HEADLINE: 100 Hari Jokowi-Ma'ruf Amin, Apa Saja Pencapaiannya?

Presiden Jokowi menegaskan, di periode keduanya memimpin kali ini, dia tidak memasang target 100 hari kerja.

oleh Delvira HutabaratMuhammad Radityo PriyasmoroLizsa EgehamMaulandy Rizky Bayu KencanaAthika Rahma diperbarui 31 Jan 2020, 00:03 WIB
Joko Widodo atau Jokowi membacakan sumpah jabatan saat dilantik menjadi Presiden RI periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, Jakarta, Minggu (20/10/2019). Jokowi dan Ma'ruf Amin resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin telah memasuki 100 hari. Penilaian pun biasanya mulai diberikan atas kinerja keduanya memimpin sejak dilantik pada 20 Oktober 2019.

Walaupun sebenarnya Presiden bernama lengkap Joko Widodo itu telah menegaskan, di periode keduanya memimpin kali ini, dia tidak memasang target 100 hari kerja.

"Kan sudah saya sampaikan sejak awal tidak ada 100 hari. Karena ini keberlanjutan dari periode pertama ke kedua. Ini terus ini. Nggak ada ini berhenti terus mulai lagi. Nggak ada," kata Jokowi di Tangerang, Kamis (30/1/2020).

Pencapaian ke depan seperti apa, dia meminta ditanyakan langsung kepada menteri di kabinet pemerintahannya. Sebab, dia sudah memberikan indikator kinerja yang jelas dan konkret.

"Jelas angka-angka, jelas semuanya. Tanyakan langsung ke menteri-menteri. Semuanya harus berada posisi speed yang tinggi karena kita memiliki target. Yang kita arah yang kita tuju," kata Jokowi.

Namun demikian, Jokowi beberapa waktu lalu meminta menterinya untuk segera menyelesaikan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law sebelum 100 hari kerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

Dia juga mengingatkan jajarannya untuk melaporkan setiap persoalan yang terjadi dalam penyusunan draf Omnibus Law. Sehingga, draf tersebut segera terselesaikan dan diajukan ke DPR.

RUU yang ditargetkan dapat diajukan pada Januari 2020 untuk Omnibus Law yaitu, UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM, dan UU Perpajakan.

Hingga 29 Januari 2020, Jokowi mengaku belum menandatangani surat presiden (surpres) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena masih butuh penyempurnaan. Sementara surpres Omnibus Law terkait Perpajakan sudah ditandatangani.

Sementara itu, sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Maju melakukan gebrakan dalam 100 hari kerja. Di antaranya adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Dia memutuskan menghapus Ujian Nasional (UN) yang mulai berlaku pada 2021.

Kebijakan penghapusan UN sempat menuai beragam reaksi. Setelah penghapusan UN, Nadiem kemudian menggalakkan Kampus Merdeka. Dia menyebut Kampus Merdeka merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar.

Kemudian Menteri PAN RB Tjahjo Kumolo yang berencana menghapus tenaga honorer. Tjahjo mengklaim, penghapusan tenaga honorer bertujuan mewujudkan visi Indonesia Maju.

Selain itu ada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Dia melakukan pembenahan dengan menghapus jabatan eselon I Kementerian BUMN.

Dia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian eselon I Kementerian BUMN. Selain pemangkasan eselon I, Erick juga merombak jajaran direksi dan komisaris perusahaan pelat merah.

Kemudian Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy tengah mempersiapkan SDM unggul. Langkah ini diawali dengan penerapan program sertifikasi kawin bagi pasangan yang ingin menikah.

Muhadjir mengungkapkan, tujuan dari sertifikasi kawin atau pembekalan pranikah ini merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam menyiapkan calon-calon pasangan baru yang akan membangun rumah tangga sehat.

 

Infografis 100 Hari Jokowi-Ma'ruf Amin. (Liputan6.com/Triyasni)

Namun demikian, dari sederet gebrakan tersebut tentu ada beberapa kritik yang dilontarkan dalam masa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Guru Besar Fisip Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menilai, masih ada inkonsistensi dalam kebijakan 100 hari Jokowi-Ma'ruf Amin karena ada beberapa kasus yang menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Seperti, pembentukan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pembentukan Omnibus Law.

"Itu saya pandang tak berjalan mulus dan dalam beberapa hal menimbulkan tanya tentang arah konsistensi dan kebijakan yang sebetulnya mau ke mana? Itu perlu dijawab setelah 100 hari ini," kata Bagong kepada Liputan6.com, Kamis (30/1/2020).

Dia juga menilai, program yang dijalankan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin memang belum ada terobosan yang signifikan terkait kesejahteraan seperti pembagian Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan berbagai kartu turunannya.

"Kalau dilihat menonjol mungkin kebijakan pemerintah yang misal perombakan beberapa direksi di BUMN di Garuda, itu kan memang diapresiasi publik," kata dia.

"Jadi, kalau mau dikalkulasi ini masih 50:50 antara kebijakan yang menimbulkan pertanyaan dan kebijakan yang disambut positif," kata Bagong.

Namun demikian, menurut Bagong, kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin ini tidak bisa hanya dilihat dari 100 hari kerja. Sebab, yang terpenting adalah rencana dalam lima tahun ke depan.

"Karena kalau kalau cuma 100 hari saja kita terjebak dengan hasil-hasil yang instan tapi bukan fundamental," kata Bagong.

Dia pun mengatakan, sebaiknya tidak terlalu mempersoalkan 100 hari kerja pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin. 

"Karena perubahan yang mencakup kesejahteraan mengurangi pengangguran itu tidak bisa dalam 100 hari, harus lihat jangka menengah dan panjangnya," kata Bagong.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Bagaimana 100 Hari Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf?

ilustrasi hukum

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyoroti sejumlah kebijakan penegakan hukum dalam bidang pemberantasan korupsi. Menurutnya, UU KPK melemahkan, memperlambat kerja, bahkan cenderung melumpuhkan KPK.

Dia juga menyoroti mengenai keberadaan Dewan Pengawas KPK. Menurut dia, pembentukan Dewan Pengawas melalui panitia seleksi merupakan pemborosan uang negara.

"Padahal di dalam struktur KPK berdasarkan UU KPK sudah ada institusi dewan penasihat yang pemilihannya juga terbuka dan menggunakan pansel internal. Sebenarnya bisa dengan memberikan kewenangan kepada dewan penasihat lebih realistis dan simpel dan efisien," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis 30 Januari 2020.

Dia menilai, pansel Dewas KPK selain tidak efisien juga bisa diarahkan untuk memilih orang orang tertentu yang dengan sengaja mengawasi dan membatasi KPK.

"Ini berarti juga Dewas bisa menjadi alat intervensi baik dari DPR maupun pemerintah untuk mengendalikan penegakan hukum pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK," kata dia.

Dia juga menyoroti Omnibus Law. Menurutnya, tujuan ekonomi lewat pengerahan pencarian investasi justru mendorong pada pelemahan hukum.

"Karena hukum hanya akan ditempatkan sebagai alat, bahkan secara substantif banyak hal menimbulkan kerugian terutama yang menyangkut perizinan dalam eksplorasi sumber daya alam, demikian juga kebijakan ketenaga kerjaan akan cenderung meminggirkan peranan tenaga kerja dalam negeri," Fickar menandaskan.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji menilai, wajar saja ada polemik mengenai UU KPK pada 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Dia pun memandang UU KPK yang baru tidak akan mengganggu operasionalisasi.

Menurutnya, kinerja penindakan dari KPK, begitu pula eksistensi dewan pengawas justru akan menciptakan sinkronisasi dan harmanisasi antara dewan pengawas dengan pimpinan KPK.

"Misalnya saja, penindakan hukum melalui OTT maupun non-OTT tetap berjalan tanpa kendala, meski ada pihak-pihak vested interest (kepentingan terselubung) tertentu mempermasalahkan kinerja KPK," kata dia.

Dia pun menilai, Omnibus Law memiliki tujuan objektif, yaitu melakukan efisiensi berbagai perundang-undangan yang tersebar, tumpang tindih yang kadang saling bertentangan akan menjadi terintegrasi, terkonsilidasi di dalam satu UU yang berbentuk Omnibus Law.

"Kalau persoalan kendala itu hal biasa dalam penyusunan suatu UU, soal sampai sejauh mana mengatur klastering objek UU dan pelaksanaan, juga harus ada konsolidasi dari Pemerintah kepada kekuatan parpol di legislatif sebagai patner kinerja pemerintah dalam rangka memuluskan RUU Omnibus Law," kata Indriyanto.

Dia juga menyoroti mengenai penegakan HAM di Tanah Air yang menurutnya masih ada kendala. Khususnya terhadap minimnya alat bukti karena terjadinya sudah puluhan tahun lalu, atau terjadinya sebelum adanya UU Pengadilan HAM sehingga belum bisa ditentukan kepastian kategori pelanggaran HAM tersebut.

"Jadi perlu konsep kenegaraan atas kehendak rekonsiliasi terhadap permasalahan hukum tersebut, dan ini sudah dijalankan sejak era pertama kepemimpinan Jokowi," kata dia.

Indriyanto mengatakan, persoalan hukum di Indonesia pada 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin masih terus berproses. Sehingga belum bisa terlihat apakah pencapaiannya bisa dirasakan masyarakat.

"Kalau berpijak dengan pendekatan sisi politik hukum, maka kebijakan penegakan hukum sudah berjalan dalam batas-batas keseimbangan due process of law, seperti reevaluasi regulasi-regulasi, sistem efisiensi kelembagaan penegakan hukum dan membangun sumber daya manusia di bidang penegakan hukum. Kesemua proses ini masih berlangsung dan akan menjadi penilaian publik tersendiri," kata Indriyanto.

Pimpinan DPR ikut menyoroti kinerja Jokowi selama 100 hari ini. Wakil Ketua DPR Aziz Syamsudin mengapresiasi Jokowi-Maruf terutama Omnibus Law.

"Apresiasi kebijakan Bapak Presiden untuk menyatukan langkah menuju Indonesia Maju dengan peningkatan kualitas SDM di segala sektor. Dengan Omnibus Law yang diajukan pemerintah akan mendorong percepatan kegiatas ekonomi menuju Indonesia Maju," kata dia, Kamis (30/1/2020).

Aziz juga menyampaikan catatan atau evaluasi bagi pemerintah ke depan. Terutama dalam peningkatan layanan masyarakat. Dia berharap, pemerintah terus meningkatkan pelayanan, menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat, dan berupaya melakukan nya sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku.


Capaian Versi Pemerintah

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (9/12/2019). Ratas tersebut membahas pelaksanaan program kredit usaha rakyat tahun 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin tak mempermasalahkan mengenai penilaian sejumlah pihak yang menyebut tindak-tanduknya kurang menonjol.

"Saya kan wakil presiden kalau saya menonjol jadi matahari kembar dong. Saya kan dampingi presiden, rapat-rapat saya jalankan juga," kata Ma'ruf di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu 29 Januari 2020.

Ma'ruf melanjutkan, dia sebagai wakil adalah untuk mematuhi segala tugas diberikan presiden, khususnya yang bersifat koordinatif dan bukan operasional.

Untuk kinerja ke depannya, Ma'ruf mengaku banyak tantangan yang tidak mudah. Kendati dia bersyukur dengan nilai pertumbuhan 5,1 persen yang dicapai pemerintah saat ini. Sebab angka tersebut masih lebih baik dari negara berkembang lainnya.

Ma'ruf berharap, capaian pemerintah jelang 100 hari pertamanya tidak lagi dilihat dari sebelah sisi saja. Karena menurut dia, secara umum semua dalam kondisi yang on the track.

"Jadi secara umum dilihat tidak per sektor ya, dan semoga dengan Omnibus Law juga dapat mendukung ini," Ma'ruf menambahkan.

Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman menjelaskan, tidak ada desain program 100 hari pemerintahan akan tetapi pemerintahan saat ini melanjutkan apa yang sudah dilakukan pemerintahan periode sebelumnya.

"Kami menyebutnya sebagai pancakerja, yaitu yang pertama soal pengembangan sumber daya manusia, yang ke dua keberlanjutan infrastruktur, yang ke tiga adalah penyederhanaan birokrasi, ke empat penyederhanaan regulasi, dan yang ke lima adalah transformasi ekonomi," kata dia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 29 Januari 2020.

Seperti dilansir Antara, ada sejumlah hal yang bisa dicatat dalam 100 hari pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, misalnya dalam hukum dan konstitusi yaitu mengenai amandemen yang dikerjakan oleh MPR RI terutama pemilihan presiden.

Dalam bidang hukum Presiden mengatakan terkait pelanggaran HAM di masa lalu akan dikerjakan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD dimana Fadjroel juga menjadi anggotanya.

Terkait dengan undang-undang, Fadjroel menyebut ada 4 Omnibus Law, yaitu Cipta Lapangan Kerja, Kefarmasian, Perpajakan, dan Ibu Kota Negara baru.

Dalam bidang transformasi ekonomi, Fadjroel mengungkapkan, Rabu 29 Januari 2020 Presiden Jokowi menyampaikan apresiasi atas penandatanganan 1300 kontrak kerja proyek-proyek nasional di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2020.

Hal ini sesuai dengan arahan Jokowi bahwa hendaknya semua kegiatan yang terkait dengan tender pemerintah dilaksanakan pada awal tahun.

Kebijakan ekonomi pemerintah sudah membuat RPJMN disebutkan sampai tahun 2024 pemerintah sudah membuat beberapa target terkait dengan penurunan angka kemiskinan, gini rasio, dan sebagainya. Sehingga pada tahun 2045 Indonesia akan menjadi 4 besar negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Dalam bidang reforma agraria, pemerintah sudah menyerahkan sertifikat tanah untuk rakyat 2014-2018 13.4 juta sertifikat, 2019 11.2 juta sertifikat. Fadjroel berharap 80 sampai 100 juta sertifikat tanah bisa terselesaikan.

"Ini bagian dari panca kerja transformasi ekonomi, karena setiap orang yang memiliki sertifikat tanah mereka boleh menyimpannya atau mengagunkannya untuk berbisnis," ucapnya.

Kemudian mengenai Zona Ekonomi Eksklusif di Natuna, Presiden Joko Widodo mendorong agar ZEE dimanfaatkan oleh para nelayan, di mana Pulau Natuna sudah memiliki pelabuhan dan tempat pelelangan ikan, serta cold storage.

Fadjroel menambahkan, reformasi birokrasi juga sudah dikerjakan oleh beberapa kementerian seperti menghilangkan eselon 3 dan eselon 4, dan kementerian yang pertama melakukan hal tersebut adalah Kementerian PAN RB.


100 Hari Jokowi-Ma'ruf di Bidang Ekonomi

Presiden Joko Widodo memberikan sambutan pada penutupan index saham gabungan 2017 di BEI, Jakarta, Jumat (29/12). Perdagangan bursa saham 2017 ditutup pada level 6.355,65 poin, angka tersebut naik dibandingkan tahun 2016. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Analis Bursa sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim, menilai kinerja pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) dalam 100 hari pertamanya telah memberikan dampak yang sangat baik terhadap kegiatan perdagangan di pasar modal Indonesia.

Menurut Ibrahim, ambisi Jokowi yang ingin membawa banyak perubahan dalam kabinet kerjanya telah memberikan kepercayaan diri yang sangat besar kepada pihak investor.

"Jokowi kan ingin banyak mereformasi, bawa banyak perubahan. Itu positif, sangat positif pengaruhnya untuk investor dan penanam modal," kata dia dalam sambungan telepon kepada Liputan6.com, Kamis (30/1/2020).

Sebagai catatan, masa kerja Jokowi-Ma'ruf dalam 100 hari pertamanya dipenuhi berbagai kasus. Salah satunya bersih-bersih jajaran direksi beberapa perusahaan milik negara.

Namun, Ibrahim menganggap perombakan yang dilakukan Menteri BUMN Erick Thohir tersebut justru memberikan perspektif positif pada banyak investor. Terlebih langkah itu diterapkan pada sejumlah perusahaan pelat merah besar seperti Garuda Indonesia dan Pertamina.

Tak hanya itu, insiden gagal bayar klaim oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan Asabri juga turut memberi catatan tersendiri bagi Jokowi-Ma'ruf. Terlebih kasus tersebut ikut mengangkat ramainya isu saham gorengan di tengah publik.

Akan tetapi, Ibrahim memandang peristiwa itu tidak serta merta membuat para investor menghentikan aliran dananya dalam beraktivitas di pasar modal.

"Di sisi lain kondisi perekonomian dunia memang lagi enggak bagus, jadi semuanya memang terdampak. Tapi investor kita sudah mengerti bagaimana tidak terjerumus di investasi bodong seperti itu," ujar dia.

Apa Kata Buruh?

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan, buruh tidak dapat menilai dengan pasti bagaimana kinerja pemerintah dalam 3 bulan ini.

Namun, buruh menyoroti pembentukan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan iuran BPJS Kesehatan yang naik, karena keputusan tersebut berdampak langsung ke buruh yang notabenenya berada di kalangan menengah ke bawah.

"Saya tidak punya pendapat (kinerja). (Namun) yang menjadi sorotan buruh adalah menolak Omnibuslaw dan menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan khususnya kelas 3," ujar Said Iqbal saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (30/1/2020).

Said melanjutkan, ada beberapa alasan mengapa buruh menolak Omnibus Law tersebut, antara lain dapat menghilangkan upah minimum, mengurangi nilai pesangon, adanya fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing bebas dan buruh kontrak tanpa batas, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi tenaga kerja asing (TKA) dan unskilled workers atau tenaga tanpa keahlian, jaminan sosial terancam hilang hingga menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.

"Omnibus Law ini berarti pemerintah belum mendukung kepentingan buruh, khususnya Omnibus Law kluster ketenagakerjaan yang merugikan buruh," imbuh dia.

Said mengatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan harusnya juga dapat diminimalkan oleh pemerintah, karena jika iuran naik, maka akan membuat daya beli masyarakat jatuh sehingga akan terjadi migrasi kepersertaan dari kelas I ke kelas II atau III.

"Ketika iuran semakin memberatkan dan akhirnya rakyat tidak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan, sama saja kebijakan ini telah memeras rakyat. Padahal, jaminan kesehatan seharusnya hadir adalah tanggung jawab negara sebagaimana amanat Undang-Undang 1945 pasal 28H," tuturnya.

Sehingga kesimpulannya, buruh belum dapat merasakan rangkulan negara untuk buruh melalui kebijakan-kebijakan yang diambil.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya