Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, penetrasi teknologi semakin luas dan cepat. Hampir seluruh sektor terkena dampak perkembangan teknologi ini, tidak terkecuali ekonomi. Teknologi membuat pola konsumsi, produksi dan distribusi berubah. Preferensi masyarakat beralih dari cara tradisional ke cara modern.
Tak ketinggalan, sektor perbankan melakukan upaya keras agar tak terhalau gelombang modern yang mengubah total aktivitas nasabah mereka. Perbankan berlomba-lomba memodernisasi sistem mereka demi mempertahankan loyalitas nasabah.
Namun, bagaimana dengan nasib bank-bank kecil yang penetrasinya tak sebesar bank-bank besar?
Baca Juga
Advertisement
Ekonom sekaligus Komisaris Independen BCA Raden Pardede menyatakan, memang dalam beberapa waktu ke belakang, data OJK dan BI menyebutkan bahwa kinerja bank-bank buku 1 dan 2 (bank dengan modal inti Rp 1 triliun hingga Rp 5 triliun) melambat karena aliran Dana Pihak Ketiga (DPK) juga melemah.
"Kalau lihat dari data OJK dan BI, bank-bank buku 1 dan 2 DPK nya melemah dan melambat, bahkan kadang mendekati 0, atau negatif. Sehingga kalau DPK nya lemah, tentu profitabilitynya juga terancam," ujar Raden di Jakarta, Jumat (31/1/2020).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Aturan OJK
Apalagi, setelah OJK memutuskan menaikkan batas modal minimal menjadi Rp 3 triliun, mungkin saja bank-bank kecil ini akan beralih menjadi bank-bank spesifik.
Oleh karenanya jika bank-bank kecil ini mau bertahan, mereka tidak bisa mengandalkan pendapatan dari aliran DPK saja, tapi juga fee based income, contohnya fee pembayaran transaksi dan lainnya. Bank buku 4 sekalipun saat ini sudah melakukan investasi besar-besaran untuk sistem dan teknologi demi meraup fee based income.
Namun demikian, masih ada tantangan yang harus dihadapi jika bank-bank kecil ingin mendapatkan fee based income.
"Nah, sekarang, agak sulit untuk bank kecil investasi di sini karena modal mereka juga terbatas, makanya harus dipikirkan apakah mereka harus gabung dengan bank besar atau kolaborasi," imbuh Raden.
Advertisement