Liputan6.com, Washington, D.C. - Amerika Serikat (AS) baru saja merilis rencana perdamaian Timur Tengah yang bertajuk Middle East Peace Plan. Presiden Donald Trump percaya rencana itu bisa mendamaikan konflik Israel dan Palestina.
Sejatinya, rencana itu sarat tawaran ekonomi dan investasi bagi Palestina apabila mau ikut Middle East Peace Plan. Namun, rencana itu juga status Yerusalem sebagai ibu kota Israel mesti diakui dunia internasional.
Baca Juga
Advertisement
Duta Besar AS untuk Israel, David Friedman, menjelaskan bahwa Yerusalem lebih damai di bawah kendali Israel. Ia merujuk pada dibolehkannya penganut berbagai agama untuk beribadah di Yerusalem.
"Yerusalem kini sudah merdeka. Kota itu terbuka menerima lebih dari dua juta pengunjung tiap tahunnya," ujar Friedman dalam wawancara telepon, Rabu (29/1/2020).
"Semua orang kini disambut untuk berdoa di masjid, berdoa di Tembok Barat, berdoa di gereja," imbuhnya.
Dalam rancangan damai AS, wilayah Bukit Bait Suci akan menjadi wilayah Israel. Masjid Al-Aqsa pun termasuk ke dalamnya.
Pengamat Timur Tengah Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi berkomentar klaim Israel tidaklah relevan, sebab wilayah itu memiliki sejarah bagi umat Muslim.
"Itu makna historis dan teologisnya sangat kuat di Masjid Al-Aqsa itu," ujar Zuhairi yang yakin rencana itu akan ditentang dunia.
Pihak AS tetap bersikeras bahwa Yerusalem lebih damai berkat pemerintahan Israel. Keputusan itu akan terus dipegang AS.
AS resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak 2017. Sementara, Palestina ditawarkan wilayah Yerusalem Timur berdasarkan Middle East Peace Plan.
"Yerusalem untuk pertama kalinya di bawah pemerintah Israel menjadi damai dan terbuka, dan kami tidak berniat untuk mengotak-atiknya," ujar Dubes Friedman.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Donald Trump Ingin Guyur Duit ke Palestina, Pengamat: Mereka Butuhnya Kemerdekaan
Presiden AS Donald Trump siap memberi guyuran dana ke Palestina dalam bentuk investasi. Tak tanggung-tanggung, prospek investasinya mencapai USD 50 miliar (Rp 681 triliun).
Berdasarkan laporan Middle East Peace Plan versi Trump, investasi itu akan masuk ke Palestina dalam periode 10 tahun ke depan. Dana akan mengalir ke sektor pendidikan, turisme, kesehatan, dan dunia bisnis.
"Bisnis-bisnis akan mendapat akses ke permodalan, dan market di Tepi Barat dan Gaza akan terhubung dengan mitra dagang kunci, termasuk Mesir, Israel, Yordania, dan Lebanon. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi memiliki potensi untuk mengakhiri krisis pengangguran saat ini dan mengubah Tepi Barat dan Gaza menjadi pusat kesempatan," tulis laporan itu.
Pemerintah Israel menyambut positif rencana ini, sementara pihak Palestina menolak rencana AS yang turut meminta pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Zuhairi Misrawi berkata bukan uang yang dibutuhkan oleh Palestina, melainkan kedaulatan.
"Palestina tidak butuh ekonomi. Palestina itu butuh kedaulatan dan kemerdekaan karena bagi mereka kedaulatan dan kemerdekaan mutlak untuk membangun sebuah negara," ujar Zuhairi.
Ia pun berkata rencana Donald Trump bersifat transaksional, tidak sesuai hukum internasional, dan jauh dari keadilan.
"Persoalan Palestina ini selama ini penjajahan. Cara-cara penyelesaian Trump dengan memberikan kompensasi ini cara-cara transaksional yang jauh dari prinsip dan nilai-nilai keadilan," ujarnya.
Advertisement
Iming-iming untuk Lepas Yerusalem
Tawaran investasi itu dianggap oleh pengamat Timur Tengah Universitas Indonesia (UI) sebagai iming-iming agar Palestina mau melewas status Yerusalem. Hal itu tentunya berat bagi Palestina.
"Saya kira itu adalah sebuah tawaran agar Palestina mau realistis untuk melepas wilayah Yerusalam secara umum dan ia akan diberikan sebagian kecil di Yerusalem Timur," ujar pengamat UI Yon Machmudi.
Ia melihat ada unsur menjebak dalam tawaran ini, karena jika Palestina menolak, maka mereka akan disalahkan. Israel pun diduga akan menggunakan itu sebagai justifikasi untuk lanjut menduduki daerah Palestina.
Pemerintah Indonesia pun diminta bertindak melalui Dewan Keamanan PBB. Pasalnya, rencana damai versi Donald Trump masih cenderung memihak kepentingan Israel.
"Saya kira Indonesia melalui Dewan Keamanan PBB harus bisa meminta kedua belah pihak untuk bisa membicarakan secara fair terhadap masalah yang ada di Palestina, nampak bahwa plan dari Amerika itu masih berat sebelah," pungkasnya.
Baca Juga