Tarik Pengguna Milenial, Aplikasi Dompet Digital Tak Perlu Banyak Bakar Uang

Sebanyak 71 persen generasi muda tertarik untuk menggunakan dompet digital adalah karena adanya promo.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 12 Feb 2020, 13:20 WIB
ilustrasi ponsel/Photo by Oleg Magni on Unsplash

Liputan6.com, Jakarta - Pemanfaatan dompet digital telah menjadi bagian dari gaya hidup generasi milenal dan Gen-Z saat ini. Sebanyak 68 persen dari generasi tersebut menggunakan dompet digital setidaknya satu hingga dua kali setiap minggunya.

Menurut data Ipsos, nilai rata-rata top up (isi ulang) sebesar Rp 140.663 setip minggunya. Ipsos yang diwaliki oleh Olivia Samosir selaku Research Director Customer Experience pada acara Evolusi Industri Dompet Digital: Strategi Menang Tanpa Bakar Uang, pada Rabu (12/02/2020), menambahkan bahwa promo bukan lagi menjadi alasan utama dipilihnya dompet digital.

"Awalnya pasti tertarik karena promosi. Kemudian mereka merasakan kenyamanan dari dompet digital. Karena nggak perlu bawa cash. Nggak takut kalau nggak ada kembalian. Sehingga pemakainnya jadi cukup konsisten sampai sekarang" paparnya.

Sebanyak 71 persen generasi muda tertarik untuk menggunakan dompet digital adalah karena adanya promo. Namun seiring intensitas penggunaan dompet digital, muncul pula loyalitas dari konsumen. Aspek lain yang mempengaruhi loyalitas tersebut selain promo antara lain kenyamanan dan keamanan.

Olivia menambahkan, ada 54 persen konsumen mengatakan akan tetap menggunakan GoPay meskipun tidak ada promo. Sehingga dapat perusahaan tidak perlu lagi melakukan pembakaran uang besar-besaran untuk promo.

Sebagai informasi, empat pemain utama dalam industri dompet digital diantaranya adalah GoPay, Ovo, Dana, dan LinkAjaAttachments area

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kebanyakan Bakar Uang, Startup WeWork Merugi dan Gagal IPO?

WeWork

Maraknya usaha yang melakukan model bisnis "bakar uang" untuk menggaet hati pelanggan mungkin tidak terlalu bagus untuk masa depan perusahaan. Contohnya, start up asal Amerika, WeWork yang mengalami gagal melakukan initial public offering alias IPO baru-baru ini.

Mengutip laman Fortune, Selasa (15/10/2019), analis mengungkapkan, hal ini bisa jadi sinyal berakhirnya era perusahaan dengan model bisnis "bakar uang", dan ini sedang menimpa perusahaan yang disuntik dana oleh SoftBank ini.

Menurut data Crunchbase, SoftBank telah menyuntik dana ke start up WeWork hingga USD 10,4 miliar. Investasi terakhir dari SoftBank mencapai USD 2 miliar.

"Setidaknya, ada USD 10 miliar hingga USD 11 miliar yang SoftBank investasikan di WeWork," ujar Analis Riset Ekuitas Teknologi di Jefferies, Atul Goyal.

Valuasi WeWork disebut-sebut turun dari USD 47 miliar menjadi hanya USD 10 miliar. Analis mengatakan, SoftBank akan rugi jika valuasi start up tersebut turun di bawah USD 10 miliar. 


Habiskan Rp 9,8 Triliun Untuk Promosi dengan Bakar Uang

Ilustrasi Membakar Uang (pixabay.com)

WeWork sendiri sudah menghabiskan uang hingga USD 700 juta atau sekitar Rp 9,8 triliun per kuartalnya untuk promosi dengan model bakar uang.

Dalam nota tertanggal 29 September 2019 yang direkomendasikan Ahli Strategi Ekuitas di Morgan Stanley, Michael Wilson, tercatat bahwa kegagalan WeWork untuk melantai di bursa mungkin pertanda awal untuk perusahaan yang gemar bakat duit dan belum menikmati untung hingga sekarang. Kasus tersebut dilaporkan pernah terjadi dalam 20 tahun terakhir.

Kasus pertama, kegagalan pembelian terutang United Airlines pada Oktober 1989. Kedua, peleburan AOL dan Time Warner pada tahun 2000 yang menjadi pertanda berakhirnya era bisnis dot com. Ketiga, diambilalihnya bank investasi Bear Stearns oleh JP Morgan tahun 2008.

WeWork sendiri berencana melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 1.000 hingga 3.000 karyawan, atau 10 hingga 25 persen dari total karyawannya.

Meski diisukan akan bangkrut, Co-CEO WeWork Artie Minson dan Sebastian Gunningham menyatakan, penundaan IPO adalah karena perusahaan ingin fokus pada bisnis inti.  

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya