Liputan6.com, Jakarta - Pondok Pesantren Tebuireng Jawa Timur berduka. KH Salahuddin Wahid atau akrab dengan sapaan Gus Sholah wafat di usia 77 tahun pada 2 Februari 2020 pukul 20.55 WIB. Gus Sholah merupakan pengasuh dari Pondok Pesantren Tebuireng.
Tebuireng merupakan salah satu pesantren yang terkenal di Indonesia. Dari sini, banyak tokoh agama hadir dan memberikan kiprah bagi negara Indonesia. Kali ini Liputan6.com akan membahas mengenai sejarah Pesantren Tebuireng, mengutip laman web resmi tebuireng.online.
Pesantren Tebuireng berlokasi di Jalan Irian Jaya No. 10, Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Pesantren ini dinamakan Tebuireng karena letaknya yang berada di salah satu dukuh yang ada di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Sekitar akhir abad 19, di wilayah Tebuireng terdapat pabrik baru bermunculan yang dimiliki oleh bangsa asing, khususnya pabrik gula.
Baca Juga
Advertisement
Keberadaan pabrik ini menimbulkan dampak positif bagi perekonomian warga sekitar karena menciptakan lapangan kerja, tetapi berdampak buruk bagi psikologis masyarakatnya karena mereka dianggap belum siap menghadapi industrialisasi.
Masyarakat yang mempunyai upah biasanya digunakan untuk hal yang bersifat konsumtif-hedonis, maka budaya berjudi dan mengonsumsi minuman keras menjadi suatu hal yang biasa. Karena itulah, masyarakat dinilai belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik.
Seiring berjalannya waktu, rakyat yang bergantung kepada upah dari pabrik merembet pada penjualan tanah dan gaya hidup yang dianggap jauh dari nilai keagamaan. Situasi seperti ini membuat seseorang masygul, yaitu Kiai Hasyim Asyari.
Berawal dari Tratak Bambu
KH Hasyim Asyari kemudian membeli tanah di Dusun Tebuireng. Pada 3 Agustus 1899 Kiai Hasyim mendirikan bangunan kecil dari anyaman bambu (tratak) berukuran 6 x 8 meter yang kemudian disekat menjadi dua bagian. Bagian depan bangunan dijadikan sebagai tempat salat (mushala) dan bagian belakang dijadikan sebagai rumah Kiai Hasyim dengan istrinya, Nyai Khodijah.
Kala itu, Kiai Hasyim mempunyai 8 santri, tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 santri. Awalnya, pendirian pesantren di Tebuireng tak diterima langsung oleh masyarakat sekitar. Pesantren ini kerap kali diganggu dengan ancaman teror, difitnah, dan lain-lain.
Dari mulai dilempari batu, kayu, bahkan senjata tajam yang ditusukkan ke dinding tratak yang mengharuskan santri tidur bergerombol di tengah ruangan untuk menghindari tusukan benda tajam. Para santri pun diancam agar meninggalkan pesantren tersebut.
Saat gangguan yang datang semakin membahayakan dan mengganggu aktifitas santri, Kiai Hasyim mengutus seorang santri untuk menemui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet yang berada di Cirebon, Jawa Barat. Tujuannya yaitu untuk melatih pencak silat dan kanugaran kepada para santri yang berlangsung selama 8 bulan.
Setelah dibekali ilmu pencak silat dan kanugaran, para santri tak gentar menghadapi gangguan yang datang. Kiai Hasyim pun kerap beronda malam sendirian dan sering berkelahi dengan kawanan penjahat, namun ia selalu dapat menanganinya. Bahkan, kawanan penjahat tersebut sampai meminta diajari ilmu pencak silat dan menjadi santri Kiai Hasyim.
Advertisement
Kiai-Kiai dari Tebuireng
Sejak itulah, Kiai Hasyim dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus dijadikan pimpinan masyarakat. Dengan demikian, banyak orang berdatangan dari daerah Jawa maupun Madura dan ingin berguru kepada Kiai Hasyim.
Pada 1910 di pesantren ini memiliki 200 santri, dan berselang 10 tahun pesantren ini mempunyai 2000 santri. Bahkan, terdapat santri dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Banyaknya santri membuat pesantren ini terus mengembangkan dan memperluas bangunan pondok dan peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai kitab kuning. Pesantren di bawah asuhan Kiai Hasyim ini pun disebut-sebut sebagai pusat pesantren di tanah Jawa.
Pada 1942, saat Indonesia berada di bawah pemerintahan Jepang, Sambu Beppang (Gestapo Jepang) mendata jumlah kiai dan ulama di Pulau Jawa, yaitu 25.000 orang.
Rata-rata kiai dan ulama tersebut pernah menjadi santri di Tebuireng. Hal tersebutlah yang membuktikan pengaruh besari pesantren untuk penyebaran Islam di Jawa abad ke-20.
Selain menjadi pusat untuk mempelajari ilmu keagamaan, pesantren ini juga dijadikan pusat kegiatan politik yang bertujuan menentang penjajah. Maka lahirlah partai Islam di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU), Masyumi (Majelis Syuro A’la Indonesia), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan laskar-laskar pejuang seperti Sabilillah, Hizbullah, dan lainnya.
Awalnya, materi yang diberikan di pesantren ini adalah materi keagamaan dengan sistem sorogan dan bandongan. Namun, secara bertahap sistem pengajaran ini dibenahi dan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi.
Tebuireng Modern
Kemudian pada 1919 merupakan awal pengenalan sistem klasikal (madrasah). Pada 1933 didirikan Madrasah Nidzamiyah yang mengajarkan tentang pengetahuan umum.
Seiring berjalannya waktu, pada akhir abad ke-20 pesantren Tebuireng mengadakan peningkatan pendidikan, yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY yang kini menjadi IKAHA). Bahkan, sekarang terdapat Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan Ma’had Aly.
Pesantren Tebuireng ini banyak memproduksi tokoh yang berpengaruh bagi Indonesia. Bahkan, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim mendapat gelar nasional. Putera Kiai Hasyim, KH Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan Gus Dur pernah menjadi Presiden Indonesia yang keempat.
Selain itu, Pengasuh Pesantren Tebuireng yang baru wafat, KH Salahduddin Wahid pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM pada periode 2002-2007. Ia juga pernah menjadi kandidat wakil presiden pada pemilu presiden 2004 bersama kandidat presiden Wiranto.
Selain itu, ia juga pernah menjadi anggota Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) pada masa awal reformasi 1998. Selain itu, Gus Sholah juga merupakan seorang ulama dan aktivis.
Karena banyak mencetak tokoh bangsa, Pesantren Tebuireng ini juga dijuluki sebagai Pesantren Perjuangan.
(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)
Advertisement