Pengusaha Rokok Sebut Pemerintah Tak Perlu Revisi Aturan Soal Tembakau

Gaprindo menganggap revisi PP 109 Tahun 2012 bisa berdampak negatif pada pertumbuhan industri tembakau

oleh Tira Santia diperbarui 28 Jan 2020, 13:59 WIB
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Gabungan Produsen Rokok putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti menilai isu revisi PP 109 Tahun 2012, merupakan isu yang penting untuk dibicarakan bagi pemangku industri tembakau. Hal ini karena bisa berdampak negatif pada pertumbuhan industri tembakau.

PP 109 Tahun 2012 sendiri berisi tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

"Kesempatan bagi kita untuk membicarakan isu ini menurut kami krusial, yakni revisi PP Nomor 109 Tahun 2012, kalau ini terjadi akan mengkhawatirkan memberikan dampak yang kurang baik mengganggu pertumbuhan industri tembakau," kata Muhaimin dalam Diskusi Bersama Gaprindo di Hotel Morrissey, Jakarta, Selasa (28/1/2020).

Selama beberapa tahun pertumbuhan Industri Hasil Tembakau (IHT) berada pada posisi stabil. Seperti tiga tahun sebelumnya dalam setahun IHT mampu menghasilkan 345 miliar batang.

Namun, pada tahun 2018 hanya mampu menghasilkan 330 miliar batang saja. Menurut Muhaimin, bisa dilihat adanya penurunan sebanyak 6 persen.

"Ditahun 2019 karena kita tidak ada kenaikan, maka volume IHT dikatakan kembali pada sebelumnya. Namun demikian, meskipun keadaannya membaik, kalau revisi  PP 109 Tahun 2012 dilaksanakan maka pertumbuhan IHT akan negatif," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Penyedia Lapangan Kerja Besar

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, IHT di Indonesia itu sangat spesifik. Kalau dihitung kontribusinya besar sekali kepada pemerintah, menurutnya dalam setahun bisa menyumbang kepada negara sebesar Rp 200 ribu triliun. Selain itu juga berkontribusi menyediakan lapangan kerja, yang sangat besar. 

"Kementrian perindustrian kalau dihitung dari hulu ke hilir berjumlah 6 juta orang, jumlah orang Indonesia yang ada sangkut pautnya dengan rokok 20 juta, itu sudah 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia," jelasnya.

Meskipun produk rokok memiliki dampak apda kesehatan, namun dirinya sebagai pemangku IHT paham betul akan aturan tersebut. Dirinya mengaku patuh pada peraturan pemerintah.

Maka, menurutnya perlu regulasi yang mengakomodir kepentingan pemerintah itu dengan pihak IHT. Muhaimin menilai PP 109 masih relevan dengan keberadaan IHT, maka tidak perlu adanya revisi.

"Yang ada itu PP 109, meskipun dibuat tahun 2012, menurut kami PP ini masih relevan, dan para industri hasil tembakau mengikuti peraturan itu," ujarnya.

 


Libatkan Stakeholder

Ilustrasi Industri Rokok

Begitupun dengan yang disampaikan oleh Akademisi dan Pakar di bidang IHT, Dr. Mochammad Sholichin, yang menilai apabila revisi akan dilakukan, maka perlu untuk mengajak stakeholder pertama IHT untuk diajak diskusi bersama dengan pemerintah.

"Inilah tujuan salah satu revisi, industri itu tidak diajak bicara sebagai stakeholder pertama, akan dibawa kemana, dikhawatirkan akan berdampak penurunan penerimaan negara, maunya Industri diajak bicara, Industri dri dulu sudah taat (peraturan)," ungkapnya.

Menurut Sholichin, pemerintah harus melihat kembali kontribusi IHT dalam membantu pemerintah. Bila dibandingkan dengan hasil Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saja, tidak akan mencapai Rp 200 triliun.

"Produk IHT bisa memberikan kontribusi Rp200 triliun. Kalau dari hasil BUMN hasilnya tidak akan segitu," pungkasnya.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya