Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari 100 hari sudah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, yang sekaligus mantan bos Gojek telah mengomandoi lembaga yang bertanggungjawab akan pendidikan di Indonesia.
Ada dua ide besar yang diperkenalkan Menteri yang akrab disapa Mas Menteri itu. Permata pada Desember lalu ia memperkenalkan konsep Merdeka Belajar khusus untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Tak lama, menyusul dengan lahirnya konsep lanjutan Merdeka Belajar yang diterapkan dalam tingkatan pendidikan tinggi, yakni Kampus Merdeka.
Advertisement
Kebijakan pertama merupakan pembenahan terhadap sistem pendidikan dasar dan menengah, salah satunya adalah menghapus sistem Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Sementara pada kebijakan kedua memberikan berbagai keleluasaan atau dalam hal ini kemerdekaan pada perguruan tinggi tanpa harus berkoordinasi dengan begitu banyak instansi atau kementerian lainnya.
"Jadi seratus hari ini, semua kita analisis mana yang bisa dilakukan sekarang, untuk mulai memotong rantai-rantai sekat-sekat regulasi yang menghalangi proses inovasi di dalam unit pendidikan kita. Lebih lanjut lagi masuk ke peningkatan kualitas guru, kurikulum dan lain-lain, itu masih butuh waktu lebih lama untuk mematangkan konsep merdeka belajar ini," papar Nadiem Makarimdi hadapan peserta IDE 2020 di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Jurus Merdeka Belajar merupakan strategi untuk memerdekakan berbagai hal dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk regulasi yang membebani guru-guru untuk bisa melakukan tugas utama mereka yaitu melaksanakan pembelajaran. Demikian juga dengan Ujian Nasional (UN) yang sifatnya per subjek dan begitu banyak materi sehingga terpaksa melalui metode hafalan.
"Itu bukan salahnya guru melainkan salah kontennya yang begitu banyak. Jadi di sana kita lepas biar sekarang kita fokus ke asesmen kompetensi sehingga tidak ada materi yang harus dihafal melainkan daya analisis," terang Nadiem.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kampus Merdeka
Pada Jumat, 24 Januari lalu, alumnus Harvard Business School, Amerika Serikat itu akan dicatat dengan tinta emas sebagai bidan yang melahirkan gebrakan Kampus Merdeka. Ada empat kebijakan Kampus Merdeka yang disebut Mendikbud memberi kemudahan dan keleluasaan kampus.
Pertama, kebebasan untuk membuka program studi (prodi) baru dan membebaskan kemitraan kampus dengan pihak ketiga yang masuk kategori kelas dunia. Kedua, kemudahan proses reakreditasi yang selama ini begitu rumit dan mengambil waktu para dosen dan rektor sehingga tidak fokus kepada mahasiswanya.
Ketiga, kemudahan bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk naik kelas menjadi Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH) sehingga memiliki keleluasaan untuk melakukan kerja sama.
"Yang terakhir yang favorit saya dari kampus merdeka adalah upaya pembebasan SKS mahasiswa, di mana tiga dari delapan semester diambil di luar program studi," ungkap dia.
Upaya pembebasan SKS mahasiswa sebanyak tiga semester dari total delapan semester program S1 dapat diambil di luar prodi maupun di luar kampus, baik melalui magang, riset, pengabdian kepada masyarakat, dan lain-lain. Hal ini merupakan hak setiap mahasiswa. Hal itu demi memerdekaan mahasiswa dari ilmu pengetahuan yang monoton.
Advertisement
Langkah Besar
Langkah besar itu, menurut Mendikbud guna mendorong kampus untuk melakukan berbagai kegiatan atau kemitraan yang sesuai dengan realitas di dunia nyata, baik dengan organisasi nirlaba maupun dunia industri atau perusahaan teknologi industri dan sebagainya, bahkan juga dengan universitas kelas dunia.
"Dari pernikahan massal ini, baik dosen, prodi maupun mahasiswanya akan tercipta suatu link and matc," ujar Nadiem.
Link and match yang dimaksud Nadiem adalah bahwa apa yang dipelajari dalam masa empat tahun di S-1 tersebut relevan atau cocok dengan dunia nyata.
"Bahwa setiap belajar sesuatu dia mengerti hubungannya apa dengan dunia nyata, bukan sekadar teori melainkan teori yang dikontekstualkan dalam dunia nyata, kompetensi soft skill yang riil buat dia yang tidak bisa dilatih di lingkungan kampus," jelasnya.
Dia pun berharap, anak dua anak yang ia ciptakan dalam 100 hari itu akan semakin banyak mengundang partisipasi masyarakat untuk bergabung dalam proses pendidikan. Karena menurut dia, jika hanya pemerintah yang bergerak maka kebijakan ini akan gagal.
Oleh karena itu, ia meminta harus ada perubahan pola pikir. Sebab yang bisa melakukan pendidikan secara tepat, holistik, dan inklusif, dan relevan hanya kombinasi antara pendidikan dan masyarakat.
Sementara itu, mengenai adanya resistensi di masyarakat ihwal kebijakan baru ini, Mendikbud mengatakan bahwa hal tersebut wajar karena jika ingin melakukan perubahan maka harus dilakukan secara drastis.
"Saya harap semua orang mengerti bahwa di Indonesia tidak ada satupun bidang pemerintahan yang tidak harus ada lompatan. Semuanya butuh lompatan. Memang negara kita begitu besar dan kita harus mengejar. Kalau tidak ada yang resisten artinya perubahan besar tersebut tidak cukup berdampak. Jadi saya melihat resistensi positif itu jadi tantangan buat kita," pungkasnya.