Gapasdap: Bila Menteri Jokowi Tidak Kompak, Omnibus Law Sulit Diterapkan

Bambang menilai, molornya penetapan tarif penyeberangan menunjukkan Kemenhub dan Kemenko Maritim, tidak konsisten dalam menjalankan regulasi dan undang-undang.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jan 2020, 14:55 WIB
Fasilitas garbarata sebagai jalur masuk utama bagi calon penumpang kapal penyeberangan eksekutif di Pelabuhan Eksekutif Sosoro, Merak, Banten, Minggu (2/6/2019). Tarif kapal penyeberangan eksekutif sebesar Rp 50 ribu untuk dewasa dan Rp 34 ribu bagi anak-anak. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perhubungan dan Kementerian Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) Luhut Binsar pandjaitan dinilai saling lempar tanggung jawab soal tarif angkutan penyeberangan sehingga tak kunjung ditetapkan meskipun sudah dibahas selama 1,5 tahun lebih.

Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) Bambang Haryo Soekartono, mengatakan molornya penetapan tarif penyeberangan menunjukkan Kemenhub dan Kemenko Maritim, tidak konsisten dalam menjalankan regulasi dan undang-undang.

“Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga 1,5 tahun sehingga 3 tahun tidak pernah disesuaikan. Sekarang kembali terganjal di Menko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji. Padahal, pelimpahan kajian di Kemenko Marves sudah berlangsung lebih dari 3 bulan,” katanya, Kamis (23/1/2020).

Bambang Haryo juga mengaku sudah bertemu langsung dengan pejabat di Kemenko Marves yang ditugaskan Menko Luhut Pandjaitan untuk mengevaluasi tarif. 

"Pejabat yang merupakan Staf Ahli Menko Marves itu mengaku tidak mengerti maritim dan baru pertama kali membahas soal penyeberangan. Dia bilang masih menunggu data, sehingga belum bisa mengkaji usulan tarif dari Kemenhub,” ujar mantan Anggota DPR RI itu.  

Menurut Bambang Haryo, Menko Marves tidak percaya dengan usulan tarif dari Menhub sehingga perlu dikaji lagi secara detil, meskipun Kemenhub sudah membahasnya bersama Gapasdap selama 1,5 tahun.

“Menhub Budi Karya dan Menko Luhut saling pingpong, lempar tanggung jawab. Kemenhub bilang sudah serahkan semua data mulai dari awal tapi Kemenko Marves mengaku tidak punya data. Dua instansi ini kelihatan tidak kompak, tidak profesional,” ungkapnya. 

Keterlibatan Menko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan baru pertama kali, dikarenakan penerbitan Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

"Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan. Kalau mengurusi satu sektor ini saja tidak beres, bagaimana mungkin pemerintah menjalankan Omnibus Law yang melibatkan ribuan regulasi sesuai kebijakan Presiden Jokowi,” cetusnya. 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Peringatan Menhub

Apabila Menko Luhut dan stafnya profesional dan mengerti dan memprioritaskan maritim, seharusnya Menko Marves mengingatkan Menhub agar segera membereskan evaluasi tarif karena kondisi penyeberangan sudah kritis dan terancam berhenti operasi dalam waktu dekat.

Menko Luhut semestinya mempercepat penetapan tarif sesuai kebutuhan angkutan penyeberangan, dan bahkan harus menolak usulan Menhub untuk mencicil kenaikan tarif 38% dibagi tiga tahap selama 3 tahun karena menyangkut jaminan keselamatan dan kenyamanan transportasi.

Berdasarkan hitungan Bambang Haryo, kenaikan tarif penyeberangan sekaligus sebenarnya dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap nilai komoditas barang yang diangkut kendaraan, yakni sekitar 0,15%. Artinya, komoditas misalnya beras seharga Rp10.000 per kg kenaikannya berkisar  Rp15 per kg apabila tarif dinaikkan sekaligus 38 persen. 

"Kenaikan harga itu mungkin relatif kecil, tetapi sangat besar artinya bagi kelangsungan usaha penyeberangan serta menjamin keselamatan nyawa dan barang publik. Ketidakpastian tarif mengancam keselamatan publik, berarti pemerintah melanggar UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,” tegasnya.

Mengenai pengakuan Staf Ahli Menko Marves yang menyebut belum punya data angkutan penyeberangan, Bambang Haryo menilai hanya mencari alasan. Karena menurut Kemenhub sudah menyerahkan semua data terkait angkutan penyeberangan, Menko Marves bisa dengan mudah meminta data dari PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).

Dia mengatakan, PT ASDP yang merupakan kaki tangan pemerintah di sektor penyeberangan memiliki semua data yang diperlukan Menko Marves, seperti pendapatan dan biaya. 

"ASDP tahu persis pendapatan perusahaan penyeberangan karena dia yang menjual tiket, ASDP juga tahu persis biaya operasional kapal karena dia operator kapal dan memungut biaya kepelabuhanan,” jelasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya