Bakal Ikut Pindah ke Ibu Kota Baru, Pembangunan Gedung OJK Terbentur Izin DPR

Pembangunan Gedung Baru OJK di Kawasan SCBD Terbentur Izin DPR.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Feb 2020, 18:30 WIB
Kemenkeu dan OJK menyepakati penggunaan barang milik negara di lokasi Lot-1 kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) Jakarta untuk pembangunan gedung Indonesia Financial Center. Liputan6.com/Septian Deny

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyepakati penggunaan barang milik negara di lokasi LOT-1 kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) Jakarta. Kesepakatan ini untuk pembangunan gedung Indonesia Financial Center yang akan dimanfaatkan sebagai kantor pusat OJK.

Namun OJK harus menahan diri lantaran saat ini pembangunan itu mangkrak lantaran terbentur oleh izin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Edy Susetyo, mengatakan saat ini pembangunan gedung tersebut belum disetujui legislator. Sebab, OJK termasuk salah satu lembaga yang juga ikut pindah ke ibu kota negara baru.

 

“Dalam penegasan dalam pemberian persetujuan anggaran, pengeluran pembangunan gedung belum disetujui DPR. Kegiatan menyangkut hal ini, apa yang menjadi catatan persetujuan anggaran bisa diikuti dan dipatuhi OJK,” ujar Andreas di ruang rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Selasa (4/2).

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, tidak menjelaskan secara rinci mengenai detail rencana pembangunan gedung baru OJK. Dia justru memilih menjelaskan hal itu secara tertutup dalam Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Industri Jasa Keuangan DPR RI.

“Untuk berapa hal akan kami jawab detail dalam Panja,” jelasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Hasil Survey: Kinerja OJK Belum Memuaskan

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menggelar jumpa pers tutup tahun 2018 di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (19/12). OJK mencatat intermediasi jasa keuangan Indonesia berada pada level positif. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belakangan menjadi sorotan berbagai pihak. Hal ini dikarenakan mencuatnya berbagai kasus di industri jasa keuangan, seperti salah satunya kasus Jiwasraya.

Melihat fenomena ini, Citiasia bersama Majalah Infobank berinisiatif melakukan studi untuk mengetahui persepsi stakeholder terhadap peran, kinerja, dan sinergi OJK dalam pengelolaan risiko industri keuangan nasional. Harapannya, studi ini dapat memberi sumbangan pemikiran untuk penguatan industri keuangan nasional ke depan.

Survei yang bersifat kualitatif dan kuantitatif ini dilakukan pada periode 28 November sampai dengan 11 Desember 2019. Sebanyak 182 responden (praktisi industri keuangan, dengan posisi setingkat manajer ke atas) dari 114 institusi jasa keuangan, baik perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa pembiayaan khusus.

Hasilnya, dalam hal pengaturan dan pengawasan kelembagaan, sekitar separuh responden dari perbankan (53,3 persen) dan lembaga pembiayaan (55,6 persen) yang menilai OJK sudah berkinerja maksimal. Hal ini lebih rendah dibandingkan responden industri asuransi (67,4 persen) dan praktisi jasa keuangan khusus (75,5 persen) yang sudah menganggap kinerja OJK cukup baik.

Para praktisi lembaga keuangan menilai kinerja pengaturan dan pengawasan kelembagaan OJK tidak maksimal karena persepsi bahwa OJK mempersempit pengembangan dan ruang inovasi industri keuangan. Keluwesan dalam balancing antara pengelolaan risiko dan pengembangan industri, serta keberlanjutan usaha dirasakan masih kurang mendapatkan perhatian dalam regulasi dan implementasi fungsi ini.

"Praktisi perbankan juga menyoroti belum jelasnya arah pengembangan industri, lemahnya penguatan pemahaman bisnis dan teknis regulator, serta belum maksimalnya peran mediasi dan edukasi regulator bagi pemegang saham," tulis hasil survey tersebut seperti dikutip Liputan6.com, Selasa (28/1/2020).


Fungsi Pengaturan dan Pengawasan

Ilustrasi OJK

Terkait fungsi pengaturan dan pengawasan kesehatan lembaga keuangan, separuh praktisi kelompok perbankan (55 persen), dan tiga dari lima praktisi asuransi (63 persen), lembaga pembiayaan (59,3 persen), lembaga jasa keuangan khusus (61,2 persen) menganggap OJK memiliki kinerja baik.

Kurangnya daya saing dan efisiensi menjadi faktor yang berpengaruh dominan terhadap persepsi kinerja pengaturan dan pengawasan kesehatan. Persaingan sehat dan keberlanjutan usaha dirasakan para praktisi belum mendapatkan porsi perhatian memadai dalam beleid yang dikeluarkan dan dilaksanakan oleh OJK.

Sedangkan untuk fungsi pengaturan dan pengawasan kehati-hatian lembaga keuangan, performa OJK dianggap lebih baik dibanding dua aspek sebelumnya. Sekurangnya tiga dari lima praktisi kelompok perbankan (58,3 persen) dan asuransi (63 persen), serta tiga dari empat praktisi kelompok lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan khusus (74,1 persen dan 75,5 persen) mengakui OJK berkinerja baik.

Aturan dan pengawasan terhadap tata kelola dan keamanan teknologi informasi lembaga keuangan berpengaruh kuat terhadap persepsi performa OJK dalam pengaturan dan pengawasan kehati-hatian. Kalangan lembaga pembiayaan menyoroti pentingnya kolaborasi dengan asosiasi guna meningkatkan kemampuan manajemen risiko. Sementara kalangan perbankan memandang perlunya sistem pengawasan yang mampu mendeteksi adanya penyimpangan.

Pada fungsi pemeriksaan, separuh praktisi lembaga pembiayaan (51,9 persen) dan sekitar tiga perlima praktisi perbankan (58,3 persen), asuransi (63 persen), dan lembaga jasa keuangan khusus (63,3 persen) berpendapat kinerja pemeriksaan OJK telah berjalan dengan baik. Konsistensi dan kompetensi pengawas menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap persepsi kinerja pemeriksaan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya