Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat (AS) mengeluarkan sejumlah negara dari daftar negara berkembang. Negara-negara tersebut antara lain China, India, Brasil, Afrika Selatan serta Indonesia.
Dikutip dari TheStar, kelima negara tersebut dihapus dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat, dan dianggap sebagai negara maju terkait perdagangan internasional.
Melalui rilisnya, Kantor Perwakilan Dagang AS ( US Trade Representative/USTR) menyatakan merevisi metodologi negara berkembang untuk investigasi atas bea balik, yaitu sebuah bea yang dikenakan pada impor. Hal tersebut dikarenakan pedoman sebelumnya yang diterbitkan tahun 1998 sekarang sudah usang.
Xue Rongjiu, Wakil Direktur China untuk Studi WTO yang berbasis di Beijing, mengatakan keputusan AS yang mengeluarkan China dari negara berkembang dan memasukkannya ke dalam negara maju, telah merusak otoritas sistem perdagangan multilateral.
Baca Juga
Advertisement
"Tindakan unilateralis dan proteksionis seperti itu telah merugikan kepentingan China dan anggota WTO lainnya," kata Xue.
Pasalnya, penghapusan negara-negara dari daftar internal negara-negara berkembang akan membuat AS lebih mudah untuk melakukan penyelidikan terhadap kegiatan subsidi ekspor.
Sementara itu, China selalu dengan tegas membela sistem multilateral. Hubungan perdagangan dan ekonominya dengan mitra negara maju maupun negara berkembang telah membuktikan bahwa mekanisme negosiasi multilateral efektif, dan telah mendorong pertumbuhan ekonomi dunia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dampak bagi Indonesia
Amerika Serikat (AS) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang dan menganggap Indonesia sebagai negara maju. Selain Indonesia, sejumlah negara juga dikeluarkan dari daftar tersebut, seperti China, Brasil, India, dan Afrika Selatan.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta W Kamdani mengatakan, kebijakan AS ini tentu akan berdampak bagi Indonesia, khususnya dalam hal perdagangan antara Indonesia dengan Negara Paman Sam tersebut.
"Kalau benar ini terjadi akan berpotensi berdampak pada, pertama, manfaat insentif Generalized System of Preferences (GPS) AS untuk produk ekspor Indonesia karena berdasarkan aturan internal AS terkait GSP, fasilitas GSP hanya diberikan kepada negara-negara yang mereka anggap sebagai LDC's dan negara berkembang," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
"Dengan adanya redesignation Indonesia sebagai negara maju oleh AS, secara logika Indonesia tidak lagi eligible sebagai penerima GSP apapun hasil akhir dari kedua review GSP yang sedang berlangsung terhadap Indonesia," lanjut dia.
Dampak selanjutnya, kata Shinta, Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi dalam kegiatan perdagangan dengan AS. Hal ini tentu menjadi kurang menguntungkan bagi Indonesia.
"Kedua, semua produk ekspor Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi perdagangan berdasarkan ketentuan subsidy and countervailing measures AS," ungkap dia.
Advertisement