Legalisasi Ganja Dinilai Bisa Mengentaskan Kemiskinan di Aceh

Bagaimana ganja berpotensi mengentaskan kemiskinan di Provinsi Aceh, yang berada di urutan keenam provinsi termiskin senasional? simak penjelasannya:

oleh Rino Abonita diperbarui 02 Feb 2020, 01:00 WIB
Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Anggota DPR RI Dapil Aceh 1, Rafli, memberi usulan yang tak lazim, yakni melegalisasi ganja untuk dijadikan komoditas ekspor. Daerah yang paling tepat jadi pilot project tak liyan Serambi Makkah, karena hanya di provinsi itu ganja bisa tumbuh subur.

Menurut legislator dari Komisi VI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, ganja berpotensi jadi salah satu produk unggulan Indonesia untuk bahan baku medis yang bisa dijual ke pasar-pasar internasional melalui perjanjian perdagangan bebas.

Dia menawarkan konsep legalisasi ganja yang diharap bisa disempurnakan kembali, seiring munculnya pro-kontra setelah usulan yang ditawarkannya di dalam rapat dengan kementerian terkait, Kamis (30/1/2020) jadi sorotan. Di dalam rapat itu turut dibahas pula tentang koordinasi antarkementerian berkaitan dengan jaminan pemasaran hasil pertanian di daerah.

"Penetapan zonalisasi pilot project industri ganja Aceh untuk kebutuhan medis dan turunannya, dijadikan kawasan khusus di Aceh yang selama ini ganja bisa tumbuh subur," kata Rafli, dalam keterangannya yang diterima Liputan6.com, Jumat siang (31/1/2020).

Program tersebut menurutnya bisa sukses jika pemerintah melahirkan mekanisme yang tersistem. Ia juga mempercontohkan bagaimana negara maju memanfaatkan ganja untuk keperluan medis. Di Indonesia, hal tersebut terbentur oleh UU terkait.

"Di Negara kita, hanya terbentur UU No. 35 Tahun 2009 pasal 8 ayat 1 tentang narkotika golongan I tidak boleh digunakan untuk kebutuhan medis," sebut Rafli.

Dia menambahkan, seluruh instansi terkait bisa diajak untuk mengegolkan program legalisasi ganja jika pemerintah mau menyeriusi usulannya. Dengan catatan, pengelolaannya harus bijaksana, di mana semua celah penyalahgunaannya ganja ditutup rapat.

"Secara hukum agama, tumbuhan ganja pada dasarnya tidak haram, yang haram adalah penyalahgunaannya," tukas dia.


Didompleng Pendapat Profesor Unsyiah

Anggota DPR RI, Fraksi PKS, Rafli (Foto dikirim staf media ybs)

Satu hari setelah usulan Rafli, muncul diskusi terbuka bertajuk 'potensi industri ganja Aceh sebagai strategi pengentasan kemiskinan.' Diskusi itu diadakan di Banda Aceh, menghadirkan seorang profesor dari Universitas Syah Kuala.

Profesor Musri Musman, dalam diskusi di Kamp Biawak itu disebut sebagai 'peneliti ganja.' Di sampingnya duduk seorang pegiat dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN).

Liputan6.com menghubungi Prof. Musman via sambungan telepon, pada malam harinya. Yang menarik, pandangannya bagaimana ganja bisa merubuhkan tembok kemiskinan di daerah yang didaulat sebagai provinsi berada di urutan keenam termiskin senasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini.

Musman mendompleng pernyataan Rafli bagaimana ganja dijadikan sebagai komoditas ekspor untuk bahan baku medis. Ia menjelaskan bahwa badan pengawas obat dan makanan di Amerika Serikat (Food and Drug Administration/FDA) telah setuju dengan pemanfaatan epiodiolex yang merupakan turunan dari ganja-versi sintetis-untuk obat epilepsi berat pada 2018.

Sekarang ada dua obat berbasis ganja yang sudah disetujui oleh badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat untuk pasien kanker, yakni, Nabiximols, dan Sativex, di Inggris. Sativex sendiri digadang-gadang telah digunakan untuk menangani pasien kanker di Inggris, Spanyol, Itali, dan Jerman.

"Nah, semua sekarang semua berorientasi pada Amerika-nya itu, kan, nah, padahal di kita ada sumber yang berasal dari alam, bukan sintetik, dari kanabis itu. Ada sumber daya alam yang begitu mencengangkan dunia, tetapi kita tidak bisa menggunakan, memanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, hanya yang kita butuhkan regulasi yang berpihak kepada rakyat, lingkungan, dan pemerintah," papar Musman, dihubungi Liputan6.com, Jumat malam (31/1/2020).


Entaskan Kemiskinan

Diskusi bertajuk 'ganja dan pengentasan kemiskinan di Kamp Biawak, Kota Banda Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)

Menurut ahli kimia dan bahan alam itu, masyarakat bisa terlibat secara langsung di dalam industri penanaman ganja di Aceh.

Caranya, ada regulasi yang mengatur setiap Kepala Keluarga (KK) bisa menanam tanaman bernama liyan mariyuana dengan luasan hektare tertentu.

"Kemudian regulasi berikutnya, hasil tanamannya itu misalnya kepada, ada bidang badannya yang membelinya, seperti Badan Urusan Logistik (Bulog) dulu, kan ada, badan penyangganya itu, dengan harga yang terpatokkan, harga eceran setempat, enggak boleh fluktuasi, kalau fluktuasi akan dicari pasar gelap, nah, kemudian badan itu akan mengelola dengan cara industrinya, misalnya dibuat minyak, serat, obat-obatan yang langsung bisa digunakan, kemudian dijual apakah dijual langsung ekspor atau bahan baku obat-obatan dalam negeri," jelasnya.

Berdasarkan kalkulasinya, untuk satu hektare ganja yang dipanen dalam setahun tiga kali masa panen, keuntungan yang didapat mencapai Rp1,09 miliar. Itu untuk hasil penjualan hasil penyulingan minyak atau ekstrak ganja (cannabidiol atau CBD), belum yang liyan.

"Saya men-search-nya dari harga-harga pasar kemudian coba kita kalkulasi. Untuk menanam ini kita tidak perlu pupuk, pestisida, herbisida karena dia bisa mengadakan sendiri pupuknya," tukasnya.

Kata Musman, dengan demikian, penyediaan anggaran untuk membeli pupuk yang selama ini agak 'membingungkan' pemerintah bisa ditiadakan.

Ia lagi-lagi menegaskan bahwa ganja merupakan tanaman organik yang bisa tumbuh alami; tidak memerlukan pupuk.

"Subsidi-subsidi untuk pupuk itu tidak perlu, begitu tanam, biarkan dia di sana tiga bulan, tiga setengah, tergantung daripada jenis, ayo panen setelah itu, lepaskankanlah kambing di situ, kambing enggak mau makan, lepaskanlah kerbau, kerbau enggak mau makan, jadi tidak perlu dijaga, hanya perlu dijaga jangan sampai dicuri orang pada bulan-bulan ketiga," imbuh dia.


Ganja Aceh Nomor Wahid

Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Berdasarkan testimoni para 'pemakai' yang pernah ditemui Musman, ganja di Aceh lebih cepat bereaksi daripada ganja di daerah liyan. Ini menunjukan bahwa ganja yang tumbuh di provinsi paling barat itu lebih berkualitas.

"Itu pada kandungan Tetrahydorcannabinol (THC) dan CBD-nya, memang belum diteliti, tetapi orang yang pernah pakai, mendengar, membaca testimoni, mendengar si pemakai sendiri, maaf, tone-nya itu lebih cepat, yang berasal dari Aceh, dua kali tiga tarik, mereka langsung bisa melihat surga, katanya, artinya, begini, menenangkan, jadi, dopamin itu bekerja, sedangkan CBD ini tergantung dari spesiesnya," akuannya.

Karena itu, Musman berharap para pihak terkait melakukan pendalaman tentang maslahat dan mudarat dari tanaman ganja.

Ia menilai, menarik simpulan umum bahwa ganja masuk ke dalam narkotika yang berkecenderungan merupakan kategori obat-obatan sintetik adalah salah, karena ganja masuk ke dalam kategori tanaman natural.

"Seandainya itu mudarat lebih banyak, kita legowo karena untuk itu, kan. tapi karena dari ilmu yang saya pelajari itu, manfaatnya, lebih banyak, itu, bisa digunakan dalam konteks obat-obatan, dalam konteks industri, semua bisa kita gunakan," katanya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya