik-baik bersama ratusan warga.
"Bubar semua, yang tidak berkepentingan dilarang masuk ke sini. Atas nama undang-undang, saya minta keluar dari sini, lahan ini sudah dieksekusi. Pasukan, siaga semua, tutup pintu masuk ke sini!" teriak Kasat Binmas Polres Pelalawan, AKP Adi Pranoto memakai pengeras suara.
Hanya hitungan menit, ratusan polisi yang tadinya bersantai di bawah pohon kelapa sawit langsung bersiaga, lengkap dengan tameng dan pentungan. Ada juga sejumlah polisi yang menenteng senapan gas air mata.
Mendengar perintah Adi ini, warga yang sempat berorasi sambil memampangkan spanduk, sontak bubar. Zukri juga tak luput dari tindakan petugas ini.
Wakil Kapolres Pelalawan Komisaris Rezi tampak merangkul Zukri dan menuntunnya keluar dari lokasi itu. Tidak jelas apa yang disampaikan oleh Rezi kepada Zukri.
Sebelum ricuh terjadi, Zukri sempat berkumpul dengan warga di tenda. Kepada masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Gondai Bersatu itu, Zukri berjanji bakal memanggil pihak DLHK ke DPRD Riau.
"Kalau pun dieksekusi, bukan berarti harus ditebangi, banyak proses yang masih harus dilewati. Bisa saja lahan itu diamankan dulu atau dikelola oleh BUMN atau BUMD. Kepada warga, saya berharap jangan terlalu terbawa suasana takut, kami akan memperjuangkan nasib bapak ibu," kata politikus PDI Perjuangan ini.
Seorang warga, Masni, ditemui wartawan tak henti-hentinya menangis melihat sawit yang sudah tumbang akibat eksekusi lahan itu. Dia takut apa yang dilihatnya segera terjadi ke lahan plasma yang dikelolanya sejak puluhan tahun lalu.
"Tak lama lagi giliran kebun kami, mau makan apa lagi kami nanti. Kebun kami cuma dua hektare, itulah yang kami andalkan untuk menyambung hidup," isak perempuan asli Desa Pangkalan Gondai ini.
Disorot Pakar Kehutanan
Pakar hukum kehutanan, Dr Sadino, angkat bicara mengenai eksekusi lahan ini. Ada yang dinilainya janggal dalam putusan MA itu karena PSJ tidak disebut merambah kawasan hutan seperti yang dikatakan oleh Kepala Seksi Penegakan Hukum (Gakkum) DLHK Riau, Agus Puryoko, beberapa waktu lalu.
Dalam putusan itu, PSJ hanya disebut melakukan tindak pidana budi daya tanaman perkebunan dengan skala tertentu yang tidak memiliki izin usaha Perkebunan. Lantaran itulah kemudian di poin kedua, perusahaan ini didenda Rp5 miliar.
"Kalau itu yang menjadi putusannya, tidak ada sanksi bahwa lahan yang dikelola oleh perusahaan itu disita untuk negara, tapi selesaikan perizinannya, bukan digusur," kata Sadino.
Hanya saja di lapangan, areal PT PSJ justru disebut di kawasan hutan sehingga harus ditertibkan. Sadino curiga putusan ini ada yang menyetir.
"By design. Kalau dikaitkan dengan kawasan hutan, tentu kita bicara lagi aturan-aturan kehutanan. Kalau kawasan hutan, kenapa baru belakangan dipersoalkan. Kenapa enggak dari dulu ditegasi? Tidak mungkin aparat enggak tahu ada yang menanam kelapa sawit di situ," sindirnya.
Kejanggalan lainnya, tambah Sadino, Direktur PSJ dalam putusan itu tidak dipidana, hanya didenda tapi lahannya disita. "Kalau orangnya tidak dipidana, mestinya persoalan ini dibawa ke perdata. Sebab persoalannya hanyalah sengketa hak," ujarnya.
Sadino kemudian mengulik lagi soal putusan yang ada. Bahwa lahan itu disita untuk dikembalikan kepada negara melalui Dinas Kehutanan Provinsi Riau Cq PT Nusa Wana Raya (NWR).
"Yang menjadi pertanyaan saya, lahan ini untuk siapa sih sebenarnya? Masa ada swasta di situ? Mestinya diserahkan saja ke BUMN atau BUMD, bukan ke swasta. Itu kalau kita mengikuti alur eksekusi tadi. Sebab kalau diserahkan kepada BUMD atau BUMN, plasma tetap akan terlindungi. Ingat, masyarakat punya hak konstitusi," katanya.
Pakar hukum lainnya, Samuel Hutasoit MH menyebut kalau persoalan antara PSJ dan NWR adalah persoalan perdata.
"Ada kekeliruan judex juris di sana. Itu kan sengketa kepemilikan. Mestinya dibawa ke perdata, bukan pidana. Dan di sana ada kekeliruan yang sangat fatal," katanya.
Samuel juga menyorot objek sengketa, terutama soal perampasan untuk negara yang kemudia ada cq PT NWR. Alasannya, NWR adalah subjek hukum swasta.
"Ini sangat keliru. Sekali lagi saya tegaskan, pencantuman dirampas negara untuk dikembalikan kepada PT NWR, ini adalah perbuatan melawan hukum," tegas Samuel.
Advertisement
Kesan Pemaksaan
Sementara akademisi dari Universitas Riau, Mardiansyah SHut juga menyorot eksekusi ini karena ada kesan pemaksaan penebangan pohon kelapa sawit, hingga penanaman langsung pohon akasia oleh PT NWR.
"Di putusan itu dikatakan PT PSJ melakukan tindak pidana karena berkebun tanpa mengantongi IUP lalu didenda Rp 5 miliar. Kemudian lahan itu disita oleh Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR," kata Mardiansyah.
Menurut Mardiansyah, adanya "Cq" PT NWR menjadi pertanyaan besar. Apakah yang menggugat PSJ ini PT NWR? Kalau iya, mengapa bukan ke PTUN karena sengketa lahan adalah perdata.
Selanjutnya, tambah Mardiansyah, kalau kemudian tidak ada yang menggugat dan kasus ini hanya bermula dari laporan Tim Penegakan Hukum (Gakkum), lalu masuk ranah pengadilan, harus dicari tahu lagi, deliknya apa?
"Apakah gara-gara tak punya IUP atau gara-gara di kawasan hutan? Kalau tudingannya kawasan hutan, kenapa dalam putusan itu tidak ada disebutkan itu? Dan kalau kasus ini bukan oleh gugatan PT NWR, kenapa harus pakai cq PT NWR? Ini semakin aneh," katanya.
Terpisah, Kasi Gakkum di DLHK Agus Puryoko SH MH menyatakan, oerasional lahan PT PSJ ada areal izin usaha pemanfaatan hutan kayu PT NWL seluas 3.320 hektare.
"Kami pulihkan dan tertib kawasan hutan ini menjadi HTI karena fungsinya memang hutan produksi," sebut Agus.
Agus mengaku tidak memandang apakah lahan yang ditertibkannya masuk ke inti ataupun plasma. "Ini amanah MA, tetap dilaksanakan meskipun ada penolakan. PK tidak menghalangi proses ini," sebut Agus.
Berdasarkan putusan MA itu, sambung Agus, kebun sawit di PT PSJ masuk ke kawasan hutan produksi milik PT NWR. Dia pun menyebut penumbangan pohon sawit langsung diganti dengan tanaman hutan.
Simak video pilihan berikut ini: