Buruh: Banyak Pekerja Bergaji Tak Sesuai UMR

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi mengatakan masing-masing pihak terkait omnibus law Cipta Lapangan Kerja

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Feb 2020, 13:30 WIB
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) berdemonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/1/2020). Massa menyuarakan penolakan mereka terhadap Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.con/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi mengatakan masing-masing pihak terkait omnibus law Cipta Lapangan Kerja memiliki kepentingan berbeda. Baik itu pemerintah, pengusaha hingga buruh.

Buruh dihadapkan banyak masalah. Salah satunya banyak perusahaan yang tidak melakukan kewajibannya dalam membayar upah pekerja.

KSPN pernah membuat survei kepada 1000 buruh di pulau Jawa. Hasilnya, hanya enam responden yang mengaku dibayar sesuai dengan upah minimum regional (UMR).

"Ini bisa dilihat dia kurang patuh atau memang dia tidak mampu, ini kan problem," kata Ristadi dalam Diskusi Polemik MNC Trijaya di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Sabtu, (1/2/2020).

"Saya tidak menyimpulkan ini potret buruh nasional dan dambilnya juga di pulau Jawa, tapi ini faktanya," sambungnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Juga Soal Pesangon

Ratusan buruh menggelar aksi demo di kawasan industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (24/11/2015). Buruh menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Tak hanya itu, buruh juga kesulitan mendapatkan pesangon yang menjadi haknya. Misalnya ada perusahaan yang tutup, pekerja tidak mendapatkan haknya sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang.

Hasil aset lelang biasanya hanya mampu menutup utang perusahaan atau utang pajak. Sementara pengusahanya kabur ke luar negeri atau tidak bisa ditemukan.

Sementara itu, Pemerintah memiliki kepentingan mengatasi jumlah pengangguran yang jumlahnya mencapai 7 juta atau sekitar 5,1 persen berdasarkan data BPS Februari 2109.

Belum lagi angkatan kerja yang bekerja paruh waktu yang jumlahnya puluhan juta. Sementara iklim investasi juga belum tumbuh dengan baik.

"Nah ini persoalan pemerintah," kata Ristadi.

Di sisi lain Pengusaha sering mengeluh bahwa izin investasi itu waktunya tidak terbatas dan biayanya juga tidak terbatas. Jadi, kata Ristadi, sudah waktu tidak bisa diprediksi, ketika ingin berinvestasi dan biayanya juga tidak ada kepastian.

"Sehingga itu membebani pengusaha dan itu masuk dari cost product," tutupnya.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya