Liputan6.com, Jakarta - Banyak orang yang mengenakan cincin pertuangan mereka dengan dua cara yang berbeda. Bahkan penggunaan cincin nikah ini masih menjadi perdebatan bagi sebagian orang. Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa wanita mengenakan cincin pernikahan atau cincin pertunangan di jari manis tangan kirinya?
Baca Juga
Advertisement
Umumnya, orang menggunakan cincin pertunangan di jari manis sebelah kiri. Ternyata hal tersebut memiliki alasan tersendiri, lo.
Terdapat sebuah keyakinan kuno yang menganggap jari manis kiri wanita adalah satu-satunya jari yang nadinya mengalir ke jantung mereka. Menggunakan cincin melingkar di jari melambangkan cinta abadi dan keterikatan hidup dengan seseorang. Selain itu, dalam bahasa Latin, vena jari manis kiri dikenal sebagai 'vena amoris' yang berarti 'vena cinta.'
Saksikan Video Pilihan Di Bawah Ini:
Cincin merupakan simbol cinta
Zaman dahulu, cincin dianggap sebagai simbol cinta sejati karena bentuknya yang melingkar dan tidak memiliki akhir atau awal.
Beberapa orang percaya bahwa mengenakan cincin di jari manis kiri akan membantu wanita dalam menumbuhkan ikatan emosional dengan pasangan hidupnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa pasangan hidup kamu merupakan orang yang paling dekat di hatimu.
Namun, banyak dari mereka yang mengenakan cincin pertunangan di jari manis kiri hanya sampai saat mereka menikah. Setelah menikah, biasanya mereka akan mengenakan cincin di jari manis kanannya.
Advertisement
Di kiri atau kanan yang penting nyaman
Di beberapa negara, terdapat perbedaan dalam mengenakan cincin pertunangan ini. Mereka memiliki budaya yang berbeda, seperti Rusia, Yunani, dan Colombia. Dalam budayanya, mereka memakai cincin pertunangan di jari manis kanan mereka. beberapa orang justru merasa tidak nyaman ketika memakai cincin di jari manis kirinya.
Di Indonesia sendiri, tidak ada kebiasaan atau budaya mengenai cara pemakaian cincin pertunangan. Baik itu di tangan sebelah kiri maupun di kanan. Kamu bisa menggunakan di tangan sebelah mana saja yang menurutmu terasa nyaman.
Penulis:
Ulya Kaltsum
