Bencana Hidrometeorologi Masih Menghantui Jambi

Memasuki puncak musim penghujan, wilayah di Provinsi Jambi masih dibayang-bayangi bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor. Apakah kondisi ini dampak perubahan iklim yang semakin nyata terjadi?

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 22 Jan 2020, 10:00 WIB
Debit sungai air batanghari terlihat semakin naik di wilayah Kabupaten Muaro Jambi, Selasa (21/1/2020). (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Potensi bencana hidrometeorologi dampak dari fenomena meteorologi masih menghantui sejumlah wilayah di Provinsi Jambi. Pihak pemerintah harus segera mengantisipasi dampak bencana ini dengan memperkuat sistem komando darurat bencana, terlebih saat ini telah memasuki musim puncak penghujan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jambi dalam prospek cuaca mingguan ke depan menyebutkan, tekanan udara di wilayah Indonesia umumnya sekitar 1010-1012 hPa. Daerah pertumbuhan awan hujan akibat pertemuan dan belokan angin berada di Aceh, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatra Selatan, juga beberapa provinsi lainnya.

Pola angin di wilayah Provinsi Jambi umumnya bertiup dari arah barat laut hingga timur laut dengan kecepatan 03-28 kilometer/jam. Sementara gelombang laut rata-rata berkisar antara 0,5-1,25 meter.

"Waspada potensi hujan sedang hingga lebat yang dapat disertai petir dan angin kencang di seluruh wilayah Provinsi Jambi," kata Kepala Sataisun Meteorologi Klas I Sultan Thaha Jambi, Addi Setiadi melalui keterangannya kepada Liputan6.com di Jambi, Selasa (21/01/2020).

Dalam menghadapi kondisi cuaca ekstrem, pihaknya mengimbau masyarakat di Jambi harus berhati-hati dan waspada. Selanjutnya, jika terjadi terjadi peningkatan curah hujan dengan kategori lebat dan sangat lebat tidak menutup kemungkinan akan terjadi longsor, terutama di daerah Jambi bagian barat yang meliputi daerah Merangin, Jangkat, Kerinci, Sungaipenuh, Bungo, dan Sarolangun.

Selanjutnya untuk sepanjang daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Jambi, termasuk DAS Batanghari juga harus diwaspada terjadinya banjir dari luapan air sungai. Sementara untuk di daerah sepanjang jalan protokol atau daerah lain yang banyak terdapat pohon lebat dan rindang juga perlu diwaspadai.

"Masyarakat diimbau agar waspada terhadap dampak yang timbul, seperti banjir, tanah longsor, angin kencang dan pohon tumbang," kata Addi.

Kewaspadaan perlu ditingkatkan bagi masyarakat akan potensi bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometerologi adalah bencana yang terjadi dampak dari fenomena meteorologi seperti angin kencang, angin puting beliung, banjir, banjir bandang dan tanah longsor.

Terkait bencana hidrometeorologi di Jambi seperti banjir sudah mulai terasa. Misalnya debit air Sungai Batanghari dalam sepekan terakhir mengalami kenaikan akibat tingginya curah hujan di wilayah hulu sungai.

Berdasarkan pantauan melalui alat ukur tinggi muka air di kawasan Tanggo Rajo, Kota Jambi, menunjukkan tinggi muka air Sungai Batanghari mencapai 10,73 meter atau berada di atas normal.

"Sudah sepekan ini air Batanghari naik, kemungkinan di wilayah hulu terjadi hujan deras," kata Sanusi, salah seorang warga Muaro Jambi, yang tinggal di bantaran Sungai Batanghari.

 


Perubahan Cuaca Hanya Pemicu

Direktur Eskekutif Daerah Walhi Jambi, Rudiansyah saat memaparkan catatan akhir tahun 2019. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Rudiansyah mengatakan, perubahan cuaca hanya menjadi pemicu terjadinya bencana hidrometeorologi. Melainkan penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang semakin masif, seperti deforestasi, dan aktivitas konglomerasi yang tidak memperhatikan aspek lingkungan.

Menurut dia, selama ini pemerintah di Jambi belum secara utuh memahami konteks perubahan iklim. Penerjemahan perubahan iklim kata dia, adalah berawal dari masifnya proses pembangunan industri atau perubahan fungsi alam menjadi industri, baik industri perkebunan, hutan tanaman industri (HTI) dan sektor properti.

"Sebenarnya akar masalahnya yang salah urus, yakni tidak terkendalinya proses pembangunan. Aktivitas ilegal yang masif, ditambah tidak ada prinsip kehati-hatian dalam memberikan izin, sehingga terjadi kerusakan lingkungan, dan itu semakin memicu terjadinya perubahan iklim," kata Rudi kepada Liputan6.com.

Hasil kajian Walhi Jambi, pada bagian hulu dan tengah DAS Batanghari, ditemukan aktivitas ilegal logging, konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan, pertambangan emas, pasir dan batu ilegal, pembangkit listrik tenaga mini yang bersumber dari aliran sungai serta izin tambang biji besi.

Kondisi ini memberikan gambaran DAS Batanghari yang mencakup wilayah Provinsi Sumatra Barat dan Jambi dalam kondisi terancam. Situasi ini tentu akan berdampak buruk terhadap kondisi bentang alam dan kehidupan penduduk di dua provinsi itu.

Masih berdasarkan hasil kajian Walhi Jambi yang dilakukan pada tahun 2019, mencatat hampir semua kabupaten yang berada di sepanjang DAS Batanghari mengalami kebanjiran selama 28 hari.

Banjir merendam 4.325 rumah, 697 Ha lahan pertanian, 45 Ha lahan perkebunan, 12 unit sarana kesehatan, 10 unit sarana pendidikan dan 5 unit sarana umum. Bencana banjir ini juga terjadi setiap tahun saat musim puncak penghujan.

Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini menurut dia, adalah dengan mengevaluasi dan menghentikan perizinan industri yang tidak mengindahkan aspek keberlanjutan lingkungan hidup.

Selain itu, diperlukan kesungguhan dan ketegasan pemerintah dalam menegakan regulasi yang ada. Permasalahan lingkungan hidup merupakan hal yang nyata, sehingga penanganan dan pencegahannya pun harus dengan aksi nyata.

Pemerintah sebut Rudi, harus berani meninjau kembali kebijakan yang dalam konteks payung besar harus memperhatikan aspek lingkungan seperti penguasaan izin, baik itu izin yang legal dan ilegal. Ini menjadi cara yang efektif untuk pencegahan bencana.

"Kemudian harus ada eksekusi penegakan hukum, kalau memang ilegal ya harus berani mencabut izinnya. Tapi yang kita lihat selama ini upaya penegakan hukum tidak terkutur sampai ke akar persoalan," katanya menjelaskan.


Siaga Darurat

Gubernur Jambi Fachrori Umar (tengah) saat meninjau debit air di Sungai Batanghari, Senin (20/1/2020). (Liputan6.com/Dok Humas Pemprov Jambi/Gresi)

Menyikapi bencana hidrometeorologi yang masih menjadi ancaman untuk sejumlah wilayah di Provinsi Jambi, pemerintah akan menetapkan status siaga darurat. Status ini sebagai upaya untuk mengantisipasi menghadapi bencana.

Saat memimpin apel siaga darurat bencana hidrometerologi, Senin (20/1/2020), Gubernur Jambi Fachrori Umar, selain akan menetapkan status siaga darurat, ia juga mengecek segala peralatan penanganan bencana, termasuk kesiapan personel.

Personel yang disiagakan dalam menghadapi bencana tersebut, jumlahnya mencapai sekitar 1.000 personel, terdiri dari TNI/Polri, BPBD, SAR, Tim Kesehatan dan lain sebagainya.

"Apel siaga bencana hidrometeorologi ini sebagai bentuk keseriusan dan kesiapan pemerintah Provinsi Jambi mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana banjir, longsor dan angin puting beliung," kata Fachrori saat memimpin apel siaga, sebagaimana dikutip dari siaran pers Humas Pemprov Jambi.

Selain itu menurut dia, apel tersebut menyikapi surat edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 360/132/SJ pada tanggal 7 Januari 2020 perihal Antisipasi dan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Daerah.

"Paradigma penanggulangan bencana harus berubah yang sifatnya harus mencegah. Penanggulangan bencana saat ini menitikberatkan penanganan sebelum terjadinya bencana," demikian Fachrori.

 

Simak video pilihan berikut ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya