Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia mencatat modal asing masuk ke Indonesia melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp3,8 triliun hingga 23 Januari 2018. Namun demikian, aliran modal keluar atau capital outflow di pasar saham juga terjadi sebanyak Rp980 miliar.
Gubernur [Bank Indonesia](Bank Indonesia ""), Perry Warjiyo menjelaskan, aliran modal keluar terjadi karena kondisi geopolitik global dan maraknya wabah virus corona. Ini terbukti dengan terjadinya penurunan harga saham.
"Week to date hingga 23 Januari SBN yang masuk Rp3,8 triliun dan saham ada outlfow Rp0,98 triliun," kata Perry di Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (24/1).
Baca Juga
Advertisement
Secara keseluruhan, dana asing masuk Indonesia secara year to date mencapai Rp25,79 triliun. Menurut Perry, ini membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat, para pelaku pasar, eksportir, importir.
"Terutama kepercayaan investor atas neraca ekonomi Indonesia yang membaik," katanya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jokowi Sebut Penguatan Rupiah Terlalu Cepat, Ini Kata BI
Bank Indonesia angkat suara mengenai pernyataan Presiden Joko Widodo terkait Rupiah yang terlalu menguat sehingga membuat eksportir terancam. Eksportir dinilai merasa terancam lantaran bakal berdampak terhadap daya saing.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, penguatan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) masih sesuai dengan nilai fundamental. "Penguatan Rupiah masih sejalan dengan fundamental, mekanisme pasar," ujarnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Rabu (22/1).
Perry mengatakan, secara rutin pihaknya memang melaporkan perkembangan nilai tukar kepada Presiden Jokowi. Dampak dari penguatan tersebut juga disampaikan secara rinci seperti neraca pembayaran yang surplus.
"Saya laporkan waktu itu penguatan Rupiah masih sejalan dengan fundamental. Pertumbuhan meningkat dan juga kemudian neraca pembayaran surplus. Aliran modal asing masuk makanya sejalan dengan mekanisme pasar," jelasnya.
Dia menambahkan, dampak penguatan nilai tukar mata uang Garuda berbeda dengan mata uang asing. Penguatan nilai tukar tersebut utamanya langsung berdampak pada investasi dalam negeri.
"Pengaruh dari nilai tukar itu di Indonesia itu berbeda dengan negara lain. Penguatan nilai tukar di Indonesia itu memang bisa mendorong investasi dalam negeri karena banyak industri kandungan impor tinggi termasuk juga mendorong ekspor khususnya manufaktur," jelasnya.
"Kalau manufaktur itu ekspornya juga terkendala impor tinggi. Sekarang terlihat ekspor manufaktur meningkat. Memang iya kalau ekspor komoditas melemah karena pengaruhnya lebih ke hasil Rupiah dari ekspor lebih tinggi. Tapi ekspor komoditas tidak terlalu sensitif terhadap pelemahan Rupiah, lebih ke harga komoditas dan permintaan luar negeri," sambungnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Jokowi: Eksportir Tak Suka Rupiah Menguat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengapresiasi nilai tukar rupiah yang terus menguat dalam beberapa waktu terakhir. Namun, ia menambahkan, ada beberapa pihak yang tak suka dengan penguatan tersebut.
Salah satunya eksportir, yang disebutnya merasa terancam dengan kurs rupiah yang perkasa lantaran bakal berimpak terhadap daya saing.
"Kalau menguatnya terlalu cepat kita harus hati-hati. Ada yang senang ada yang tidak senang. Eksportir pasti tidak senang karena rupiah menguat, sehingga daya saing kita akan menurun," jelas Jokowi saat menghadiri Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020 di Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Di tempat yang sama, melanjutkan pernyataan Jokowi, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengungkapkan, penguatan yang terjadi pada rupiah saat ini lantaran mata uang negara telah sesuai dengan fundamental.
"Bukan hanya rupiah sendirian yang menguat, tapi karena ada faktor fundamentalnya. Dengan nilai tukar sekitar Rp 13.600 masih sesuai dengan fundamental kita," kata Dody.