Liputan6.com, Jakarta - PT Krakatau Steel (persero) Tbk telah menyelesaikan restrukturisasi hutang senilai USD 2 miliar. Restrukturisasi hutang ini adalah restrukturisasi hutang terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Kesepakatan restrukturisasi ini telah selesai ditandatangani oleh keseluruhan kreditur pada 12 Januari 2020lalu. Restrukturisasi hutang ini melibatkan 10 bank nasional, swasta nasional dan swasta asing. Sebelumnya pada 30 September 2019 PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank ICBC Indonesia, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank), PT Bank Central Asia Tbk. telah sepakat untuk melakukan relaksasi pembayaran hutang dalam perjanjian induk rekstrukturisasi (MRA).
Pada 29 Desember 2019 PT Bank DBS Indonesia dan PT Bank OCBC NISP Tbk mengawali perjanjian aksesi atau penundukannya terhadap perjanjian induk restrukturisasi.
Baca Juga
Advertisement
Kemudian, pada 12 Januari 2020 dua bank swasta lainnya yakni Standard Chatered Bank Indonesia dan PT CIMB Niaga Tbk turut tunduk dalam perjanjian induk yang sama.
Penandatanganan persetujuan pembiayaan ini dilakukan untuk mendukung Rencana Transformasi Bisnis dan Keuangan Krakatau Steel menjadi lebih sehat. Beban bunga dan kewajiban pembayaran pokok pinjaman menjadi lebih ringan sehingga membantu perbaikan kinerja perusahaan dan memperkuat cashflow perusahaan.
Proyek restrukturisasi ini berlangung selama sembilan tahun (2019-2027), dalam jangka panjang diharapkan operasi perusahaan menjadi lebih baik.
“Melalui restrukturisasi ini, total beban bunga selama sembilan tahun hutang dapat diturunkan secara signifikan dari USD 847 juta menjadi USD 466 juta. Selain itu, penghematan biaya juga kita dapatkan dari restrukturisasi Krakatau Steel hutang selama sembilan tahun sebesar USD 685 juta," ungkap Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim di Kementerian BUMN, Selasa (28/1/2020).
“Sepanjang tahun 2019, sudah banyak hal yang sudah kami lakukan dalam rangka melakukan transformasi perusahaan. Selain restrukturisasi hutang, kami juga telah melakukan optimalisasi tenaga kerja dan menerapkan operation excellence sehingga Krakatau Steel lebih efisien dan kompetitif. Kemudian di September dan November 2019 secara berturut-turut kami berhasil melampaui rekor produksi HRC dan CRC. Dengan segala capaian ini kami optimistis di tahun 2020, Krakatau Steel akan mempunyai catatan yang lebih gemilang," imbuh Silmy.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dukungan Regulasi Impor Baja
Langkah selanjutnya, Perseroan juga mendorong agar dilakukan dukungan kebijakan regulasi impor baja. Regulasi ini merupakan hal terpenting lainnya untuk mendukung pertumbuhan industri baja yang sehat.
Impor baja saat ini sudah menghantam industri baja nasional dari hulu hingga hilir. Kondisi ini jika diteruskan pada akhirnya Indonesia hanya akan menjadi konsumen pengguna baja dari luar negeri saja, dan akan semakin menekan defisit neraca perdagangan.
Pada tahun 2018 volume impor baja mencapai angka 6,3 juta ton, naik sebesar 6,7 persen bandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, besi dan baja tercatat menjadi komoditi impor terbesar ke-3 yaitu sebesar 6,45 persen dari total importasi dengan nilai USD 10,25 miliar dan telah mengakibatkan defisitnya neraca perdagangan RI.
Advertisement
Data Impor hingga September 2019
Sampai dengan bulan September 2019, importasi besi dan baja telah mencapai 5 juta ton dan di estimasi akan mengalami kenaikan sampai 6,7 juta ton sampai akhir 2019 (meningkat 7,5 persen dari total impor tahun 2018 sebesar 6,3 juta ton).
Bahkan hingga September 2019, besi dan baja masih menempati posisi 3 besar komoditi impor yang masuk ke Indonesia dengan nilai USD 7,63 miliar.
“Bersama Kementerian BUMN, kami memberikan masukan kepada kementerian terkait agar pasar dan industri baja di Indonesia bisa lebih sehat. Industri baja dalam negeri sangat tertekan dengan kondisi impor baja di sepanjang tahun 2018-2019. Kami memerlukan kebijakan dan pengawasan yang ketat dalam hal impor baja. Telah terjadi penurunan utilisasi industri baja hingga 43 persen di tahun 2019," tutur Silmy.