Liputan6.com, Jakarta - Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) baru saja mencabut Indonesia dari daftar negara berkembang dan naik sebagai negara maju.
Namun begitu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menganggap Indonesia belum dapat dikategorikan sepenuhnya menjadi negara maju. Melainkan baru naik kelas menjadi negara setengah maju.
"Ini sebenarnya karena Indonesia sekarang masuk di upper middle income. Karena dia masuk di upper middle income, menurut kategori itu Indonesia sudah masuk ke kategori negara setengah maju," ujar dia di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Baca Juga
Advertisement
Menurut Suharso, Indonesia harus rela melepas beberapa tanggungan jika mau disebut sebagai negara maju. "Jadi karena masuk di negara maju tidak dalam posisi mendapatkan fasilitas-fasilitas yang lebih murah, jangka panjang, dan seterusnya," sambungnya.
Namun demikian, ia mewanti-wanti agar negara tak terlena dengan status baru tersebut. Sebab, Indonesia dikatakannya masih tetap memerlukan bantuan dari negara besar, termasuk Amerika Serikat.
Tetapi saya kira tidak bisa dilihat seperti itu. Kita kan tetap masih di middle income, dan baru saja graduate ke upper middle income. Saya kira kita musti bicara lagi dengan Amerika Serikat. Kita bangga, tetapi kita juga perlu bantuan mereka," ucapnya.
Di sisi lain, Suharso juga tak menampik jika status baru Indonesia sebagai negara setengah maju ini akan turut memperlancar masuknya investasi asing. "Ya lebih melancarkan," tukasnya pendek.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
AS Keluarkan Indonesia dari Daftar Negara Berkembang
Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang dan menganggap Indonesia sebagai negara maju. Selain Indonesia, sejumlah negara juga dikeluarkan dari daftar tersebut, seperti China, Brasil, India, dan Afrika Selatan.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta W Kamdani mengatakan, kebijakan AS ini tentu akan berdampak bagi Indonesia, khususnya dalam hal perdagangan antara Indonesia dengan Negara Paman Sam tersebut.
"Kalau benar ini terjadi akan berpotensi berdampak pada, pertama, manfaat insentif Generalized System of Preferences (GSP) AS untuk produk ekspor Indonesia karena berdasarkan aturan internal AS terkait GSP, fasilitas GSP hanya diberikan kepada negara-negara yang mereka anggap sebagai LDC's dan negara berkembang," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, pada Sabtu 22 Februari 2020.
BACA JUGA
"Dengan adanya redesignation Indonesia sebagai negara maju oleh AS, secara logika Indonesia tidak lagi eligible sebagai penerima GSP apapun hasil akhir dari kedua review GSP yang sedang berlangsung terhadap Indonesia," lanjut dia.
Dampak selanjutnya, kata Shinta, Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi dalam kegiatan perdagangan dengan AS. Hal ini tentu menjadi kurang menguntungkan bagi Indonesia.
"Kedua, semua produk ekspor Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi perdagangan berdasarkan ketentuan subsidy and countervailing measures AS," ungkap dia.
Meski demikian, diharapkan keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang AS tidak sampai mengganggu kinerja perdagangan internasional Indonesia, khususnya dengan AS.
"Kalau keberlakuan status nondeveloping country-nya bisa terbatas pada CVD Act dan enggak spill over ke GSP maka enggak masalah. Cuma saja akan aneh dan karena AS jadi enggak konsisten dan double standard dengan kebijakannya sendiri kalau status Indonesia sebagai negara maju cuma berlaku di satu UU tapi enggak di UU yang lain yang sama-sama mengatur perdagangan," jelas dia.
Advertisement