Liputan6.com, Afrika Selatan - Liburan sering kali memberikan sebuah inspirasi atau ide yang tidak terduga. Seperti yang dialami Paula Ansley saat liburan ke cagar alam beberapa tahun lalu.
Saat itu ia terinspirasi untuk bertanya kepada suaminya mengenai “Apakah mungkin membuat gin menggunakan kotoran gajah?”
Advertisement
Gin adalah minuman beralkohol dari hasil fermentasi serealia yang diberi aroma buah pohon juniper, dan melalui proses distilasi. Dicampur minyak rempah-rempah seperti adas manis, karawai, biji ketumbar, kulit jeruk, akar manis, kayu manis, dan kapulaga.
Melansir dari CNN, Minggu (2/2/2020), pasangan suami istri ini dikenal sebagai Les dan Paula. Sang suami adalah warga Afrika Selatan yang pindah ke Inggris bertahun-tahun sebelumnya menikahi sang pasangan hidupnya.
Mereka berdua merupakan profesor di berbagai bidang biologi.
Setelah meninggalkan akademi, mereka membuat rencana untuk pindah ke Afrika Selatan dan memulai bisnis yang dapat berkontribusi pada konservasi dan memberikan manfaat kepada masyarakat.
Penyelidikan aneh ini muncul setelah seorang penjaga hutan menjelaskan kepada mereka, tentang bagaimana asupan yang dimakan oleh gajah tertentu tidak seluruhnya diserap, yang berarti sebagian besar makanan tanaman mereka tetap ada di kotorannya.
Setelah kunjungan ke cagar alam, Paula yang merupakan penikmat gin, mempunyai pikiran terkait mengapa tidak membiarkan kotoran gajah sebagai bahan alami untuk membuat minuman gin.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Proses Pembuatan Gin
Tidak ada yang punya pengalaman tentang penyulingan, tetapi pada tahun 2018 pasangan itu menciptakan Indlovu Gin, dicampur dengan "tumbuhan yang dipelihara oleh gajah" dan berasal dari kotoran mereka.
Kotoran dikeringkan dan melalui proses sanitasi, sebelum dibilas dan dikeringkan lagi, karena dapat membuatnya sepenuhnya aman untuk diminum. Kotoran kering itu kemudian dimasukkan ke dalam gin.
"Kami menghubungi Botlierskop dan berkata, apakah Anda bisa mengirimkan beberapa kotoran gajah untuk kami?" Les Ansley menjelaskan. "Mereka berkata, ya tentu, tidak masalah, dan mereka mengirimi kami beberapa kotoran gajah dan kami mulai mencari cara menyiapkannya."
Saat ditanya terkait rasa, Ansley berkata bahwa rasanya memiliki aroma tanah dan rumput. Semua tergantung di mana tempat mengumpulkan tumbuhan, atau dari mana gajah yang dikumpulkan, dan rasa gin dapat berubah sedikit.
Serta termasuk perasa gin klasik seperti juniper dan ketumbar, Indlovu Gin mengambil rasanya dari ekstrak makanan gajah dari akar, rumput, buah dan kulit kayu, juga termasuk lidah buaya dan akasia. Setiap botol ditandai dengan koordinat GPS di mana kotoran itu ditemukan dan tanggal pengumpulannya, Ansley menambahkan.
Sejak gelombang pertama pada November tahun lalu, perusahaan Afrika Selatan telah menghasilkan 6.000 liter dan sekarang mengekspor ke Eropa dan negara-negara Afrika lainnya.
Meningkatnya penghasilan dan ekspor memicu harga eceran sekitar Rp 464 ribu per botol dan menyumbangkan 15 persen dari keuntungannya kepada Yayasan Afrika untuk mendukung konservasi gajah.
Advertisement
Peminat Gin Kian Meningkat
Elephant dung gin adalah salah satu dari jumlah hasil kerajinan gin yang terus meningkat di Afrika Selatan. Pada Penghargaan Kerajinan Gin Afrika Selatan perdana Agustus lalu, ada lebih dari 110 kandidat, banyak yang menggunakan bahan-bahan lokal, seperti rooibos dan tumbuhan dari gurun Karoo.
Dimulai sebagai pembuat gin pemula, Ansleys meminta keahlian penyuling Roger Jorgensen untuk menunjukkan kepada mereka seluk-beluknya.
Joorgensen mengatakan penyulingannya menghasilkan gin kerajinan pertama Afrika Selatan pada tahun 2007, sebelum gin melonjak di negara itu mulai sekitar 2013. Jorgensen memperkirakan gin akan terus menjadi populer setelah lonjakan gin kerajinan baru, meskipun kemungkinan lebih sedikit penyuling baru akan memasuki pasar.
Perusahaan riset minuman ISWR memperkirakan konsumsi gin Afrika Selatan naik dari 518.000 kasus sembilan liter pada 2013 menjadi hampir 1,8 juta pada tahun 2018. Secara global, konsumsi gin diperkirakan meningkat menjadi lebih dari 10 juta kasus pada 2023.
Reporter: Jihan Fairuzzia