100 Hari Jokowi-Ma'ruf, Apa Kabar Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen?

Ekonom menilai kinerja 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, semakin kehilangan harapan terkait pertumbuhan ekonomi.

oleh Tira Santia diperbarui 31 Jan 2020, 10:45 WIB
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (9/12/2019). Ratas tersebut membahas pelaksanaan program kredit usaha rakyat tahun 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, menilai kinerja 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, semakin kehilangan harapan terkait pertumbuhan ekonomi.

Target yang diharapkan Jokowi dalam pemerintahannya, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7 persen. Namun hal itu tak kunjung terwujud.

“Intinya begini kalau 100 hari itu indikator-indikator ekonomi tidak bisa digunakan sebagai cerminan kinerja nya Pak Jokowi, ya karena apa? seperti pertumbuhan ekonomi dan sebagainya bukan merupakan hasil yang 100 hari itu,” kata Piter kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (30/1/2020).

Sementara menurutnya, jika ingin melihat 100 hari kerja Jokowi yakni dilihat dari arah kebijakannya saat memimpin di periode kedua ini. Dengan melihat bagaimana arah kebijakannya, seperti apa, dan keputusan apa saja yang sudah di ambil Jokowi.

Namun, Piter melihat masa periode Jokowi kedua ini, jangan berharap ekonomi Indonesia mengalami lompatan pertumbuhan. Seperti sebelumnya Jokowi mengatakan target pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 7 persen. Bahkan jajaran menterinya pun pesimis terhadap target tersebut.

“Kalau saya melihat kita semakin kehilangan harapan, bahwa pada masa periode Jokowi kedua ini akan mengalami lompatan pertumbuhan ekonomi. Dulu kan pas di awal pertama Jokowi tahun 2015 Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi 7 persen dan sebagainya. Tapi kenyataannya selama lima tahun, itu tidak pernah tercapai,” ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Perlu Strategi Komprehensif

Capres dan Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat Debat Capres Pilpres 2019 pertama di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1). Debat perdana ini mengangkat tema hukum, hak asasi manusia, terorisme, dan korupsi. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ia pun menegaskan, bahwa dirinya melihat kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Jokowi tidak jelas arahnya kemana. Piter menilai bahwa Jokowi sebagai presiden tidak memiliki strategi secara komprehensif dalam mengatur perekonomian.

“Jadi kalau bayangan saya selama 100 hari ini menegaskan bahwa tidak tidak bisa berharap, akan adanya loncatan ekonomi apalagi kebijakan-kebijakan nya juga tidak cukup jelas arahnya mau kemana, kalau saya melihatnya Pak Jokowi itu tidak punya strategi secara komprehensif ekonomi itu mau dibawa kemana,” ujarnya.

Lanjut Piter, strategi kepemimpinan Jokowi tidak jelas dalam mencapai suatu tujuan tidak bisa menentukan strategi mana yang akan di andalkan, dalam mewujudkan capaiannya.

“Strateginya yang mana yang akan diandalkan mana, yang akan dicapai pondasinya mana, pola pilar-pilarnya mana? Saya tidak melihat itu secara jelas kebijakannya sifatnya lebih Sporadis,”  jelasnya.

 


Omnibus Law

Presiden Jokowi didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin memimpin rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Rapat terbatas perdana dengan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju itu membahas Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Perekonomian. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Contoh kebijakan yang dinilai Piter tidak jelas, yakni omnibuslaw. Memang tujuan Jokowi dibuatnya omnibuslaw untuk menarik investor, namun disisi lain kebijakan tersebut memiliki dampak yang banyak bagi konsumen, yang menyebabkan tertahannya daya beli konsumen.

“Memang omnibuslaw untuk  menarik investasi, tapi di sisi lain kebijakannya tidak ramah untuk konsumsi, misalnya ya konsumsi tertahan daya beli tertahan, harga cukai rokok dinaikkan, menaikkan iuran BPJS, dan meninjau juga subsidi gas, dan sebagainya,” ujarnya.

Hal itu lah yang akhirnya menyebabkan konsumsi tertahan, meskipun dengan adanya omnibuslaw tetap saja ia menilai kebijakan itu tidak seimbang.

“Akhirnya hanya akan menyebabkan konsumsi akan tertahan walaupun kita punya omnibus law, kalau konsumsinya tertahan ya daya tarik konsumennya berkurang, nah hal-hal yang seperti ini tidak adanya kesatuan kebijakan itu,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya