Diperiksa KPK, Cak Imin Klaim Tak Ada Aliran Suap Proyek PUPR ke Politikus PKB

Cak Imin diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group), Hong Arta John Alfred.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 29 Jan 2020, 16:15 WIB
Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (tengah) memenuhi panggilan penyidik KPK di Jakarta, Rabu (29/1/2020). Muhaimin yang akrab disapa Cak Imin diperiksa dalam kasus suap terkait proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun Anggaran 2016. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin rampung menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Cak Imin diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

"Saya datang untuk memenuhi panggilan sebagai saksi dari Hong Artha. Mestinya diagendakan besok, tapi karena besok saya ada acara saya minta maju, dan Alhamdulillah selesai, semuanya sudah saya beri penjelasan ya, selesai," ujar Cak Imin di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (29/1/2020).

Cak Imin yang dimintai keterangan untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group), Hong Arta John Alfred mengklaim, tak ada aliran suap terkait proyek tersebut yang diterima politikus PKB.

"Tidak benar (ada aliran uang ke PKB)," kata Cak Imin.

Tim penyidik lembaga antirasuah belakangan getol memanggil sejumlah politikus PKB terkait kasus suap proyek jalan ini. Salah satunya Wakil Gubernur Lampung yang juga politikus PKB Chusnunia Chalim alias Nunik. Selain itu, tim penyidik juga pernah memeriksa tiga politikus PKB Fathan, Jazilul Fawaid, dan Helmi Faisal Zaini.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Suap Hong Artha

Ilustrasi penyuapan (iStockphoto)

Dalam kasus ini, KPK menduga Hong Artha bersama-sama memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Kepala Badan Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary. Amran diduga menerima uang sebesar Rp 8 miliar dan Rp 2,6 miliar dari Hong Artha.

Hong Artha sendiri merupakan tersangka ke-12 setelah sebelumnya KPK menetapkan 11 orang lainnya. Dari 11 orang tersebut, 10 diantaranya sudah divonis bersalah dan dijebloskan ke penjara.

Penetapan status tersangka terhadap Hong Artha dilakukan pada 2 Juli 2019 lalu. Namun, sejak ditetapkan sebagai tersangka setahun silam, KPK belum melakukan penahanan terhadap Hong Artha.

Kasus ini berawal dari penangkapan mantan anggota Komisi V DPR RI Damayanti pada 13 Januari 2016.

Dalam kasus itu, Amran telah divonis enam tahun penjara dan denda Rp 800 juta subsider empat bulan kurungan karena menerima Rp 2,6 miliar, Rp 15,525 miliar, dan SGD 202.816.

Selain itu, Damayanti juga telah divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima SGD 278.700 dan Rp1 miliar.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya