Liputan6.com, Yogyakarta - Warga Kulon Progo sering melintasi bangunan berbentuk Tugu Pagoda sekitar teteg wetan Stasiun Wates. Tugu Pagoda Wates Kulon Progo itu ternyata memiliki cerita sejarah yang menarik walaupun bangunan itu sempat terancam dirobohkan karena pembangunan jalan.
"Yang saya tahu itu simbol tahun 1931. Sempat terabaikan sempat akan dirobohkan karena ada pembangunan jalan baru dan disitu ada lonceng kereta api itu masuk di kami cagar budaya. (lonceng kereta api) itu kuno lonceng hanya ada sini sama kota yang punya," kata Sekretaris Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo Joko Mursito beberapa waktu lalu.
Tugu Pagoda Wates Kulon Progo yang bercirikan budaya Tionghoa, menurut Joko, memiliki cerita menarik. Tugu Pagoda Wates itu dibangun oleh penduduk Tionghoa yang bermukim di Kota Wates dan diresmikan pada tanggal 23 Desember 1931.
"Tugu ini digunakan sebagai peringatan 25 tahun bertahtanya Pakualam VII dan sekaligus peringatan 100 tahun Kabupaten Adikarto," katanya.
Baca Juga
Advertisement
Joko menjelaskan Tugu Pagoda Wates itu menjadi bukti adanya hubungan baik antarmasyarakat pada masa lalu. Terutama hubungan antar kelompok etnis Tionghoa dan Jawa.
"Dapat dijadikan sebagai media pembelajaran tentang toleransi antaretnis, sosial, dan atau seni bangun," katanya.
Joko mengatakan fisik dari Tugu Pagoda Wates ini dibagi tiga bagian yaitu bawah, tengah, dan atas. Bawah dan tengah berukuran sama dibatasi ornamen pelipit, antefik, dan tiga list vertikal.
"Dinding sisi timur laut dan tenggara ditempelkan prasasti dari batu marmer. Sisi tenggara prasasti huruf cina sisi timur pakai huruf latin berbahasa Indonesia ejaan lama," katanya.
Saat ini, kondisi Tugu Pagoda Wates masih berdiri kokoh. Pagoda Wates ini sudah masuk dalam kategori cagar budaya.
"Kondisi Tugu Pagoda Wates saat ini fisik masih baik tetapi sudah dicat warna pareanom hijau dan kuning," katanya.
Banyak Warga Tak Tahu
Walaupun sudah dibangun puluhan tahun lalu ternyata saat ini masih banyak warga yang tidak tahu sejarahnya. Termasuk Eko warga Giripeni yang sering melintas di samping Tugu Pagoda Wates ini.
"Aku kok tidak pernah memperhatikan itu, malah tidak ngerti kalau ada itu," katanya.
Agung yang juga warga Giripeni mengaku tidak tahu sejarahnya. Walaupun sering melintas, tetapi tidak tahu tugu apa itu.
"Wah enggak tahu tugu apa itu. Enggak pernah dapat informasi juga," katanya.
Berbeda dengan Amri warga Pengasih yang mengaku sedikit tahu soal tugu yang ada di teteg wetan itu. Menurutnya, Tugu Pagoda Wates itu menjadi penanda 100 tahun pusat pemerintahan Adikarto.
"Kalau tidak salah itu kan Adikarto sebagai pusat pemerintahan di sini sudah 100 tahun ya. Tidak tahu juga ya," katanya.
Ia mengaku setelah ini akan mencari tahu apa yang ada di balik Pagoda Wates ini. Setidaknya, ia bisa mencari tahu lewat guru sejarah di sekolahnya.
"Nanti tanya lagi ke guru sejarah sekolah, semoga dapat referensi dari Pak Guru," katanya.
Advertisement
Wujud Terima Kasih Warga Tionghoa
Pembangunan Tugu Pagoda Wates berkaitan dengan perkembangan dan pembangunan Kota Wates yang sebenarnya diawali oleh Pakualam VI dan didukung penuh oleh para warga diaspora Tionghoa.
Ahmad Athoillah, sejarawan dan budayawan Kulon Progo menyebutkan nama-nama mereka seperti Kim Yan, Tao Sik yang akhirnya mereka oleh Pakualam VII diizinkan mengontrak tanah di Wates sepanjang 75 tahun.
"Yaitu sejak 1912-1987, penandatanganan tersebut dilakukan oleh Pakualam VII dan Perwakilan Tionghoa di Temon yang difasilitasi oleh Demang Surontani," katanya.
Ahmad Athoillah mengatakan setelah itu para pedagang China kemudian sukses sekali dengan warung opium dan jenis perdagangan lain. Lalu mereka membentuk kampung Pecinan di Wates.
"Atas kesuksesan tersebut dan rasa terima kasih mereka kepada Pakualam VII maka membuat bangunan Tugu Pagoda istilahnya sebagai wujud persembahan terima kasih mereka karena diizinkan mengelola perdagangan dan perkebunan serta lahan di Wates," katanya.
Dalam Pagoda Wates itu tertulis dua bahasa yaitu bahasa latin dan china. Dalam bahasa latin tertulis Tugu Pagoda dibuat untuk memperingati 100 tahun Kabupaten Adikarto.
"Peringatan, Sri Padoeka Kandjeng Goesti Pangeran Adipatie Ario Pakoe Alam VII Bertachta di atas Keradjaan Pakoe Alam Tjoekoep 25 Tahoen Srenta Kaboepaten Adikarto Beroesia 100 Tahoen Die persembahkan Oleh Pendoedoek Bangsa Tionghwa ver Tionghwa Hwee Kwan dan Van Ver Hiap Tik Hwee Die Wates, Wates den 23 Desember 1931 Ontwe Pantilosa Djogja," katanya.
Ahmad Athoillah menjelaskan secara utuh Tugu Pagoda memiliki 12 tingkatan dan ukuran tinggi keseluruhan 208 cm serta bagian terlebar yaitu 152 cm pada bagian bawah. Dalam catatan Ahmad Athoillah yang mengutip karya Soedarisman, disebutkan bahwa Peresmian Tugu Pagoda tersebut juga dipersembahkan oleh etnis China dalam rangka 100 tahun Adikarto di alun-alun Wates.
"Dihadiri oleh Paku Alam ke VII yang disambut dengan tembakan bom sebanyak 9 kali sebagai bentuk penghormatan," katanya.