Liputan6.com, Jakarta Jumat, 4 Februari 2005 menjadi hari yang kurang menggembirakan bagi para perokok di ibu kota Jakarta. Sebabnya, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Pencemaran Udara Nomor 2 Tahun 2005 resmi diketok DPRD DKI Jakarta.
Perda ini mengatur larangan merokok di tempat umum seperti perkantoran pemerintah, swasta, dan perorangan. Larangan merokok juga diberlakukan di seluruh pusat perbelanjaan, sekolah, dan tempat ibadah. Bahkan transportasi umum tak luput kena larangan merokok.
Advertisement
Bagi yang melanggar dikenakan sanksi kurungan maksimal 6 bulan atau denda paling tinggi Rp 50 juta.
Sebelum diberlakukan, Pemda DKI mensosialisasikan perda ini selama setahun dan menyediakan ruangan khusus merokok di tempat-tempat umum. Selama tenggang waktu tersebut, pelanggar hanya akan mendapatkan teguran.
Rekasi pun langsung bermunculan. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Eddy Abdurrachman mengatakan, larangan merokok di sembarang tempat ini dipastikan akan berpengaruh langsung pada pemasukan cukai nasional. Menurutnya, sekitar 98 persen dari penerimaan cukai nasional berasal dari penjualan rokok.
"Pada 2004, penerimaan cukai mencapai Rp triliun atau 11 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang sama," ujarnya.
Pro kontra juga mencuat dikalangan warga. Lia misalnya, termasuk yang pro dengan perda ini. Menurut dia, merokok dapat menimbulkan berbagai penyakit. Namun, perempuan ini menilai dendanya terlalu besar.
Hal sebaliknya dikeluhkan Samsudin. Penjual rokok ini tak setuju dengan adanya perda tersebut. Ia yang mengaku perokok mengatakan perda itu akan membangkrutkan usahanya.
"Saya kan tidak punya uang," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tidak Optimal
Dalam perjalanannya, perda aturan merokok ini ternyata tidak berjalan maksimal. Berdasarkan survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Forum Warga Jakarta (Fakta) terhadap 1.000 responden pada Juli 2008, mayoritas warga masih tetap mengeluhkan adanya paparan asap rokok di angkutan umum. Bahkan, survei ini menunjukkan pelanggaran merokok di angkutan umum mencapai 89 persen.
Tak hanya itu, dari surveli yang diumumkan pihak YLKI di Jakarta, Kamis (10/9/2008), di 130 kantor Pemerintah DKI Jakarta dan kantor pemerintah pusat, pelanggaran tertinggi justru dilakukan pegawai negeri sipil dengan persentase sebesar 45 persen.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak serius menerapkan aturan larangan merokok. Dalam survei yang dikerjakan selama enam bulan, Walhi menyimpulkan banyak warga Jakarta melanggar peraturan merokok di tempat umum.
Dalam survei tergambar beberapa rumah sakit dan rumah ibadah belum menyediakan ruangan bagi perokok. Padahal bagi pengelola sarana umum yang mangkir akan dikenakan denda maksimal Rp 5 juta atau 6 bulan kurungan.
Berpijak dari hasil penelitian, Walhi mendesak Pemda DKI lebih serius menerapkan peraturan pengendalian pencemaran udara. Sebab Jakarta masih menduduki peringkat ketiga sebagai kota dengan kadar polusi tertinggi di Indonesia, setelah Bandung, Jawa Barat dan Medan, Sumatra Utara
Advertisement