Kasus Eks Direktur Keuangan AP II, Ahli Sebut Utang Piutang Bukan Perkara Suap

Menurut Mudzakir, persoalan utang-piutang itu haruslah dilihat dari rangkaian peristiwa hukum yang biasa disebut anto factum, factum dan post factum.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Feb 2020, 16:28 WIB
Direktur Keuangan PT Angkasa Pura (AP) II Andra Y Agussalam mengenakan rompi tahanan saat tiba di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (25/9/2019). Andra diperiksa untuk melengkapai berkas terkait dugaan menerima suap proyek pengadaan baggage handling system (BHS). (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir menilai utang-piutang dalam dunia Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan hal yang lumrah dan legal. Termasuk pinjam meminjam uang antardireksi, bukan suatu yang melanggar hukum pidana.

"Kalau hasil pribadi pinjam itu sah-sah saja sebagai hukum perdata transaksi minjam-minjam adalah sah. Kesimpulannya, apakah boleh, boleh, sah-sah saja. Bahkan antar badan hukum pun boleh," kata Mudzakir saat dihadirkan sebagai ahli meringankan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (5/2/2020).

Sebelumnya, terkuak dalam persidangan bahwa uang yang diberikan dari eks Direktur Utama PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) Darman Mappangara ke Eks Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II Andra Yastrialsyah berlatar utang-piutang.

Menurut Mudzakir, persoalan utang-piutang itu haruslah dilihat dari rangkaian peristiwa hukum yang biasa disebut anto factum, factum dan post factum.

Pasalnya, utang-piutang biasa dikaitkan dengan persoalan hukum perdata. Sedangkan kasus yang menjerat Darman terkait tindak pidana korupsi.

"Jadi dari ujung sampai ujung baru selesai kalau dipotong jadi kurang tepat. Maka ahli selalu mengatakan apapun perbuatan itu entah perdata atau administrasi atau pidana. Baca secara keseluruhan dalam arti anto factum, factum dan post factum, akan clear dan akan jelas bahwa perbuatan dalam konteks apa," kata Mudzakir.

 


Hukum Administrasi Jangan Dipidanakan

Dia menegaskan, permasalahan pidana harus menjadi domain pidana, begitu juga perdata.

"Bahkan sampai Presiden Joko Widodo pernah membuat pernyataan bahwa hukum administrasi jangan dipidanakan, hukum perdata jangan dipidanakan. Karena beliau risau hal yang berbau administrasi dalam penyelenggara negara dipidanakan. Demikian juga dengan berhubungan kontrak berakhir pemidanaan," kata Mudzakir.

Selain itu, Mudzakir menyinggung soal kegiatan operasi tangkap tangan kasus ini sampai menguat soal utang piutang.

Dia menyebut tertangkap tangan merupakan hal yang diatur dalam UU. Tapi adanya kata operasi disebutnya bukan kegiatan tertangkap tangan, tapi sudah ada bahan permulaan untuk menjerat.

"Jadi karena ada O-nya itu biasanya itu namanya dalam teknik penangkapan atau membongkar suatu kejahatan, membangkar suatu kejahatan di bawah tangan. Sengaja dipancing-pancing untuk itu. Orang lapor pelapor dia akan menyerahkan sesuatu, langsung aparat penegak hukum menangkap. Ada O-nya menjadi tidak jelas. Khawatir untuk disalahgunakan, karena jebakan," ujar Mudzakir.

Ditambahkan Mudzakir, bila ”operasi” dalam jangka waktu yang singkat, bisa dikatakan OTT, namun bila sudah panjang waktunya, itu bisa saja disalahgunakan oknum tertentu.

"Kalau ada O itu dua hari, tiga hari salah enggak boleh. Padahal kalau diterusin bukan tindak pidana, dasar hukumnya tidak ada operasi dalam Undang-Undang," imbuhnya.

Dalam kasus ini, Darman Mappangara disebut jaksa KPK telah menyuap Andra Yastrialsyah Agussalam senilai USD71.000 dan 96.700 dolar Singapura. Suap diberikan secara bertahap pada Juli 2019. Namun belakangan menguat fakta-fakta mengenai utang piutang di antara keduanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya