Hari Istiqlal: Beduk Raksasa Kayu Meranti yang Tak Lagi Ditabuh

Menurut Abu, sesekali beduk itu ditabuh secara simbolik ketika ada kunjungan tamu kenegaraan.

oleh Rinaldo diperbarui 19 Feb 2020, 07:33 WIB
Menteri Luar Negeri yang juga merangkap sebagai Wakil Perdana Menteri Denmark, Kristian Jensen menabuh beduk raksasa di Masjid Istiqlal. (Liputan6.com/Andreas Gerry Tuwo)

Liputan6.com, Jakarta - Menyambut Hari Istiqlal pada 22 Februari mendatang, Liputan6.com menampilkan serangkaian tulisan tematik menyangkut masjid terbesar di Asia Tenggara itu. Pada edisi ketiga ini akan membahas beduk raksasa yang menjadi salah satu ikon Istiqlal.

Selain menjadi tempat ibadah umat Islam yang paling kondang di Indonesia, Masjd Istiqlal juga menjadi salah satu lokasi wisata bagi mereka yang tengah berada di Ibu Kota. Selain bangunannya yang besar, banyak alasan yang membuat masjid ini layak dikunjungi.

Salah satunya keberadaan bedug yang terbuat dari kayu meranti berusia 300 tahun. Saat ini, beduk besar itu sudah tidak lagi ditabuh. Namun, tetap saja benda ini menyimpan daya tarik bagi mereka yang tengah berada di Istiqlal.

"Sekarang bedug yang ada di Istiqlal tidak dipakai lagi, suaranya kami rekam lalu diperdengarkan setiap sebelum azan," kata Kepala Biro Humas dan Protokol Masjid Istiqlal, Abu Huraira AS, kepada sejumlah wartawan di Masjid Istiqlal, akhir Juli 2019 lalu.

Abu mengatakan, beduk itu tidak lagi ditabuh demi menjaganya tetap awet mengingat nilai sejarah dan nasionalisme yang tersimpan dari pembuatan bedug tersebut. Beduk besar itu hanya jadi pajangan yang bisa dilihat wisatawan yang datang ke Istiqlal.

Menurut Abu, sesekali beduk itu ditabuh secara simbolik ketika ada kunjungan tamu kenegaraan.

"Keberadaan beduk tersebut memiliki sejarah menarik, dibuat pada 1972, sebelum masjid selesai dibangun," kata dia.

Abu mengatakan, beduk merupakan benda yang unik karena hanya ada di Indonesia. Beduk yang tersimpan di Istiqlal berbeda dengan yang ada di daerah lain, selain ukurannya yang sangat besar juga nilai sejarah pembuatannya.

Beduk tersebut, menurut dia, terbuat dari kayu meranti merah (shorea wood) asal Kalimatan Timur. Pembuatan beduk menghabiskan satu pohon.

"Usia pohon kayunya 300 tahun, beduk dibuat oleh PT Adikarya atas perintah Pak Harto," katanya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Bukan Panggil Orang Salat

Umat muslim mengumandangkan takbir dan memukul bedug saat malam takbiran di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (4/6/2019). Umat muslim akan melaksanakan salat Idul Fitri 1440 Hijriah di Masjid Istiqlal, Jakarta. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Abu menyebutkan, kayu meranti tersebut awalnya koleksi dari anjungan Kalimantan Timur yang ada di Taman Mini Indonesia Indah. Ketika Presiden Soeharto mengunjungi anjungan Kalimantan Timur yang mempunyai koleksi kayu berumur 300 tahun, yakni kayu meranti, saat itu juga ia memerintahkan untuk mengubah kayu gelondongan besar itu menjadi beduk lalu dihadiahkan ke Masjid Istiqlal.

Beduk itu memiliki ukuran yang sangat besar, yakni panjang tiga meter, berdiameter 2,7 meter, serta berat tiga ton.

"Keberadaan beduk ini jadi pajangan sekaligus untuk pembelajaran bagi generasi muda tentunya, bahwanya nenek moyang kita pernah menggunakan alat ini untuk menunjukkan waktu masuknya salat," katanya.

Banyak pelajaran lagi yang bisa dilihat dari beduk ini, yakni terdapat simbol-simbol keberagaman, seperti bunga lotus, tulisan Arab tetapi berbahasa Jawa, yakni Sengkala yang artinya simbol tahun matahari menurut kepercayaan orang Jawa.

Terdapat juga ukiran di beduk yang dibuat oleh pengukir kayu dari Jepara dan terdapat tulisan Basmalah serta kalimat sahadat.

Ia menegaskan, keberadaan beduk bukan untuk memanggil orang salat, tetapi penanda masuknya waktu salat.

"Beduk bukan untuk memanggil orang salat, memanggil orang salat itu dengan azan," kata Abu memungkasi.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya