Liputan6.com, Pekanbaru - Pantun bagi masyarakat Riau bukan hal asing lagi. Dalam setiap kegiatan selalu saja terdengar pantun Melayu sebagai pembuka hingga penutup. Tak heran, tamu undangan dari luar daerah juga tertarik menuturkannya sebagai pengiring acara.
'Kegemaran' berpantun ini sekaligus sebagai penjaga bahasa Melayu sebagai bahasa ibu di Bumi Lancang Kuning. Namun perlu diingat, pantun bagi masyarakat Melayu tidak hanya sebagai sastra lisan yang terangkai dalam empat baris satu bait.
Baca Juga
Advertisement
Tidak hanya bersajak AB AB dengan baris pertama sebagai sampiran dan selanjutnya isi. Ternyata pantun bagi masyarakat Melayu di Riau sebagai pernyataan budi dan adab penutur.
"Ada satu hal yang dipertahankan, nilai yang ditanamkan. Ini juga sebagai penjaga bahasa Melayu tetap eksis sampai sekarang, sebagai bahasa ibu," kata Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau Datuk Seri Al Azhar kepada Liputan6.com.
Al Azhar menjelaskan, penutur pantun di Riau masih menjaga ciri khas dan dialek Melayu, seperti di daerah Kampar dan Kuantan Singingi.
"Ada basiacuang dan basisambau di Limo Koto (Kampar). Kemudian ada randai, bernandung dan berkayat di Kuantan Singingi. Itu penutur pantunnya menanamkan nilai kehidupan dalam bermasyarakat," kata pria asal Rokan Hulu ini.
Oleh karena itu, pantun sebagai cara berbahasa masyarakat Riau tidak hanya sebagai alat komunikasi tapi juga cermin budi pekerti dalam ruang sosial. Selanjutnya mengajarkan kebersamaan dan nilai luhur sebagai cerminan budaya Melayu.
Di Kampar misalnya, ada pantun yang dinyanyikan dan dikenal dengan istilah baghandu. Biasanya dinyanyikan orang tua, khususnya ibu, sebagai pengantar tidur untuk anak.
Baghandu juga dihadirkan dalam acara pemberian nama anak baru lahir. Ibu ataupun nenek akan baghandu di depan undangan dan bayi dalam ayunan sehingga anak lelap tertidur.
Beberapa kalimat dalam baghandu di antaranya:
Pandai-pandai waang maniti, Supayo sampai nak kasuboghang
Pandai pandai nak ba main budi Ijan maelak kek nan toghang.
("Pandai-pandailah kamu meniti, agar sampai ke seberang, pandai-pandai bermain budi, jangan menolak suatu yang terang (kebenaran)")
Ghontang la pukek nan didalam ayu, Kono la ikan nak si motan palo
Daghi kociok nak, tuntuik la ilmuKalau la godang nak jadi paguno.
("Bentangkan jaring di dalam air, terjaring induk ikan motan (ikan sungai), dari kecil tuntutlah ilmu, kalau sudah besar jadilah orang berguna")
Etika Berbahasa Melayu
Lebih jauh Al Azhar memaparkan, berbahasa dalam Melayu tidak sekedar berucap apa tetapi ada etika. Makanya dalam bahasa Melayu ada istilah hormati yang tua, kasihi yang sebaya dan sayangi yang muda.
"Menghormati yang tua bukan bersifat feodal, tidak menerima kebenaran begitu saja, bukan dalam konteks salah dan betul. Tapi ini dalam ruang sosial, menerima ketuaannya sebagai hak istimewa," sebut Al Azhar.
"Sementara kasihi sebagai kesetaraan dalam dialog dan kata sayangi sebagai asuhan ataupun memberikan petunjuk dalam pergaulan kepada yang lebih muda," tambah Al Azhar.
Di sisi lain, perkembangan teknologi dan masyarakat heterogen di Riau merupakan ancaman bahasa Melayu. Orang tua saat ini lebih suka mengajarkan anaknya berbahasa Indonesia ataupun Inggris.
Tak hanya di kota, orang tua di desa juga tak lagi menuturkan bahasa Melayu kepada anak sebagai bahasa pertama. Salah satu alasan agar anaknya jika besar nanti bisa komunikatif dengan suku berbeda jika keluar daerah nanti.
Di satu sisi, Al Azhar menganggap ini wajar sebagai subjektif dan psikologis orang tua. Namun di sisi lain, keadaan ini membuat bahasa Melayu sebagai bahasa ibu terancam seperti bahasa daerah lainnya.
LAM kemudian mendorong pemerintah daerah untuk menanamkan muatan lokal di pendidikan formal ataupun ruang publik. Ada sekolah yang kemudian membuat mata pelajaran menulis Arab Melayu dan Bahasa Melayu.
"Melayu itukan beragam, setiap kabupaten di Riau dialeknya berbeda. Jadi muatan lokalnya disesuaikan dengan keragaman dialek tadi," kata Al Azhar.
LAM juga mendukung surat edaran Gubernur Riau terkait pengggunaan bahasa Melayu di perkantoran pemerintah daerah. Begitu juga dengan pemakaian bahasa Melayu di Bandara Sultan Syarif Kasim II.
Untuk di bandara sendiri, Al Azhar mengakui masih ada penuturan yang belum sempurna. Hal ini wajar karena setiap sesi, mulai penumpang chek ini, masuk ke ruang tunggu hingga boarding harus direkam.
"Satu penerbangan bisa empat sesi, kalau ada 100 penerbangan, sudah berapa kali itu direkam. Jadi wajar masih ada perbaikan tapi patut diapresiasi," jelas Al Azhar.
Cara-cara tadi, mulai membudayakan pantun, menanamkan muatan lokal di pendidikan formal dan ruang publik, diharap bisa menjaga bahasa Melayu tetap lestari di Riau. Sebagaimana petuah Hang Tuah, tokoh masyarakat Melayu, Takkan Melayu Hilang di Bumi, Bumi Bertuah Negeri Beradat.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement