Liputan6.com, Jakarta - Kota yang satu ini tidak begitu padat dengan kendaraan yang berseliweran kesana kemari. Kiri-kanan sejauh mata memandang, beragam corak seni pahatan menghiasi setiap sudut kota, bukan hanya fasilitas umum tapi juga rumah-rumah pribadi. Nanto seolah menjadi denyut seni Jepang dan menguncinya dalam setiap detil pahatan. Membekukan cerita dalam kesunyian kotanya.
"Semua orang yang ingin belajar memahat mereka sekolah di sini," kata Nobuharu Nomura, salah satu pegawai Divisi Pariwisata Kota Nanto, Jepang, yang menemani saya berkeliling, sekaligus memperkenalkan Kota Nanto, pertengahan Januari 2020.
Advertisement
Dari sekian banyak lokasi yang saya kunjungi dalam perjalanan berkeliling Rute Bintang Tiga (Three Star Route) di Jepang, sepanjang 10-20 Januari 2020, selain Matsumoto yang membuat saya berdecak kagum, kota ini juga masuk dalam kategori spot penuh kesan untuk dikunjungi.
Bila Anda tidak punya rencana untuk wisata belanja di Jepang, silakan masukkan kota ini ke dalam rencana perjalanan Anda. Nomura mengatakan, secara singkat Nanto adalah salah satu denyut destinasi wisata Jepang dan favorit pelancong dari barat dan domestik. Nanto seolah menyimpan cerita sejarahnya sendiri.
Kota ini berada di dataran tinggi Perfectur Toyama. Saya menempuh jarah sekitar 30 menit dari Desa Ainokura Gokayama. Nanto tidak seramai kota-kota besar di Jepang. Per Februari 2018 sensus setempat mencatat jumlah penduduk di sana sekitar 51.669 jiwa. Tidak hanya seni pahat, kota ini juga terkenal dengan produksi Manga-nya, dan tak ketinggalan Johana Hikiyama Float Festival, yang tersebar di beberapa wilayah yang masuk dalam administrasi Kota Nanto.
Seni Pahat Inami
Terdapat beberapa kawasan setingkat kecamatan, seperti Fukuno, Inami, Inokuchi, Johana, Fukumitsu, dan Gokayama. Satu di antara kawasan tersebut sudah saya ceritakan sebelumnya, yaitu Desa Ainokura yang terkenal dengan sawah terasering dan rumah tradisional desain Gasho mirip Shirakawa-go. Bila malam tiba, iluminasi yang terpancar dari setiap rumah menambah decak kagum kawasan tersebut.
Nah, perjalanan pertama yang saya jelajahi adalah Jalan Yokamachi yang berada di kawasan Inami. Jalan dengan panjang sekitar 500 meter ini mengantarkan kita ke Kuil Zuisenji, kuil besar yang menjadi pusat ajaran Buddha di Distrik Hokuriku.
Sepanjang jalan kita akan melihat beragam toko yang menjual hasil pahatan. Tidak sedikit toko yang bertahan turun temurun dan mewarisi keahlian pahatnya hingga ke anak-cucu. Selain toko yang memajang hasil pahatan, terdapat pula toko khusus menjual sake dengan beragam jenis dan harga, mulai termurah 700 yen hingga puluhan ribu yen. Saya pun mendapat kesempatan untuk mencicip Sake dari beragam jenis.
Toko-toko dengan para seniman pahat yang diwariskan turun temurun hampir satu usia dengan Kuil Betsuin Zuisenji yang dibangun sekitar tahun 1559. Harga pahatan di sini sangat fantastis, berkisar jutaan rupiah hingga miliaran. Namun, bagi pecinta seni pahat, tidak akan kecewa untuk menjadikan pahatan Inami sebagai buah tangan pulang ke Indonesia.
"Pahatan di sini tidak menggunakan mesin dan kertas hampelas. Semuanya menggunakan pahatan termasuk menghaluskan pahatan-pahatannya," ujar Nomura.
Advertisement
Kuil Betsuin Zuisenji
Sebagai bukti pahatan Inami adalah karya yang melegenda, bisa dilihat dari Kuil Betsuin Zuisenji. Setiap sudut kuil ini dibangun dengan seni pahat dan sangat terkenal seantero Jepang, detil dan memesona.
Lokasi kedua adalah Johana, di wilayah ini sangat terkenal dengan Johana Hikiyama Festival. Festival ini digelar setiap 15 Agustus setiap tahunnya. Seluruh pelancong dari domestik maupun luar negeri menyegaja untuk datang ke Nanto untuk melihat festival Hikiyama.
Festival ini mirip dengan festival Takayama Matsuri yaitu dengan menarik kereta besar dengan ukiran yang sangat detil. Bila di festival Takayama kereta yang didorong adalah dua buah dengan tinggi mencapai sepuluh meter, maka di festival tahunan Johana kereta yang didorong adalah enam buah dan membawa dewa-dewa yang dianggap pembawa berkah untuk kota dan masyarakatnya.
Saat saya berada di Johana bertepatan dengan musim dingin. Sehingga, para pelancong hanya dapat menikmati kereta-kereta tersebut di dalam sebuah museum Hikiyama Festival. Adapun festival ini termasuk warisan dunia yang diakui UNESCO.
Tidak jauh dari museum Hikiyama Festival, Anda dapat melihat museum keluarga yang memamerkan beragam alat pembuat pastry. Beragam cetakan dihadirkan dan merupakan warisan turun temurun pemilik museum. Sementara tepat di sebelah museum pastry adalah toko sekaligus tempat workshop pembuatan pastry. Pastry merupakan teman minum teh atau matcha bagi warga nanto. Bisa dibilang paganan itu menjadi pemanis setelah menyeruput teh dan matcha pahit.
Seni Batu Kali
Masih di Kota Nanto, Anda juga dapat membawa buah tangan khas Nanto berupa ukiran batu kali. Mirip dengan batu-batu akik atau giok, tapi jangan salah bila ukiran-ukiran itu adalah hasil olahan batu kali yang berasal dari sungai yang tidak jauh dari perajin berada.
Adalah toko Gyokudo yang dikelola oleh Mizukuchi Shuji yang terletak tidak jauh dari Balai Kota Nanto. Toko yang dikelola turun temurun dan sudah dikelola generasi kelima sejak tahun 1880 ini menyediakan pernak-pernik dari batu kali. Apik dan detil.
Tapi soal harga memang harus merogoh kocek dalam-dalam. Ini sangat wajar, karena barang yang dijual adalah murni handmade yang dikerjakan dengan ketekunan dan hati-hati.
Misalnya saja untuk dua gelas sake ukuran kecil bisa dijual dengan harga 4-5 ribu yen. Atau anting-anting yang bisa mencapai 10 ribu yen. Meski terbilang mahal, Anda tidak akan menyesal membawa buah tangan ini pulang ke tanah air.
Perhentian terakhir sebelum kami menuju tempat 'rahasia' di kawasan Gokayama adalah sebuah toko yang menyediakan berbagai macam oleh-oleh yang merupakan karya khas dari seluruh kawasan Nanto, mulai dari hasil alam sampai dengan kerajinan tangan. Toko yang merupakan kerjasama pemerintah ini menampung seluruh pernak-pernik khas Nanto.
"Sistemnya titip jual dengan para pemilik barang," kata Yoji Terada, Manager Toko Fukumitsu Michinoeki.
Advertisement
Tempat Rahasia yang Terakhir Ditemukan
Tempat terakhir sebelum saya meninggalkan Toyama Perfectur adalah pemandian air hangat Omaki, Omaki Onsen. Lokasinya cukup cantik. Dia berada di tebing bendungan Komaki dan harus ditempuh dengan menggunakan kapal Shogawa George.
Semua kendaraan harus diparkir di dekat pelabuhan tempat kapal bersandar. Tiket pulang-pergi dihargai 2.800 yen. Sekali perjalanan ditempuh dalam waktu 30 menit menyusuri Bendungan Komaki yang dibangun sejak 1914.
Pemandangan kiri kanan adalah tebing-tebing bendungan. Salju menyelimuti pohon-pohon yang ada di tepian bendungan. Putih. Dengan demikian perjalanan 30 menit menyusuri bendungan tidak terlalu membosankan.
Hotel tempat saya menginap adalah hotel yang berdiri sejak 1930-an. Jangan pernah berpikir untuk dapat menjelajah jauh dari hotel. Karena di beberapa titik terpasang pengumuman mengenai bahaya beruang yang sewaktu-waktu muncul di area hutan tidak jauh dari hotel.
"Tempat ini sangat cocok untuk relaksasi badan dan pikiran," kata Yoshi, pemandu perjalanan saya.
Terang saja, di sini tidak dapat dijangkau sinyal seluler. Saya hanya bisa menikmati suasana berendam air hangat alami di sini.
"Kami menyebut tempat ini adalah harta karun terakhir yang ditemukan," ujar Yoshi.
Sekilas hotel yang saya tempati memang terkesan jadul dengan nuasa Jepang tradisional. Namun, rupanya hotel ini merupakan tempat populer bagi selebritas Jepang yang ingin jauh dulu dari hingar-bingar Jepang dan rutinitasnya.
Terakhir, jangan bingung bagaimana mengapai seluruh destinasi di sini. Sebab, segala informasi tersedia lengkap di brosur-brosur di beberapa pintu masuk; stasiun, bandara, halte bus, bahkan toko-toko suvenir. Mengenai transportasi apa yang bisa digunakan untuk mencapai setiap titik yang akan dikunjungi, Jepang sudah merancang transportasi-transportasi yang mendukung pariwisata dan kebutuhan warga setempat secara lengkap.
Adapun stasiun terdekat di Nanto adalah Shintakaoka. Wilayah terdekat adalah Kanazawa dan Takayama. Bisa juga digapai dari Nagoya atau Tokyo.