Liputan6.com, Medan - Sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia, Sumatera Utara (Sumut), tidak hanya memiliki ragam suku dan budaya, tetapi juga sebagai provinsi tempat dirintis dan dilahirkannya bahasa Indonesia, yaitu dari Kota Barus, Tapanuli Tengah (Tapteng).
Kepala Balai Bahasa Sumut, Maryanto, mengatakan, bahasa Indonesia yang dilahirkan di Barus menjadi perantara hingga akhirnya mempersatukan bangsa Indonesia. Namun, kondisi saat ini, banyak yang tidak mengetahui sejarah tersebut.
Hal itu dikatakan Maryanto dalam seminar nasional dengan tema "Bahasa dan Sepeda Bangsa" dan subtema "Dari Barus ke Barus Pemusatan Kebudayaan Melayu di Sumatera Utara Menangkal Gelombang 'Tsunami' Kebahasaan" di Kota Medan.
"Wujud dari bahasa perantara itu, dulu dirintis di Barus. Mengapa kegiatan ini dari Barus ke Barus, karena gagasan keindonesiaan yang bahasa persatuan dilahirkan dari bahasa Melayu, dikembalikan ke Barus. Saat ini macet, berhenti di Melayu Selat Malaka," kata Maryanto, Kamis (20/2/2020).
Baca Juga
Advertisement
Ia mengungkapkan, problematika yang terjadi saat ini di kalangan masyarakat dan generasi muda, banyak yang mengira bahasa Indonesia dilahirkan dari Melayu Selat Malaka, dan sangat jarang yang mengetahui dari Sumut.
“Ini yang menimbulkan potensi gelombang tsunami. Karena bahasa persatuan kita menjadi arus Melayu di sana (Selat Malaka) yang arahnya deras,” ungkapnya.
Dikatakan Maryanto, sesungguhnya yang terkandung di dalam bahasa Indonesia adalah Melayu lintas ras yang berasal dari Barus, karena kedatangan dari Arab dan India. Melayu di sini juga harus dibedakan, Melayu Ras dan Melayu Agama Islam, dan Melayu Dunia Bahasa.
"Yang kita kelola ini adalah bahasa yang melahirkan keindonesiaan. Tidak hanya melahirkan keindonesiaan, tetapi melahirkan keberagaman," ujarnya.
Dalam seminar ini, makna "Dari Barus ke Barus" adalah kembali memperkuat rajutan Indonesia dalam istilah “sepeda” untuk menyambungkan mata rantai yang terputus. Harapannya tidak terputus hanya di pemahaman Melayu Selat Malaka, tapi juga disambungkan ke Barus.
“Bahasa Indonesia yang jelas dilahirkan, penggeraknya adalah Sanusi Pane. Ini dari Sumut juga. Ketika bahasa Indonesia dimasukkan kembali ke embrio, dalam konteks Melayu Selat Malaka. Ini seolah-olah bahasa Indonesia masih ada dalam Bahasa Melayu,” terangnya.
Disebutkan Maryanto, temuan terakhir pada 15 Februari 2020 menyatakan bahasa Indonesia sebagai salah satu dari 100 bahasa besar dunia dengan jumlah penutur 198.733.600 orang. Bahasa Indonesia berada di urutan ke-10.
“Tapi, kebesarannya itu dimasukkan ke dalam konteks bahasa Melayu Selat Malaka. Ini yang menimbulkan gejolak bahasa Indonesia selalu tetap dalam bahasa Melayu. Sementara bahasa Indonesia sudah lahir menjadi entitas wujud sendiri. Antara yang melahirkan dan yang dilahirkan tidak sama,” sebutnya.
Menurut Maryanto, ketika ada upaya menyamakan dan meyeragamkan akan bahaya. Hal ini akan menjadi “tsunami” besar. Hanya Melayu Sumut yang bisa menangkal, karena Melayu dari Barus menghasilkan tradisi Arab Melayu, dan Barus membawa serta memasukkan ajaran Islam.
“Kemudian lahirlah tokoh-tokoh Islam yang ketika itu produktif di dunia sastra, yaitu Hamzah Fansuri yang di Barus pada abad ke-15 dan 16,” kata Maryanto.
Dituturkannya, masyarakat sering terbawa dalam pemahaman dan pengetahuan karya sastra yang menjadi rujukan bahasa Indonesia adalah 'Gurindam Dua Belas' karya Ali Haji bin Raja Haji Ahmad, yang notabene ada di sekitar Selat Malaka.
“Ini yang menjadi mengapa di Selat Malaka, karena sering dibawa ke pemahaman semacam perintisan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dari Gurindam Dua Belas-nya Ali Haji. Sering begitu disebut-sebutkan,” tuturnya.
Maryanto mengungkapkan bahwa ahli bahasa sudah melakukan kajian mendalam sejak tahun 2002, dan menemukan ternyata karya sastra Ali Haji sebanyak 50 persen lebih, yang syair 'Perahu' dipengaruhi syair 'Perahu' Hamzah Fansuri.
“Atinya, Gurindam Dua Belas Ali Haji itu dipengaruhi karya sastra Hamzah Fansuri. Tidak apa-apa pemahaman itu, tapi jangan diputus. Mata rantai sejarah bahasa kita disambungkan dengan sejarah Barus,” ungkapnya.
Langkat Jadi Laboratorium Awal
Maryanto menyebut untuk membuka pikiran serta mendudukkan sejarah bahasa Indonesia, Balai Bahasa Sumut bekerja sama dengan Dinas Kabupaten Langkat membuat laboratorium pemusatan bahasa.
“Ke depan, Langkat menjadi laboratorium awal bagaimana Melayu juga lestari di daerahnya,” sebutnya.
Langkat sebagai suatu daerah, juga memiliki kebudayaan Melayu. Begitu juga dengan Asahan. Balai Bahasa Sumut ingin menumbuhkan keberagaman, karena Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dilahirkan oleh sosok yang sangat jarang didengar, yaitu Sanusi Pane.
“Sanusi Pane harus diangkat menjadi tokoh nasional. Dibandingkan adiknya, Lafran Pane, sangat jauh. Gagasan untuk Indonesia-nya lebih luar biasa Sanusi Pane. Bayangkan, ketika itu mempersatukan manusia berbangsa-bangsa menjadi satu bangsa,” ucapnya.
Sanusi Pane tidak hanya menggerakkan kelahiran bahasa Indonesia, tetapi juga menggerakkan kelahiran lembaga yang menangani dan bertugas melayani bahasa yang dilahirkan. Meski belum ada negara, Sanusi Pane melahirkan bahasa Indonesia dan melahirkan gagasan lembaganya, Institut Bahasa Indonesia tahun 1938, ketika Kongres Bahasa Indonesia Pertama.
“Istilah lahirkan bahasa Indonesia itu 2 Mei 1926 ketika Kongres Pemuda Pertama berlangsung, jauh sebelum Indonesia merdeka. Ketika empat tokoh mendiskusikan apa pembentuk bangsa, karena ketika itu belum terbentuk bangsa Indonesia. Lalu dibentuk pemersatu bangsa adalah bahasa Indonesia,” katanya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement