Liputan6.com, Jakarta Kendaraan PHEV (Plug-in Hybrid Vehicle) dianggap lebih irit dan ramah lingkungan. Namun, sebuah penelitian membuktikan hal sebaliknya. PHEV malah lebih boros dan menghasilkan karbon dioksida (CO2) hingga tiga kali lebih besar dibanding klaim pabrikan.
Simpulan itu didapat melalui pengujian di kondisi nyata. Malah mobil bermesin bensin dengan kapasitas kecil dinilai bisa lebih "hijau" ketimbang PHEV.
Baca Juga
Advertisement
The Miles Consultancy yang berbasis di Crewe, Inggris, merilis hasil studi itu. Mereka mengaudit konsumsi bahan bakar mobil PHEV populer dari merek BMW, Mercedes-Benz, Mitsubishi, dan Volkswagen. Temuannya mencengangkan. Figur konsumsi bahan bakar lebih boros 2,5 sampai 3 kali dibanding yang diiklankan.
Salah satu sampelnya BMW. Sebanyak 187 mobil PHEV diuji dan mendapat angka rata-rata konsumsi bahan bakar cuma 6,7 liter/100 km (14,9 km/liter). Jauh dari figur klaim 2,1 liter/100 km (47,5 km/liter). Begitu pula kandungan CO2 yang dihasilkan. Juga 3 kali lebih banyak saat diuji dalam kondisi berkendara di dunia nyata. Fakta ini sesuai dengan penelitian di Norwegia 2018 lalu. Bahwa emisi CO2 rata-rata per tahun mobil plug-in hybrid, sekitar 2,5 kali lebih tinggi dari hasil uji emisi resmi.
Sungguh mengejutkan. Padahal plug-in hybrid kompromi paling pas menuju era elektrifikasi global. Perpaduan dua mesin yang bisa diisi dua jenis sumber energi (bahan bakar minyak dan energi listrik) tentu sebuah solusi di tengah keterbatasan infrastruktur mobil listrik. Memang masih bergantung pada minyak bumi. Tapi, semestinya jauh berkurang berkat kerja motor listrik sebagai pelengkap mesin biasa.
Fakta Terungkap
Fakta terungkap melalu studi ini dan terdengar sangat logis. Mengapa pemakaian bahan bakar tetap tinggi, karena banyak pemilik mobil plug-in hybrid abai men-charge mobil mereka. Mereka malah pilih isi bensin layaknya mobil konvensional sehingga tak mendapat keuntungan dari sistem mesin ganda itu.
"Dalam banyak kasus, kami melihat kendaraan plug-in hybrid tidak pernah di-charge, melakukan perjalanan panjang dan ini tidak cocok untuk penggunaannya," kata Paul Hollick, managing director The Miles Consultancy dikutip dari Telegraph.
Jawaban teknis juga masuk akal. Mobil plug-in hybrid menggendong dua mesin, mesin pembakaran dalam konvensional dan motor listrik, yang pastinya lebih berat dari mobil dengan satu mesin. Belum lagi ditambah baterai berukuran besar, sudah pasti menyumbang bobot pula. Alhasil, penggunaan bahan bakar lebih boros.
Pada dasarnya, motor listrik dan baterai bertujuan menekan pemakaian bahan bakar minyak. Karena tersedia mode berkendara listrik yang mengistirahatkan kerja mesin bensin. Namun daya jangkaunya tidaklah terlalu jauh, apabila tidak di-charge penuh dulu. Jika baterai habis, tetap mengandalkan mesin biasa untuk mengisi kembali. Dipakai perjalanan panjang akan sia-sia.
Advertisement
Polemik
Sesuai dikatakan Ewa Kmietowicz dari Committee on Climate Change, "Jika men-charge dengan benar, mobil plug-in hybrid mampu menyelesaikan mayoritas perjalanan memakai mode berkendara listrik. Namun, ada kekhawatiran mobil PHEV tidak digunakan sebagaimana maksud, mencapai hanya sepertiga perjalanan dalam mode listrik dan berisiko emisi lebih tinggi."
"Sampai akhir tahun, kebanyakan model baru kendaraan listrik mampu mencapai jarak 150 mil (240 km) dalam satu kali pengisian baterai, dan kebutuhan akan plug-in hybrid akan menurun," tambah Kmietowicz. Pihak pabrikan berusaha membela diri. Narasumber Mitsubishi mengatakan kepada Telegraph, Outlander PHEV sebagai plug-in hybrid paling laris mereka, telah melewati pengetesan emisi dan konsumsi bahan bakar dalam kondisi baterai penuh.
"Kami menyatakan dalam materi promosi bahwa angka resmi hanya untuk perbandingan dengan kendaraan yang sama dan bahwa mereka mungkin tidak mencerminkan hasil mengemudi di kondisi nyata," ujar narasumber itu. Persentase pun dijabarkan. Menurut survey Emissions Analytics, 96% pemilik Mitsubishi PHEV mengklaim mengisi baterai mobil mereka setidaknya sekali dalam seminggu. Sementara 68% mengatakan, mereka men-charge setiap hari.
Terlepas mana paling benar dan apakah akan jadi polemik, mobil PHEV memang sedang bersinar dan akan terus tumbuh. Diprediksi, penjualan di Eropa akan melonjak dari 220 ribu unit menjadi 590 ribu unit tahun ini. Keringanan pajak dan rasa tanggung jawab tinggi soal lingkungan, membuat banyak orang beralih ke PHEV sebelum menuju mobil listrik murni.
Namun ada juga yang menarik dari hasil studi The Miles Consultancy. Seolah mereka mendukung kebijakan pemerintah Inggris Raya yang bikin heboh belakangan hari. Mulai 2035, semua mobil dengan mesin internal combustion (termasuk hybrid), mulai dilarang di dataran Inggris. Penerapannya dipercepat dari target awal pada 2040.
Sumber: Oto.com