Hakim Ketua Kasus ITE Saiful Mahdi Melanggar Kode Etik?

Formasi majelis hakim sidang Kasus defamasi Saiful Mahdi sempat berubah, dari Ainal Mardiah hakim ketua berganti Eti Astuti, yang sebelumnya merupakan hakim anggota. Sejak saat itu, sidang dinilai berjalan dengan 'ganjil’, berikut penjelasannya:

oleh Rino Abonita diperbarui 17 Feb 2020, 13:00 WIB
Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Kasus defamasi dengan terdakwa seorang dosen bernama Saiful Mahdi kini diambang sidang kesepuluh. Formasi majelis hakim sempat berubah: posisi Hakim Ketua Ainal Mardiah digantikan Eti Astuti, yang sebelumnya merupakan hakim anggota. 

Perubahan formasi terjadi karena Ainal Mardiah yang telah memimpin jalannya persidangan selama tiga kali berturut-turut atau sampai sesi keterangan saksi korban harus berangkat ke Jepang untuk suatu keperluan. Sejak saat itu, sidang Saiful Mahdi dinilai berjalan dengan 'ganjil.'

Orang yang mengaku menangkap keganjilan itu ialah Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra. Lelaki yang selalu hadir setiap kali persidangan itu menilai bahwa hakim ketua yang sekarang telah berlaku lajak.

"Menurut pengamatan saya, selama mengikuti proses sidang, ada beberapa hal perilaku hakim yang tidak sewajarnya," terang Saputra kepada Liputan6.com, Minggu malam (16/2/2020).

Dalam salinan notula yang diterima Liputan6.com, terselip beberapa kalimat yang sengaja ditebalkan. Ada sesi saat saksi yang memberatkan bernama Muzailin sedang ditanyai Penasihat Hukum (PH) terdakwa apakah dirinya yang telah meneruskan hasil tangkapan layar pesan WhatsApp yang ditulis oleh Saiful Mahdi kepada Dekan Fakultas Teknik Unsyah, Taufik Saidi, sang kolega cum pelapor Mahdi.

Muzailin mengakui bahwa dirinya yang mentransmisikan hasil tangkapan layar yang sebelumnya dilempar terdakwa ke grup tertutup. PH terdakwa pun lanjut bertanya soal kepada siapa lagi hasil tangkapan layar tersebut dikirim, namun, hakim Eti tiba-tiba saja menyelonong:

"Terserahlah, kan? Yang tegas-tegas saja."


Akal Sehat

Saiful Mahdi dan penasihat hukumnya (Liputan6.com/Rino Abonita)

Hakim Eti sempat bertanya kepada saksi A charge lain bernama Rahman Lubis, soal pengertian dari 'akal sehat.' Rahman adalah pimpinan Komisi F, komisi yang jadi bagian dari sidang etik.

Sebagai informasi, terdakwa menampik rumor bahwa senat telah menggelar sidang etik sebelum dirinya dilaporkan ke polisi. Kata dia, pihak senat sendirilah yang mengatakan bahwa dirinya dipanggil hanya untuk klarifikasi belaka pada hari itu.

Adapun frasa 'akal sehat' muncul di dalam pesan yang telah menyeret terdakwa ke kursi pesakitan. Bunyi pesan yang dikirim Mahdi ke grup WhatsApp lintas fakultas berisi para akademisi itu sebagai berikut:

"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?"

"Gong Xi Fat Cai!!!"

"Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen."

"Hanya para medioker atau yang terjerat 'hutang' yang takut meritokrasi."

Apa yang ditulis dosen statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) universitas kesohor di Aceh itu memang tak eufemistis. Ia menulis atas dasar dugaan tidak ada unsur meritokrasi di dalam perekrutan tenaga pengajar (CPNS) di fakultas teknik (FT) Unsyiah.


Di Balik Pesan Pembawa Kabar Duka Itu

Trisna, dosen yang menjadi kunci mengapa Saiful Mahdi menulis pesan tentang perekrutan CPNS di Fakultas Teknik Unsyiah yang menurutnya tidak meritokrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Di dalam tes CPNS yang dimaksud Mahdi, ikut serta seorang dosen tetap nonpegawai negeri sipil yang telah mengajar lebih kurang selama 2 tahun di FT Industri. Untuk tahapan tes objektif —Tes Kemampuan Dasar (TKD)— dosen bernama Trisna itu muncul sebagai peserta yang berhasil mendapatkan nilai tertinggi tingkat fakultas dan kedua tingkat universitas.

Setelah mengikuti tahapan subjektif, Trisna dinyatakan tidak lulus. Ketika dirinya mulai mencuatkan keganjilan-keganjilan yang mengganjal di benaknya —misal tentang seorang peserta dengan akriditasi C bisa ikut formasi cum laude yang mestinya hanya untuk peserta akriditasi A— pihak universitas tiba-tiba mulai berperangai aneh.

Trisna bak 'kejatuhan bulan', ia dinyatakan lulus dan ditawarkan jadi CPNS menggantikan seorang peserta, dan kelulusan itu diumumkan secara resmi. Sebelumnya, ia sempat dipanggil secara khusus dan mengaku telah diintimidasi setelah pesan yang ditulis Mahdi meledak ke permukaan.

"Saya buka pengumumannya, lampirannya dan keterangan suratnya. Ada nama saya di situ, diminta untuk melengkapi berkas kalau saya menerima kelulusan itu," jelasnya di depan majelis hakim.

Nyatanya Trisna adalah orang yang memiliki prinsip, ia memilih menolak tawaran 'manis' tersebut. Perempuan yang kadung merasa dizalimi itu mengambil sikap dengan cara mengundurkan diri secara resmi sebagai dosen tetap non PNS di Unsyiah sejak Juni 2019, dan kini jadi konsultan di Surabaya untuk proyek pembangunan di bidang pertanian antara pemerintah Indonesia dengan Australia.


Common Sense

Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Rahman sendiri tidak sempat menjawab pertanyaan yang diberikan Hakim Eti kepadanya soal arti 'akal sehat' tadi. Sang hakim ketua substitusi itu telah menjawab pertanyaannya sendiri.

"Matinya akal sehat tidak ada lagi akal sehat itu pengertian bahasa secara umum, ya, pak," demikian jawaban Hakim Eti yang terasa lugas itu.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi termuktahir, 'akal sehat' berarti 'pikiran yang baik dan normal.' Akal sering disepadankan dengan common sense di dalam pelbagai ilmu yang berkaitan dengan kognisi sosial.

Menurut John (1967) dalam An Introduction to Philosophical Analysis, ia suatu kemampuan yang dimiliki manusia dalam kedudukannya sebagai subjek yang ingin mengetahui dalam rangka suatu perbuatan mengetahui. Kemampuan ini merupakan kemampuan selain kemampuan manusia yang melembaga, seperti, indera, rasio, intuisi, keyakinan, dan otoritas.

"Ada mekanisme yang tidak berjalan menurut common sense, menurut nalar budi yang benar," jelas T. Kemal Fasya, dosen Universitas Malikussaleh yang dihadirkan PH terdakwa sebagai ahli dalam konteks antropolinguistik, diwawancarai Liputan6.com, belum lama ini.


Determinisme Teknik

Saksi Asrul Sidiq yang dihadirkan PH terdakwa Saiful Mahli untuk memberi keterangan terkait sidang etik (Liputan6.com/Rino Abonita)

Hakim Eti juga mengulang-ulang penekanan frasa 'yang salah' saat Asrul Sidiq, yaitu seorang saksi lain yang dihadirkan oleh PH terdakwa sedang memberi keterangan soal skema sidang etik di Unsyiah. Hakim Eti seolah hendak mengarahkan saksi untuk melegitimasi apa yang baru saja diucapkannya.

Frasa determinisme teknik hadir dalam pesan yang ditulis Mahdi dan jadi salah satu frasa yang paling disorot. Frasa ini terdapat di dalam paragraf dengan kalimat 'dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes CPNS kemarin.'

"Bukti bahwa determinisme teknik itu mudah dikorup." Bunyi kalimat lanjutan yang ditulis dengan sebuah tanda tanya di ujungnya.

Di awal-awal, PH terdakwa juga sempat bertanya kepada Sidiq apa perbedaan antara fakultas teknik dengan determinisme teknik. Sidiq menjawab bahwa frasa yang pertama merujuk pada fakultas tertentu yang telah diberi pewatas 'teknik', sementara, yang kedua adalah sebuah 'isme' bukan klaim yang bisa disebut sebagai sebuah defamasi.

Menurut Fasya, determinisme teknik (engineered determinism) yang dimaksud Mahdi sejatinya merupakan pandangan bahwa mekanisme rekrutmen CPNS yogianya berlaku dengan standar baku, diatur dan berjalan dengan ketat secara logika teknik yang sangat deterministik, terikat oleh sistem sehingga mustahil diintervensi oleh kehendak dari luar kemauan (free will) mekanisme dari rekrutmen itu sendiri. Tapi, Mahdi sadar bahwa determinisme dari sebuah teknik atau metode itu sifatnya tak nirmala.

"Pola rekrutmen yang tidak menjalankan sistem proses seleksi secara deterministik, proses seleksi itu tidak berjalan sesuai logikanya, itu kira-kira yang ingin ditanyakan oleh Mahdi," kata Kemal.

Apa lacur, dua frasa yang berbeda secara linguistik itu dianggap sama saja oleh Hakim Eti. Ia agaknya 'suka sekali' melihat frasa 'determinisme teknik' sebagai 'fakultas teknik.'

"Kalau saudara sendiri bisa tahu kalau bahwa tes CPNS di 'fakultas teknik itu sangat mudah dikorup'?" tanya Hakim Eti?

"Determinisme teknik, Maksudnya?" jawab saksi Sidiq.

"Ini tulisan ini, saudara, kan, punya WhatsApp?" lanjut Hakim Eti.

"Iya, bukti bahwa determinisme teknik itu sangat mudah dikorup," Sidiq kembali mengklarifikasi.

"Teknik itu sangat mudah dikorup," kata Hakim Eti lagi.

"Mohon izin biar saya baca lagi. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup," tanggap Sidiq pula.

Simak video pilihan berikut:


Kebebasan Akademik dan Berekspresi

Dosen asal Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman yang hadir sebagai ahli dalam persidangan baru-baru ini (Liputan6.com/Rino Abonita)

Terlepas dari itu, dosen asal Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman yang hadir sebagai ahli dalam persidangan baru-baru ini menjustifikasi bahwa yang ditulis oleh terdakwa murni bentuk dari kebebasan akademik semata. Kritik terhadap institusi pun telah dijamin keberadaannya oleh hukum HAM internasional.

"Itu, kan, dia mengkritisi lembaga kerja tempat dia bekerja. Nah, itu juga dijamin dalam sistem hukum HAM, bahwa mereka untuk menikmati proses teaching-nya, research-nya, atau membangun iklim akademik, dan seterusnya, itu dimungkinkan kritik itu dijamin," jelas tandem Boedhi Widjardjo dalam menulis buku Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat itu.

Mungkin ini pertama kalinya di dalam sejarah bangsa Indonesia lokus kebebasan berekspresi meluas hingga ke ruang kebebasan akademik. Herlambang berharap kasus ini dipandang para pihak sebagai bagian dari kebebasan berekspresi belaka, bukan defamasi.

"Mudah-mudahan ini menjadi putusan yang bersejarah," harap dia.


Langgar Kode Etik Hakim

Para ahli sedang disumpah (Liputan6.com/Rino Abonita)

Menurut Saputra, perilaku Hakim Eti selama beberapa kali persidangan jauh sekali dari kata etis. Beberapa contoh yang diurai, kata dia, cuma sebagian kecil saja dari perilaku sang hakim ketua, yang terasa kentara dalam memosisikan mana pihak yang hitam dan putih.

Ia mengutip sejumlah poin SKB Ketua Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial RI Nomor IV tahun 2009. Keputusan bersama ini mengatur kode etik dan pedoman bagaimana seorang hakim yogianya berperilaku baik di dalam maupun di luar proses peradilan.

"Figur hakim itu harus berperilaku adil. Didasarkan pada prinsip setiap orang sama di muka hukum, memberi perlakuan dan kesempatan yang sama untuk setiap orang," tegas Saputra.

Saputra mengklaim Hakim Eti telah memvonis Mahdi bersalah sejak di dalam pikiran. Ada indikasi bahwa tidak ada yang namanya ruang asas praduga tak bersalah untuk lulusan universitas Vermont dan Cornell itu.

"Untuk Jaksa Penuntut Umum (JPU), kita mafhum, lah. Ini, seorang hakim, yang mestinya memosisikan diri dalam ruang yang netral, malah berperilaku seperti itu. Semua orang yang hadir di dalam persidangan bisa melihat dan merasakan itu,  kita punya transkip rekamannya," ujar Saputra.

Saputra menambahkan, di dalam poin penerapan sub umum tentang berperilaku adil di dalam SKB MK dan KY itu tertera larangan bagi seorang hakim untuk menampilkan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa.

"Yang saya baca, pada angka 5, hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan," pungkas Saputra.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya