Liputan6.com, Jakarta Istilah guru bangsa sering disematkan pada orang-orang yang ketokohannya melampaui sekat-sekat kepentingan politik jangka pendek dan pikiran serta pengabdiannya luas serta jauh melampaui jamannya.
Pada masa lalu, bertabur sejumlah nama, seperti pendiri NU KH Hasyim Asyari dan pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, Tjokroaminoto yang menjadi guru bagi banyak tokoh politik penting di kemudian, duet proklamator bung Karno dan bung Hatta, KH. Agus Salim, Sutan Sjahrir, Buya Hamka. Kemudian ada alm. Soedjatmoko (bung Koko, 1922-1989), alm. Nurcholish Madjid (cak Nur) dan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan sejumlah tokoh lain. Tulisan-tulisan dan pidato-pidato mereka bak suluh yang menerangi perjalanan sejarah bangsa Indonesia dengan segala dinamikanya, terus relevan tak lekang dengan waktu.
Advertisement
Tapi sepeninggal para pemikir ini, siapa guru bangsa berikutnya? Menjelang akhir Januari 2020, sejumlah organisasi masyarakat di Jogjakarta mengadukan persoalan-persoalan bangsa ini pada tujuh tokoh: Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii Maarif), KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Sinta Nuriyah Wahid, Habib Luthfi bin Yahya, Ketua Umum PP Muhammadiyah KH Haedar Nasir, Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultoma dan Ketua Umum Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Mgr. Ignatius Suharyo. Ketujuh tokoh ini menurut ormas-ormas ini, merupakan guru bangsa yang dihormati Presiden, sehingga diharapkan mereka bisa memberi teguran atau “menjewer” Presiden. “Buya Syafii Maarif pernah meminta Presiden untuk tidak memilih menteri yang bikin kacau,” kata perwakilan ormas-ormas ini, "Ia mensyaratkan kriteria menteri yakni integritas, kompetensi dan profesionalisme.”
Mencari Pandito
Siapa yang lain? Dalam dunia pewayangan dikenal istilah pandito ratu. "Dalam tradisi Jawa, umumnya penggeseran itu dimulai dari ratu ke pandito. Tidak pernah ada presendence yang sebaliknya: seorang pandito kemudian menjadi ratu,” tulis budayawan Moh. Sobary di harian Jawa Pos (1992), "Yang ada ialah ratu yang lengser kalenggahan (meninggalkan alam ramai) untuk mandito (menjadi pandito), dan tinggal di lereng-lereng gunung. Resi Begawan Abiyoso, pandito sakti yang membuka padepokan di Sapta Arga, itu dulunya seorang raja agung binatara di Astina.”
Siapa di Indonesia yang seperti ini? Meminjam penjelasan kang Sobary di atas, kita mesti melihat diantara para mantan Ratu (penguasa) alias Presiden. Dari enam tokoh yang pernah memerintah di republik ini, empat diantaranya telah wafat: Bung Karno, pak Harto, Gus Dur dan pak Habibie. Tinggal dua yang tersisa, bu Megawati Soekarnoputri dan pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam usia 72 tahun, bu Mega baru saja didaulat kembali untuk menjadi Ketua Umum PDI-P. Jabatan ini sudah diemban 27 tahun lamanya, enam tahun sebagai Ketua Umum PDI (1993-1999) dan 21 tahun sebagai Ketua Umum PDI-Perjuangan (1999-sekarang). Dalam masa sepanjang ini, bu Mega sempat menjadi Presiden ke-5 RI, ketika sebagai Wapres, bu Mega secara konstitusional harus menggantikan KH. Abdurahman Wahid yang mandatnya sebagai Presiden dicabut dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001. Dalam pemilu langsung pertama tahun 2004, pasangan Megawati-Hasyim Muzadi harus mengakui keunggulan pasangan SBY-JK. Pemilihan aklamasi bu Mega dalam kongres Bali tahun 2019 menunjukkan belum ada tanda-tanda bu Mega akan mandito.
Sebaliknya dengan pak SBY. Usai menunaikan tugas sebagai Presiden RI selama dua periode (2004-2014), pak SBY memilih untuk lebih banyak mengurus Partai Demokrat serta sesekali menyampaikan pendapat atas perkembangan situasi nasional maupun internasional. Dalam usia 70 tahun, pak SBY terlihat masih bugar, tajam analisasnya dan masih kuat ingatannya. Hubungannya dengan tokoh-tokoh nasional maupun internasional juga terpelihara baik. Tamu-tamu dari dalam dan luar negeri selalu mengalir ke kediaman pemberian negara di kawasan Mega Kuningan atau di rumah pribadinya di Cikeas, Bogor.
Nyaman Jadi Suar
Tapi awal Desember 2019, bertepatan dengan peringatan enam bulan wafatnya bu Ani Yudhoyono, pak SBY melontarkan isyarat ingin berhenti dari hingar bingar politik sehari-hari. Pak SBY ingin jadi seruling dari lembah sunyi.
Isyarat ini diperkuat oleh dua kejadian. Pertama, refleksi akhir tahun Partai Demokrat yang dilakukan menjelang akhir tahun. Dalam pidato yang disiarkan langsung oleh televisi nasional, pak SBY menguraikan dengan tajam dan santun sejumlah permasalahan yang dihadapi masyarakat, terutama terkait kesejahteraan, demokrasi dan keadilan masyarakat. Pak SBY juga memberikan sejumlah saran konkret, berdasarkan pengalamannya menjadi Presiden selama 10 tahun.
Kedua, pak SBY mengimbau pemimpin-pemimpin dunia, terutama AS dan Iran, untuk menahan diri agar tidak terjadi konflik berskala besar yang bisa mengarah ke Perang Dunia ketiga. Ini terkait serangan rudal AS yang menewaskan Jenderal Soleimani Komandan pasukan elit al Quds. Tak berselang lama, Sekjen PBB Antonio Guterres mengeluarkan pernyataan yang senada. Iran membalas dengan menembakkan rudal ke dua pangkalan militer di Irak yang menjadi basis pasukan AS. Tidak ada korban. Setelah itu ketegangan mereda.
Pak SBY kelihatannya nyaman berada dalam posisi menjadi suar (beacon) untuk memandu masyarakat melihat persoalan-persoalan nasional dan internasional secara jernih.
Meneruskan penjelasan kang Sobary, "Transformasi dari ratu ke pandito bukan transformasi psikologis. Ia, dengan kata lain, merupakan sebuah laku batin, ketika kebutuhan untuk hidup asketik dirasa telah tiba saatnya untuk dipenuhi. Laku batin seperti ini lebih merupakan kecenderungan pribadi. Artinya, ia tidak bisa diprogramkan, tidak bisa dimassalkan. Dengan kata lain, ia merupakan sebuah panggilan hati. Dan panggilan seperti itu datangnya selalu kelak, setelah orang menjadi tua, setelah berhenti dari jabatan, setelah jenuh dengan kekuasaan.”
Bangsa ini membutuhkan suluh, untuk memandu perjalanan sejarahnya di tengah berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri. Tidak ada yang lebih baik untuk bisa melakukan peran kebangsaan ini selain mantan Presiden yang berpengalaman memerintah 10 tahun tapi tidak lagi memiliki hawa kuasa.
** Yoka Permadoni, penulis merupakan lulusan ilmu politik, periset yang skeptik, penonton setia Netflix