Liputan6.com, Jakarta Sekjen PPP Arsul Sani menilai sangatlah normal apabila ada pro dan kontra di dalam sebuah usulan Rancangan Undang-Undang atau RUU, termasuk dalam draf RUU Ketahanan Keluarga.
"Ketika ada anggota DPR mengusulkan RUU itu pasti juga ada inspirasi dari kelompok masyarakat tertentu, tapi karena negara demokratis pasti itu diakomodasi dan jadi RUU inisiatif. Nah, itu kan pasti ada respons dari kelompok sebelahnya lagi, dan ini hal yang normal saja," kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (19/2/2020).
Advertisement
Terkait pasal-pasal yang membahas ranah privasi dalam RUU Ketahanan Keluarga, seperti Pasal 85 soal BDSM serta Pasal 31 mengenai donor sperma dan ovum, Arsul mengingatkan Indonesia bukan negara sekuler, di mana ada larangan untuk masuk ke ranah privasi.
"Harus diingat, negara kita itu bukan negara sekuler, yang cara berpikir, berbudaya berfilsafat seperti di negara Barat. Di mana, negara tidak boleh turut campur dalam kehidupan privasi orang, kan enggak begitu. Negara kita kan tidak begitu," ucapnya.
Di Indonesia, menurut Arsul, tidak ada larangan negara ikut campur dalam ranah privasi. Meski begitu, ada batasannya.
"Yang harus diukur adalah sampai sejauh mana negara ini bisa masuk ke ranah privasi orang. Itu yang harus kita lihat. Kalau teman-teman yang menentang RUU ini melihat terlalu jauh, ya nanti harus disampaikan kepada DPR yang akan membahas," jelas Arsul.
RUU Ketahanan Keluarga kini menjadi sorotan. Berbagai pasal dianggap terlalui mencampuri ranah privasi masing-masing keluarga.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ancaman Pidana
Dalam Pasal 31, misalnya, ada hukuman pidana mengancam bagi warga yang menjadi pendonor sperma dan ovum.
Dalam ayat 1 berbunyi: Setiap Orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
Bagi pelanggar ketentuan Pasal 31 terancam pidana lima tahun penjara hingga denda mencapai Rp 500 juta.
Selain itu, pada pasal 85 disebutkan pelarangan aktivitas seks sadisme dan masokisme alias Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM).
Pada ayat 1 disebut aktivitas seks sadisme dan masokis merupakan penyimpangan seksual.
Selanjutnya pada pasal 86, keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.
Advertisement