Liputan6.com, Jakarta - Dewan Pengawas (Dewas) TVRI mengungkapkan alasan pemecatan direktur utama Helmy Yahya pada Komisi I DPR RI.
Dari beberapa poin penjabaran Dewas, salah satu alasannya adalah tayangan Liga Inggris dinilai berpotensi gagal bayar seperti kasus PT Asuransi Jiwasraya.
Advertisement
Anggota Dewas TVRI Pamungkas Trishadiatmoko menyampaikan bahwa, Helmy Yahya tidak memberikan kelengkapan berkas penayangan Liga Inggris seperti surat jawaban terkait program asing berbiaya besar.
"Surat SPRP (Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian) Helmy Yahya tidak memberikan jawaban, khususnya mengenai program asing berbiaya besar," kata Moko di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu, 22 Januari 2020.
Moko menyatakan bahwa Liga Inggris merupakan salah satu program berbiaya besar yang bisa memicu TVRI gagal bayar atau menimbulkan utang pada 2020. Ia menyebut potensi gagal bayar tersebut bisa seperti kasus PT Jiwasraya.
"Saya akan mencoba mensummary-kan kenapa Liga Inggris itu bisa menjadi salah satu pemicu gagal bayar ataupun munculnya utang yang seperti Jiwasraya. Sehingga kami akan paparkan urutannya," katanya.
Moko memaparkan total kontrak tayangan Liga Inggris selama 3 musim adalah 9 juta dolar AS atau setara Rp 126 miliar di luar pajak.
"Ada potensi lain pada 2020, TVRI kewajiban bayar hutang Liga Inggris," katanya.
"Sehingga kewajiban bayar, ini bukan gagal bayar. Karena tidak dianggarkan (2020), potensi (gagal bayar) senilai Rp 69 miliar ini belum termasuk pajak," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Dewas, Arief Hidayat Thamrin menyebut TVRI harus menayangkan program yang sesuai jati diri bangsa Indonesia.
"Tupoksi TVRI sesuai visi-misi TVRI adalah TV publik, kami bukan swasta, jadi yang paling utama adalah edukasi, jati diri, media pemersatu bangsa, prioritas programnya juga seperti itu. Realisasinya sekarang kita nonton Liga Inggris," kata Ketua Dewas, Arief Hidayat.
Saksikan video di bawah ini:
Tak Sesuai Jati Diri Bangsa?
Arief mengakui banyak pihak yang menyukai Liga Inggris. Namun, menurutnya kini TVRI juga menyiarkan siaran asing lain dengan jumlah banyak.
"(Liga Inggris) mungkin banyak yang suka. Ada Discovery Channel, kita nonton buaya di Afrika, padahal buaya di Indonesia barang kali akan lebih baik. Kemudian siaran film asing cukup banyak, ada yang bayar, ada yang gratis," ujarnya.
Arief menilai TVRI kini seolah menjadi TV swasta yang mengejar rating.
"Seolah-olah Direksi mengejar rating dan share seperti TV swasta. Kita ada APBN harus bayar keluar negeri dalam bentuk hal ini BWF, Discovery, dan Liga Inggria, artinya uang rupiah kita APBN dibelanjakan keluar yang Presiden menyatakan dibatasi dan ini terjadi," terangnya.
Advertisement