Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan memperkirakan defisit BPJS Kesehatan hingga per hari ini berada di posisi Rp 15,5 triliun. Angka ini menurun dari jumlah defisit yang diperkirakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhir tahun 2019 yang mencapai Rp 32 triliun.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jumlah posisi defisit ini lebih rendah dikarenakan pihaknya sudah menyuntikan modal sebesar Rp 13,5 triliun pada 2019 lalu. Jumlah itu diperuntukan untuk membayar selisih iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) pusat dan daerah, serta peserta penerima upah (PPU) dari pemerintah.
"Dengan adanya Perpes itu kami bisa berikan Rp 13,5 triliun kepada BPJS untuk periode dari Agustus-Desmeber untuk tamabhan, dan ini kurangi potensi defist BPJS dari Rp 32 triliun menjadi masih posisi Rp 15,5 triliun," kata dia di DPR RI, Jakarta, Selasa (17/2).
Baca Juga
Advertisement
Sri Mulyani menyebut, keputusan menambal sebesar Rp 13,5 triliun berdasarkan kesimpulan rapat gabungan antara Komisi IX dan Komisi XI bersama Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, DJSN, jajaran direksi BPJS Kesehatan pada Desember lalu.
Di samping itu, Bendahara Negara ini juga tengah menyiapkan dana sekitar Rp 48 triliun dalam APBN tahun 2020. Anggaran tersebut digunakan untuk pembayaran premi peserta penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan yang jumlahnya 96,8 juta jiwa.
"Ini situasi yang dihadapi BPJS dengan adanya kenaikan iuran untuk 2020 sudah anggarkan Rp 48 triliun, yang itu diharapkan akan mampu berikan tambahan penerimaan dari BPJS, sehingga dia bisa penuhi kewajiban yang tertunda," jelasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sri Mulyani Ancam Tarik Suntikan Dana ke BPJS Kesehatan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengaku akan mengambil sikap jika anggota DPR bersikukuh ingin membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Bahkan dirinya tak segan menarik seluruh suntikan dana atau subsidi yang diberikan pemerintah ke BPJS Kesehatan.
Sri Mulyani mengatakan, sampai dengan akhir 2019 pemerintah telah menambal defisit BPJS Kesehatan hingga mencapai Rp13 triliun. Adapun defisit BPJS Kesehatan yang diperkirakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyentuh angka Rp 32 triliun.
"Bahkan jika meminta peraturan presiden (nomor 75 tahun 2019) dibatalkan maka Menkeu yang sudah transfer Rp 13,5 triliun 2019 saya tarik kembali," kata dia dalam rapat gabungan, di Ruang Rapat Pansus B, DPR RI, Jakarta, Selasa (18/2).
Bendahara Negara ini menambahkan, jika iuran dibatalkan sementara pemerintah tetap memberikan suntikan ke BPJS Kesehatan maka berpotensi menjadi temuan BPK. "Kalau tidak jadi naik, itu tidak jadi kami bayar karena nanti jadi temuan BPK," tandas dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Nihayatul Wafiroh, meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bantuan Iuran (PBI). Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja gabungan antara Komisi II, VIII, IX dan XI dengan pemerintah serta BPJS Kesehatan.
"Kami komisi IX berpegang teguh untuk membatalkan kenaikan PBPU dan PBI," katanya di Ruang Rapat Pansus B, DPR RI, Jakarta.
Dia mengemukakan salah satu alasan harus dibatalkannya kenaikan iuran BPJS kesehatan tersebut dikarenakan data cleansingnya belum selesai. Sehingga, sangat tidak tepat jika pemerintah menaikan iuran sementara data cleansingnya belum beres.
"Sebelum ada pembersihan data, Kemensos cleansing data belum selesai. Kami komisi IX berpegang teguh untuk membatalkan," tandas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
752 Ribu Peserta BPJS Kesehatan Turun Kelas Imbas Kenaikan Iuran
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat sebanyak 752 ribu peserta pindah kelas akibat kenaikan iuran yang berlaku sejak 1 Januari 2020. Peserta tersebut memilih pindah kelas akibat tak sanggup membayar iuran.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, pindah kelas merupakan kebebasan dan hak setiap peserta. Pemerintah dan BPJS Kesehatan tidak punya wewenang untuk menahan setiap peserta.
"Ya itu kan memang kebebasan ya. Tidak bisa kita mengekang orang melakukan kebebasannya. Paling bisa menyadarkan. Tapi kan yang namanya memaksa kan enggak ada," ujar Terawan saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/1/2020).
Di tempat yang sama, Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Maruf mengatakan, penurunan kelas peserta terjadi sejak awal 2020. Kementerian Sosial sebagai pendata peserta telah menerima pengajuan penurunan kelas tersebut.
"Sekitar 752 ribuan masing-masing dari kelas l dan kelas ll. Per awal Januari 2020. Ketika Kemensos melakukan validasi data. Ada perubahan data ke PBI yang memang dianggap tidak memiliki kemampuan sehingga harus digeser," jelasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com