RUU Omnibus Law: Syarat Kepemilikan Pesawat bagi Maskapai Diperlonggar

Pemerintah sedang menggodok undang-undang sapu jagat Omnibus Law baik Cipta Kerja

oleh Athika Rahma diperbarui 18 Feb 2020, 17:00 WIB
Ilustrasi pesawat (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang menggodok undang-undang sapu jagat Omnibus Law baik Cipta Kerja maupun Perpajakan. Dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah mengubah beberapa peraturan terkait penerbangan.

Salah satunya soal syarat jumlah pesawat tertentu untuk maskapai berjadwal yang disebutkan di pasal 60 RUU Omnibus Law Cipta Kerja tentang perubahan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956).

Dari draf yang diterima Liputan6.com, Selasa (18/02/2020) pasal 118 ayat 2 UU Nomor 1/2009 soal ketentuan kepemilikan jumlah pesawat bagi maskapai dengan penerbangan berjadwal dihapus, tepatnya di pasal 60.

Sebelumnya, pasal tersebut mensyaratkan angkutan udara niaga berjadwal harus memiliki 5 pesawat dan menyewa 5 pesawat. Ayat tersebut berbunyi:

"(2) Pesawat udara dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk:

a. angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;

b. angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan daerah operasi yang dilayani; dan

c. angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani."

Dengan demikian, maskapai penerbangan berjadwal tidak perlu memiliki jumlah minimal pesawat untuk menjalankan bisnisnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tanggapan Pengamat

Ilustrasi pesawat (Sumber: iStockphoto)

Pengamat Penerbangan Gatot Raharjo menyatakan, di satu sisi penghapusan ayat 2 pasal 118 ini akan memudahkan kegiatan investasi di maskapai. Namun di sisi lain, syarat kepemilikan pesawat tersebut dibuat agar maskapai memiliki modal yang kuat, sehingga saat bangkrut, kewajiban utangnya dapat diambil dari pesawat tersebut.

"Kalau 1 pesawat harganya Rp 500 miliar sampai Rp 1 triliun, kan lumayan 5 pesawat Rp 2,5 triliun," ungkap Gatot kepada wartawan.

Jadi, lanjut Gatot, jika memang ketentuan tersebut dihapus, pemerintah sendiri harus memastikan maskapai modalnya kuat untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya