Hewan hingga Kerusakan Alam, Misteri Pemicu Virus Corona 2019-nCoV

Para ilmuwan masih berupaya menguak asal-usul Virus Corona baru (2019-nCoV) yang menyebar ke sejumlah negara dan memicu kepanikan. Ada banyak faktor yang diduga ikut andil.

oleh Ratu Annisaa Suryasumirat diperbarui 08 Feb 2020, 01:19 WIB
Ilustrasi bagaimana peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Bogor menyimpan sampel bakteri dan virus. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar Abubakar).

Liputan6.com, Jakarta - Tak ada yang tahu pasti bagaimana virus corona baru atau novel coronavirus (2019-nCoV) bermula. Tiba-tiba ia mewabah, dari Wuhan di China hingga lintas benua ke sejumlah negara. Hingga pukul 21.00 WIB, Jumat 7 Februari 2010, sudah ada 31.523 kasus yang terkonfirmasi, dengan 638 orang meninggal, dan 1.764 pulih. 

Sebuah pasar di Wuhan jadi 'tersangka'. Yakni Pasar Grosir Makanan Laut Huanan, yang ternyata tak hanya menjual hasil tangkapan nelayan, tapi juga daging, ayam, kelelawar, ular, kelinci, tikus, dan hewan liar lainnya. Dalam kondisi hidup dan mati. Salah satu pelanggannya, pria berusia 61 tahun, menjadi orang pertama yang meninggal dunia akibat virus corona baru itu. 

Hasil riset sementara menyebut penyebaran 2019-nCoV diduga bersumber dari kelelawar atau ular. Belakangan, trenggiling (pangolin) diduga sebagai perantara, demikian hasil riset South China Agricultural University seperti dikutip dari Xinhua

Untuk mendapatkan titik terang terkait Virus Corona (2019-nCoV), Liputan6.com mewawancarai ahli mikrobiologi dari  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra.

Ia menjelaskan, virus corona baru, atau disebut juga novel coronavirus, memiliki tingkat penyebaran yang jauh lebih tinggi dibandingkan SARS. Itu yang memicu kekhawatiran. Namun, untungnya, sejauh ini tingkat kematian yang diakibatkannya relatif rendah. 

“SARS fatality-nya ada range sekitar 9-15 persen, kalau yang novel coronavirus ini sekitar masih di bawah 3 persen, tapi ini terus berkembang terus,” ungkap Sugiyono kepada Liputan6.com di Kantor LIPI Cibinong, Bogor, Senin (3/2/2020).

“Tapi satu hal bahwa novel coronavirus ini memiliki reproduction number yang tinggi, artinya kecepatan penyebarannya lebih tinggi dari SARS,” lanjut dia.

Sebagai salah satu yang terdepan dalam memastikan kesiapan Tanah Air menghadapi potensi wabah, LIPI memiliki fasilitas bertaraf internasional. Laboratorium Biosafety Level 3 (BSL-3) yang dimilikinya mampu meneliti virus corona, meski hingga saat ini belum ada sampel untuk diteliti. Virus itu belum masuk ke Indonesia, dan semoga tidak akan ditemukan. 

Atas alasan biosafety, laboratorium BSL-3 milik LIPI terbatas untuk mata publik. 

 

Saksikan video berikut ini:


Apa Itu Virus Corona?

Kelelawar dan tikus adalah reservoir alami dari virus corona, sedangkan trenggiling adalah hewan perantara yang dapat menularkan virus ini kepada manusia karena berinteraksi dengan kelelawar. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar Abubakar).

Sebenarnya, dari mana asal virus corona? Sugiyono menjabarkan, virus corona -- dalam arti lebih luas -- sesungguhnya umum terdapat pada hewan berdarah panas.

“Berdasarkan analisis fosil, molecular, dan bioinformatika, last common ancestor dari coronavirus yang menginfeksi mamalia dan burung diperkirakan berasal dari sekitar 300 juta tahun yang lalu,” papar dia.

Namun, virus corona baru pertama kali terdeteksi pada manusia di pertengahan tahun 1960. Ada sekitar 40 jenis virus corona yang sudah terdeteksi di dunia, 7 diantaranya dapat menginfeksi manusia, dan 3 terbukti telah menyebabkan wabah yang menggemparkan dunia.

Yaitu SARS (2002-2003), MERS (2013), dan novel coronavirus atau 2019-nCoV (2019-2020).

“Kalau tidak salah, 5 di antaranya (dari 7 yang bisa menginfeksi manusia) reservoir alaminya adalah kelelawar, sedangkan dua lainnya itu berasal dari tikus,” ucap Sugiyono.

Virus ini juga tak selalu ditularkan langsung dari reservoir alaminya. Pada kasus virus SARS di tahun 2002-2003, virus ini ditularkan melalui hewan perantara terlebih dahulu. Yakni seperti musang, ular, ataupun trenggiling.

“Jadi trenggiling ini termasuk yang diperjualbelikan juga di pasar di Wuhan sana, jadi bisa saja trenggiling diambil dari alam yang memang sudah berinteraksi dengan kelelawar, sehingga trenggiling mendapatkan virus tersebut dari kelelawar itu,” ujarnya.

“Dan ketika dia diperjualbelikan di pasar, nah dia akhirnya bisa menginfeksi ke manusia,” sambung Sugiyono.

Namun untuk kasus virus corona baru, para peneliti masih berargumen apabila virus ini ditularkan langsung dari kelelawar ke manusia, atau melalui hewan perantara terlebih dahulu.

Lalu, mengapa virus ini bisa muncul di China dan bukan negara lain? Padahal, banyak negara di Asia juga memiliki populasi hewan yang menjadi reservoir alami virus corona.

"Yang pertama, China itu merupakan salah satu negara dengan biodiversity kelelawar yang tinggi di dunia, jadi memang dari situlah sumber begitu banyak kelelawar, ditambah juga dengan berbagai diversity dari patogen yang mereka bawa," ungkap Sugiyono.

Dia memastikan, jenis kelelawar yang menjadi penyebar virus SARS saat tahun 2002-2003 di China tidak ada di Indonesia. Begitu juga dengan jenis ular yang diduga menjadi perantara virus tersebut.

"Jadi ada hasil penelitian yang mengatakan kalau coronavirus ini ada perantaranya, nah perantara itu dari dua jenis ular yang ada di China. Tapi, jenis ular ini tidak ada di Indonesia sebetulnya, yaitu Naja atra (Chinese cobra) dan Bungarus multicinctus (Taiwanese krait)," Sugiyono menambahkan.


Penyebab Mutasi dan Penyebaran

Ahli Mikrobiologi LIPI, Sugiyono Saputra menunjukkan koleksi trenggiling yang diawetkan di laboratorium LIPI Cibinong, Bogor. Trenggiling diduga menjadi hewan perantara virus corona dari kelelawar. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar Abubakar).

Sugiyono menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat memicu mutasi. Yaitu mulai dari tingginya tingkat toksisitas di suatu daerah, seleksi genetik alam, hingga proses penambangan atau aktivitas manusia yang merusak lingkungan.

“Sebagai salah satu contohnya, ketika pada kasus SARS di tahun 2002-2003, ada sebuah penelitian lanjutan yang dipublikasikan pada tahun 2009. Waktu itu dijelaskan bahwa memang di kawasan Guangdong yang menjadi tempat tingginya diversitas dari kelelawar itu terdapat tingkat tokisitas yang tinggi,” tutur dia.

“Itu ternyata berasal dari akumulasi penggunaan pestisida di areal persawahan tersebut, yang memang dekat dengan habitat kelelawar,” lanjutnya.

Sugiyono menyatakan, hal itu bisa saja menjadi pemicu proses mutasi. Selain itu, faktor hilangnya habitat alami kelelawar juga menyebabkan virus ini jadi mudah tersebar ke makhluk hidup lain.

“Hewan itu menjadi ekspansi ke luar habitatnya. Itu bisa jadi diakibatkan karena proses deforestasi yang memang mengganggu habitat dari kelelawar, sehingga memudahkan mereka untuk ekspansi keluar dan berinteraksi dengan hewan lain, termasuk juga dengan manusia,” Sugiyono menjelaskan.

Menurutnya, kelelawar memang dikenal sebagai hewan yang membawa banyak potensi patogen, baik virus maupun bakteri. Beberapa penyakit yang dibawa oleh kelelawar sendiri adalah ebola, rabies, hantavirus, dan nipah virus.

“Tingginya interaksi itu juga yang mempercepat proses transfer dari patogen itu ke manusia ataupun hewan lain,” tutur Sugiyono.

“Kemudian ditambah juga dengan seleksi alam, proses mutasi yang menyebabkan mereka mendapatkan kemampuan lebih. Artinya, kemampuan untuk dapat menginfeksi hewan lain ataupun kemampuan untuk menginfeksi manusia,” imbuhnya.

 

 


Pembuatan Vaksin Tak Sebentar

Ilustrasi bagaimana peneliti di LIPI Cibinong, Bogor melakukan kegiatan penelitian di dalam laboratorium. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar Abubakar).

Sugiyono menegaskan, sampai saat ini belum ada vaksin yang bisa menangkal virus 2019-nCoV. Hal ini karena pembuatan vaksin sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan tahunan.

“Memang saat ini belum ada vaksinnya, beberapa negara seperti Amerika dan juga China sendiri mereka masih mengembangkan vaksin untuk novel coronavirus,” katanya.

“Butuh beberapa bulan untuk uji pre-klinisnya atau uji safety terhadap hewan, kemudian juga kurang lebih butuh satu tahun untuk uji safety terhadap manusia. Sejauh ini, dari National Institutes of Health (NIH) Amerika serikat mengharapkan sekitar bulan April mereka akan uji keamanan vaksin yang mereka buat untuk pertama kalinya,” sambung Sugiyono.

Meski begitu, dia yakin bahwa Indonesia sudah siap dalam menghadapi virus corona baru. Bila dilihat dari kesiapan pemerintah, pihak terkait sudah menyediakan banyak thermal scanner di bandara internasional sebagai langkah penyaringan awal.

“Terutama bagi pendatang yang berasal dari China. Apakah mereka memiliki gejala, terutama demam. Kalau misalkan iya, akan dilakukan proses yang lain seperti karantina,” tutur Sugiyono.

Dia menambahkan, selain tindakan preventif dari pemerintah, masyarakat juga sebaiknya melakukan tindakan preventif untuk menjaga kesehatan diri masing-masing.

“Karena memang diduga kuat asal virus ini dari kelelawar, dari satwa liar, maka sebagai tindakan antisipasi memang kita harus waspada ketika melakukan interaksi dengan satwa liar. Baik itu melalui makanan, maupun interaksi langsung dengan satwa liar,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya