Liputan6.com, Siberia - Dua tahun lalu, pemburu fosil menemukan bangkai burung lark bertanduk (Eremophila alpestris) di Siberia. Burung itu lantas dikirim ke peneliti di Universitas Stockholm dan Museum Sejarah Alam Swedia.
Kini, peneliti berhasil mengetahui bahwa usia bangkai burung lark itu berusia 44 ribu hingga 40 ribu tahun. Penemuan ini memberikan gambaran lebih baik kepada peneliti terkait zaman es.
Baca Juga
Advertisement
Bangkai burung itu bisa awet selama puluhan ribu tahun karena berada di dalam perfmafrost, atau tanah yang berada di titik buku.
Berikut foto spesies zaman es itu yang diposting Centre for Palaeogenetics dari Universitas Stockholm.
Penelitian mengenai usia itu diterbitkan di Nature.com.
Burung itu berasal dari era Pleistosen dan yang pertama kalinya ditemukan. Peneliti memakai teknik penanggalan radiokarbon (radiacarbon dating) untuk mengetahui usia bangkai burung itu.
"Tak hanya kita bisa mengidentifikasi bahwa burung ini adalah lark bertanduk. Analisis genetik juga menunjukan bahwa burung ini berasal dari sebuah populasi yang merupakan moyang dari dua sub-spesies burung lark yang hidup hari ini, satu di Siberia, dan satu lagi di stepa Mongolia," ujar peneliti Nicholas Dussex dari Fakultas Zoologi di Universitas Stockholm.
Burung itu bukan spesies pertama yang ditemukan di Siberia. Sebelumnya, ada juga bayi mamut purba yang ditemukan membeku di Siberia. Nama mamut itu adalah Lyuba yang mati pada 41 ribu tahun lalu.
Selain itu, pernah pula ditemukan bangkai singa dan kuda berusia puluhan ribu tahun dari zaman es yang ditemukan di Siberia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Permafrost
Karya ilmiah yang diterbitkan para peneliti burung lark ini menyebut memang banyak permafrost di daerah Artik yang menjadi sumber pengetahuan kehidupan kuno.
"Dalam beberapa tahun terakhir, situs-situs permafrost di Artik mengungkap bermacam bangkai hewan dari periode glasial terakhir, termasuk mamot, badak berbulu, kuda, bison, dan wolverin," tulis para peneliti.
Permafrost bisa berisi hewan serta tumbuhan dan umumnya ditemukan dalam kondisi baik. Para pakar paleontologi (ilmu yang mempelajari fosil purba) jadi mendapat kesempatan mempelajari dampak perubahan iklim terhadap spesies, populasi, dan masyarakat.
Lewat permafrost, peneliti tak hanya bisa mengungkap usia suatu makhluk, melainkan memahami dari segi ekologi dan evolusi bagi hewan yang masih eksisting atau yang telah punah.
Advertisement