Ikatan Guru: Penghapusan Tenaga Honorer Dongkrak Kualitas Pendidikan

Penghapusan tenaga honorer ini akan mendongkrak kualitas tatanan pendidikan Indonesia.

oleh Athika Rahma diperbarui 24 Jan 2020, 12:00 WIB
Sejumlah Guru honorer Kategori 2 beristigosah saat menggelar aksi di depan gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (23/7). Aksi ini digelar di tengah pejabat sedang melakukan rapat gabungan lanjutan bersama lintas kementerian. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu lalu, Kementerian PAN-RB, Badan Kepegawaian Nasional (BKN), dan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat menghapus tenaga honorer dari seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah. Kesepakatan itu sebagai mandat dari UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Tentu, penghapusan ini menuai beragam reaksi khususnya dari tenaga honorer itu sendiri. Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia, Muhammad Ramli Rahim menyatakan, penghapusan tenaga honorer ini akan mendongkrak kualitas tatanan pendidikan Indonesia.

Saat ini, setumpuk persoalan yang disebabkan adanya celah untuk menjadi tenaga honorer di kalangan guru sudah membuat sistem belajar mengajar jadi semrawut.

"Pertama, sistem rekruitmen guru (honorer) serampangan, tanpa pola, tanpa proses sehingga variasi kualitas guru lebih banyak. Mulai dari yang bermental baik, bermentak buruk, mengajar dengan hati, tidak dengan hati semuanya bisa jadi guru," ujar Ramli sebagaimana ditulis pada Jumat (24/1/2020).

Lebih lanjut, Ramli juga berujar bahwa di berbagai sekolah, ada anggapan bahwa profesi guru hanya sebagai status. Misalnya, saat satu sekolah butuh 5 guru tambahan, namun ada 20 guru honorer tambahan di dalamnya, sehingga pembagian pengajaran guru tidak efisien dan tentu berdampak bagi guru bersertifikasi.

"Lalu, ada pula faktor guru titipan. Anggota legislatif, pejabat daerah bahkan pejabat pusat bahkan ada yang "menitip guru", dan kepala sekolah akan melakukan cara apapun agar guru titipan ini bisa mengajar," imbuhnya.

Ramli melanjutkan, adanya guru honorer juga membuat guru bersertifikasi (PNS) jadi malas mengajar dan hanya mengandalkan guru honorer sebagai pengganti. Pun saat diklat guru, karena tenaga honorer yang mengikutinya, akan jadi mubazir karena ketidakjelasan status mereka.

"Dengan semua persoalan itu, sudah sangat tepat jika kemendikbud dan Pemerintah daerah sesegera mungkin mengaktualisasiksan kesepakatan pemerintah dan DPR RI ini dan tentu saja segera menyiapkan pola rekruitmen PPPK dan CPNS untuk mengisi kekosongan yang akan diakibatkan penghapusan sistem honorer ini," ujar Ramli.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


PNS Bisa Kerja dari Rumah, Ini Kata Tenaga Honorer

Pegawai honorer DKI Jakarta menggelar demo di Balai Kota, Jakarta, Rabu (26/9). Massa mengenakan seragam pramuka dan membawa sejumlah poster aspirasi. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pemerintah mewacanakan agar para Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) bisa bekerja dari rumah. Hal ini seiring dengan perkembangan teknologi informasi sehingga memungkinkan para PNS ini tidak perlu datang ke kantor untuk bekerja.

Menanggapi hal ini, Ketua Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I) Titi Purwaningsih mengatakan, pihaknya menyambut baik adanya wacana tersebut. Sebab, dengan begitu para tenaga honorer yang gajinya pas-pasan bisa menghemat biaya transportasi untuk datang ke instansi tempatnya bekerja.

"Kalau bagi honorer, ini bagus. Artinya kita tidak perlu capek-capek keluarkan uang transport. Kemudian, meringankan beban. Tetapi apakan mungkin bisa dilaksanakan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com seperti ditulis Kamis (15/8/2019).

Namun dirinya sangsi jika kebijakan ini bisa diterapkan. Terlebih bagi para PNS atau honorer dengan profesi tertentu seperti guru di mana dalam proses belajar mengajar harus bertatap langsung dengan siswanya.

"Seperti guru, apakah mungkin bekerja di rumah tanpa bertatap muka. Kalau yang bidangnya administrasi bisa dimungkinkan. Tetapi bagi pendidik apakah mungkin, tidak bertatap muka. Kita tidak bisa melihat karakter siswa secara langsung," kata dia.

Menurut Titi, dari pada pemerintah membuat wacana yang belum tentu bisa diterapkan di Indonesia, lebih baik pemerintah memperhatikan kepastian nasib para tenaga honorer yang selama ini belum juga memiliki status yang jelas.

"Jadi kalau membuat wacana ya yang wajar saja lah. Jangan ikut-ikutan di luar negeri yang kita belum mampu. SDM (PNS) kita belum memenuhi syarat, sarana dan prasarana juga belum ada. Yang riil saja dulu dilaksanakan secara maksimal seperti memberikan peluang kepada para guru honorer untuk mendapatkan sertifikasi," tandas dia. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya