Cerita Akhir Pekan: Jaga Asa Membaca Lewat Toko Buku

Beberapa toko buku memang ada yang tutup, tapi belakangan juga cukup banyak toko buku baru bermunculan, terutama toko buku independen.

oleh Henry diperbarui 01 Feb 2020, 08:31 WIB
Kios di Jakbook. (dok. liputan6.com/Novi Thedora)

Liputan6.com, Jakarta – Dalam sebuah acara festival literasi pada Oktober 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyinggung tentang literasi atau minat membaca masyarakat Indonesia, terutama membaca buku yang masih rendah.

"Indonesia negara dengan tingkat literasi dikategorikan rendah dan kita tidak bangga dengan skor itu," ujarnya di Jakarta, 2 Oktober 2019. Sri Mulyani mengatakan, peningkatan literasi menjadi salah satu tantangan dalam mendorong kemauan masyarakat mengetahui lebih banyak terkait pengetahuan, informasi, dan ilmu.

Buku juga biasa disebut sebagai gudang ilmu atau jendela dunia. Banyak hal bisa kita ketahui dari sebuah buku. Semakin banyak gudang ilmu, tentu diharapkan pengetahuan dan wawasan kita pun semakin bertambah.

Untuk medapatkan gudang ilmu ini, biasaya kita membelinya di toko buku. Lalu, bagaimana perkembangan toko buku di Indonesia di era digital seperti sekarang ini, ditambah minat baca masyarakat yang dianggap masih rendah?

Beberapa toko buku memang ada yang tutup, tapi belakangan juga cukup banyak toko buku baru bermunculan, terutama toko buku independen atau indie. Usaha ini biasanya dimiliki oleh pribadi dan bukan milik grup usaha tertentu. Salah satunya adalah toko buku Pojok Rosi yang berlokasi di kawasan Depok, Jawa Barat. Berdiri sejak 2014, perkembangan toko ini ternyata cukup bagus dan punya banyak peminat.

"Saya buka usaha toko buku ini bareng teman yang juga tinggal di daerah Depok. Tadinya saya sempat kerja kantoran tapi saya memutuskan untuk mundur supaya lebih fokus mengurusi toko buku ini. Perkembangannya cukup bagus, peminatnya kebanyakan anak muda dan mahasiswa karena lokasinya memang nggak jauh dari beberapa kampus," tutur Rosiadi, salah seorang pemilik Pojok Rosi melalui sambungan telepon pada Liputan6.com.

Sebagian besar koleksi bukunya bertema filsafat, agama, budaya, sastra dan sosial yang pas untuk segmen mahasiswa. Meski begitu mereka juga menjual buku-buku yang ‘ringan’ seperti novel dan komik terbitan dalam maupun luar negeri.

Kemajuan teknologi dan maraknya media sosial mereka manfaatkan untuk memaksimalkan promosi dengan biaya murah. Mereka juga memberi diskon khusus bagi mahasiswa dan di momen-momen tertentu seperti Tahun Baru, Hari Pendidikan Nasional atau Hari Buku Nasional.

"Selama ini promosi kita lewat media sosial seperti Twitter dan Instagram lumayan efektif, mungkin juga karena segmen kita sebagian besar mahasiswa dan anak muda, informasinya jadi cepat menyebar, ya dari mulut ke mulut juga, setelah itu mereka lihat di medsos juga," ungkap Rosiadi.

Pria 48 tahun itu menambahkan, pihaknya juga sering berkolaborasi dengan beberapa penerbit independen dalam meramu strategi promosi yang lebih tepat sasaran. "Mereka ini biasanya pernah bekerja di penerbitan besar atau toko buku besar, jadi punya pengalaman yang lumayan bagus," ucapnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Toko Online dan Fisik

Seorang wanita terlihat membaca di salah satu toko buku di kawasan Taman Pintar Yogyakarta, Selasa (3/11/2015). Selain banyak pilihan, toko buku di Taman Pintar terkenal dengan harga yang murah. (Boy Harjanto)

Hal itu bisa dilihat dari penerbit indie, KataDepan yang juga berkantor di wilayah Depok dan merupakan bagian dari HutaMedia Group. Pendiri dan pimpinan mereka, Gita Romadhona, sudah cukup berpengalaman di dunia penerbitan. Segmentasi mereka adalah pembaca remaja hingga dewasa muda.

"Saya pernah bekerja di GagasMedia selama 10 tahun. Lalu di 2016 saya keluar dan memulai KataDepan. Dalam tiga tahun terakhir, perkembangannya termasuk omzetnya sangat baik," terang Gita dalam pesan singkat pada Liputan6.com, Jumat, 31 Januari 2020.

Menurut Gita, pasar buku cetak cukup dipengaruhi dengan branding penulis. Kalau branding penulis baik, umumnya penjualan bukunya juga akan bagus.

"Misalnya, buku Ingkar, karya Boy Candra yang tengah kami preorder sekarang. Penjualannya bagus sekali, belum edar saja sudah terjual ribuan eksemplar," ujarnya.

Sedangkan untuk penjualan, menurut Gita, baik dijual secara online atau toko buku fisik punya pasarnya masing-masing.

Dengan membeli online tentu memudahkan pembeli yang jauh dan tidak terjangkau toko buku. Selain itu, jualan online juga relevan dengan kemajuan teknologi saat ini.

"Namun, toko buku juga berperan penting sebagai ruang publik yang membuat orang punya pengalaman dan sensasi sendiri saat berinteraksi langsung dengan buku. Jadi, bagi kami, keduanya tetap kami pertahankan sebagai relasi utama," jelasnya lagi.

Situasi tidak jauh beda ternyata juga dialami salah satu grup penerbitan terbesar di Indonesia, Gramedia.

Di tengah anggapan minat baca masyarakat yang masih rendah, harga buku kerap dianggap mahal dan munculnya beragam platform digital pengganti buku, toko buku Gramedia yang di tahun ini genap berusia 50 tahun, kini ternyata semakin berkembang.

Sejak didirikan pada 2 Februari 1970 kini Gramedia telah mempunyai 121 toko yang tersebar di 52 kota di Indonesia, Bahkan di tahun ini mereka berencana akan membuka 10 gerai baru yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia.


Strategi Gramedia

Pembeli memilih buku pelajaran di sebuah toko buku di Jakarta, (12/7). Menjelang dimulainya tahun ajaran baru 2016/2017 penjualan buku materi pelajaran dan buku tulis di toko buku mengalami peningkatan sekitar 50 persen. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Menurut General Manager Corporate Secretary Gramedia Yosef Adityo, dibukanya gerai baru ini diharapkan mampu menjangkau lebih banyak masyarakat dan meningkatkan literasi di Indonesia. Ia juga mengungkapkan berbagai strategi yang dilakukan toko buku Gramedia dalam menghadapi era digital.

Mereka menghadirkan beberapa layanan seperti Audiobook, e-digital, Our Happy Place dan Gramedia Go. Audiobook yang merupakan buku yang ditampilkan dalam bentuk audio suara.

"Saat ini memang Audiobook sedang dikembangkan dan ada 60 digital book yang tahun ini akan diluncurkan. Bentunya seperti apa dan buku apa saja yang sudah dibuat audiobook, masih kita rahasiakan," ucap pria yang akrab disapa Adit ini saat ditemui di Gramedia Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jumat, 31 Januari 2020.

Untuk e-book tercatat ada 19.000 judul yang sudah dipubilkasikan melalui aplikasi Gramedia Digital atau aplikasi digital literasi milik pemerintah yang dapat diakses secara gratis seperti e-perpus atau e-jakarta. Lalu ada Our Happy Place yaitu sebuah Venue Augmented Reality yang edukatif yang diperuntukkan untuk anak-anak dan digunakan untuk bermain digital dan bergerak.

"Jadi anak-anak nggak cuma bermain game yang duduk aja tapi juga bisa bergerak seperti main basket, main bola tapi ditampilkan secara digital," jelasnya.

Saat ini Happy Place baru dapat ditemukan hanya di Gramedia Harapan Indah, Bekasi. Sementara Gramedia Go diperuntukkan bagi para pengunjung yang ingin mencari buku agar tidak kesulitan mencari kesana-kemari tinggal ke Customer Service dan dapat melakukan pembayaran melalui digital payment.

"Yang jelas kita akan terus berekspansi dan berusaha untuk terus menghidupi api literasi untuk masyarakat Indonesia, mendorong ide, kreativitas, inspirasi dan inovasi. Makanya kita juga harus selalu berinovasi dan kreatif untuk tetap bisa eksis dan berkembang," tutur Adit.

Dengan perkembangan toko buku independen maupun toko buku grup besar yang semakin dinamis, kenapa budaya membaca masyarakat kita masih dianggap rendah?  Menurut penulis sekaligus pengamat literasi, Maman Suherman, salah satu persoalan utamanya adalah penyebaran yang kurang merata.

Toko buku di Indonesia umumnya baru ada di kota-kota besar atau daerah perkotaan. Dampaknya, penyebaran buku atau bahan bacaan lainnya jadi kurang merata.


Jauhnya Jarak Buku dan Masyarakat

Maman Suherman dalam sebuah acara di Gramedia Pondok Indah Mall, Jakarta, 31 Januari 2020. (Liputan6.com/Henry)

"Kalau kata UNESCO, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang baca buku. Lalu kita rata-rata cuma baca 2-3 buku per orang per tahun, bandingkan sama Finlandia yang 40-50 buku per orang per tahun. Kita ururan 60 dari 61 negara literate di dunia, Finlandia ada di nomor satu, kita cuma di atas Bostwana," kata pria yang akrab disapa Kang Maman ini di Gramedia Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jumat, 30 Januari 2020.

Bagi Kang Maman, minat baca orang Indonesia sebenarnya tinggi tapi masalah utamanya adalah jarak buku dan masyarakat sangat jauh.

"Di beberapa daerah di Sulawesi, seperti Sulawesi Barat, orang mau baca buku harus melewati delapan kabupaten dan perjalanan sekitar enam jam untuk bisa ketemu toko buku yang representatif. Di Indonesia ada sekitar 400 kabupaten/kota, toko buku yang terbesar Gramedia baru ada 121, kalau toko buku lainnya saya belum tahu jumlah pastinya," ujar pria yang sudah menulis sekitar 17 buku ini.

Di tempat yang ada toko buku pun minat baca juga masih rendah, karena kecenderungan orang yang hanya membaca sampul buku atau judul sebuah pemberitaan. Dia mencontohkan, orang begitu berlomba-lomba memperoleh informasi secepat mungkin dan kemudian menyebarkannya kembali tanpa melakukan pendalaman, bahkan melakukan verifikasi terhadap sebuah bacaan yang dibacanya.

"Ujaran kebencian, hoaks dan bacaan tidak benar lainnya, tersebar begitu cepat karena literasi masyarakat yang baru sampai pada tingkatan membaca, belum kepada memahami, menganalisis juga memverifikasinya," kata pria yang pernah berkiprah di bidang jurnalistik ini.

"Kalau orang bilang tingkat keliterasian kita rendah, bukan berarti kita jadi pesimis. Tapi harus menggerak meningkatkannya. Dan mesin penggeraknya, salah satunya adalah anak muda, generasi milenial ini. Mereka punya akses informasi yang hampir tanpa batas, kalau mereka berkarya dan bisa jadi influencer yang baik maka bisa diikuti dan dicontoh anak muda lainnya," sambungnya.

Menurut Kang Maman, anak muda tahu bagaimana cara membuat yang kecil menjadi besar dengan cara berkolaborasi. Kata kunci di era disrupsi ini adalah kolaborasi. Kalau mereka mampu berkomunikasi dengan baik, mampu berkolaborasi, tetap mampu berpikir kritis, gerakan ini bakal menjadi besar apalagi dengan memanfaatkan media sosial yang makin diminati generasi milenial. Jadi, kemajuan teknologi sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan minat baca.

Tentang anggapan sulit membeli buku karena harganya mahal, Kang Maman menganggap karena sekali lagi, orang Indonesia belum terbiasa dengan budaya membaca.

"Saya rasa harga buku tidak semuanya mahal. Buku-buku saya misalnya, harganya setara dengan dua bungkus rokok. Tapi banyak orang lebih memilih membeli rokok karena buku dianggap kebutuhan luks. Ini tugas kita semua, baik pemerintah, swasta, atau tiap individu untuk menumbuhkan budaya baca," ujar Kang Maman.

Yang paling mendasar bisa dimulai dari keluarga, terutama orangtua. Kebiasaan orangtua membaca buku biasanya akan ditiru anak-anak mereka. Apalagi kalau mereka sering diajak ke perpustakaan atau toko buku. Sesederhana itu, tapi justru masih terasa sulit dijalani.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya