Liputan6.com, Jakarta - Dalam sebuah survei informal yang dilakukan Today, 86 persen dari 1.643 orangtua mengatakan bahwa anak mereka pernah dibully.
“Semua ini bisa sangat sulit bagi orangtua untuk bertindak. Jika ada satu cara mudah untuk melakukan ini, kita tidak akan memiliki masalah besar, ” kata dr. Gail Saltz, profesor psikiatri di NewYork-Presbyterian dan Weill Cornell Medical Center.
Advertisement
Dalam survei yang sama, 34 persen responden mengatakan bahwa mereka telah menghampiri pembully dan akan melakukannya lagi. 2 persen mengatakan mereka telah melakukan hal yang sama tetapi tidak akan melakukannya lagi.
Hampir setengahnya, 49 persen, mengatakan bahwa mereka tidak pernah menghampiri pembully, tetapi mereka akan melakukannya jika perlu, dan 16 persen lainnya mengatakan bahwa mereka tidak akan menemui pembully secara langsung. Para ahli menjelaskan apa yang harus dilakukan orangtua ketika anak mereka di bully, seperti yang dilansir pada situs Today.
Hubungi pihak berwenang jika hal-hal ini terjadi
Jika mendengar situasi yang melibatkan senjata, cedera fisik serius, pelecehan seksual atau kekerasan yang didorong oleh kebencian yang terkait dengan rasisme, homofobia, atau diskriminasi agama, jangan tunda untuk melaporkan pada pihak yang berwenang.
Tindakan mendesak juga perlu dilakukan jika seorang anak dibully karena cacat.
Simak Video Menarik Berikut:
Kumpulkan informasi dan jangan panik
Sulit untuk tetap tenang jika orangtua mengetahui bahwa anak mereka terluka, namun sikap tenang dapat menjadi tindakan yang terbaik.
“Seringkali, ketika seorang anak bercerita, orangtua akan melakukan sesuatu yang kontraproduktif, yang membuat anak berpikir bahwa seharusnya tutup mulut dan menderita dalam diam,'' kata Sameer Hinduja, profesor kriminologi di Florida Atlantic University dan co-direktur Cyberbullying Research Center.
“Sangat penting bagi Anda untuk duduk dan mengobrol dengan anak. Pelajari tentang konteksnya, pelajari siapa yang terlibat," tambahnya.
Memahami jenis bully pada usia anak
Di sekolah dasar, anak-anak dapat mengalami bully yang menyakitkan. Ketika mereka memasuki masa remaja dengan kemajuan teknologi, intimidasi yang mereka alami dapat menjadi lebih canggih, sering, dan ganas.
Melalui perangkat pintar, orang-orang akan mengatakan hal-hal yang tidak akan pernah mereka katakan secara langsung. Cyberbullying dapat membuat seorang anak yang bahagia merasa seolah-olah hidup telah hancur dan tidak bisa diperbaiki dalam semalam.
Advertisement
Bermain peran
Jika anak-anak diancam di sekolah atau di bus, bermain peran dapat membantu mereka mencari tahu bagaimana mengatasi situasi sendiri tanpa keterlibatan orangtua. Brainstorm beberapa ide untuk respon dan pendekatan yang cepat dan sederhana. "Bicaralah dengan anakmu tentang mengatakan, 'Ugh, berhenti saja,'" usul Saltz sebagai langkah awal untuk bergerak.
Selain itu, Perlakuan diam yang penuh percaya diri diikuti dengan berjalan kaki bisa menghadirkan suasana dan pengendalian diri yang tenang. “Banyak orang tua ingin masuk dan menyelamatkan,” kata Hinduja, “tetapi anak-anak memiliki keterampilan sosial dan keterampilan emosional yang mereka butuhkan untuk membangun diri mereka sendiri," tambahnya.
Saling membela
Ketika Anda melakukan brainstorming dengan anak, tekankan pentingnya membangun pendukung teman sebaya. “Anak-anak perlu memahami bahwa penting untuk saling menjaga dan tidak membiarkan budaya bullying di dalam lingkungan,” kata Saltz.
Tahan dorongan untuk hubungi orangtua yang melakukan bullying
Alih-alih menghubungi orang tua pelaku, cobalah dekati pembully dengan psikolog sekolah (BK) atau profesional kesehatan mental yang ditunjuk secara rahasia.
"Alasan untuk mendekati orang itu adalah bahwa terkadang pelaku bullying membutuhkan bantuan dan intervensi," jelas Saltz.
Peka ketika anak butuh bantuan
Jika anak telah mencoba untuk menghadapi situasi sendirian dan tidak membaik, maka sudah saatnya bagi orangtua untuk mengambil tindakan. Terutama jika anak tidak lagi ingin pergi ke sekolah, memiliki nilai yang menurun, memiliki perubahan dalam pola tidur dan makan, atau kehilangan minat dalam kegiatan favorit atau pertemanan.
"Bullying dapat membuat depresi dan gangguan kecemasan," kata Saltz. “Kami melihat tingkat bunuh diri meningkat pada populasi muda. Bullying adalah penyebab sesungguhnya, dan rasa malu adalah pendorong utama bunuh diri.
Penulis: Lorenza Ferary
Advertisement