Tak Lagi Dianggap Negara Berkembang, Ekspor Indonesia ke AS Tetap Aman

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tak khawatir Indonesia dikeluarkan Amerika Serikat (AS) dari daftar negara berkembang.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Feb 2020, 13:15 WIB
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tak khawatir Indonesia dikeluarkan Amerika Serikat (AS) dari daftar negara berkembang. Menurutnya, kondisi tersebut membuat produk Indonesia berdaya saing.

"Tidak harus, kita bisa berdaya saing. Tidak masalah (dikeluarkan dari daftar negara berkembang)," ujar Airlangga di Gedung BPPT, Jakarta, Senin (24/2/2020).

Airlangga mengatakan, keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang tidak membuat biaya ekspor barang menjadi naik. Sebab, sudah ada perjanjian bilateral sebelumnya.

"Kalau biaya ekspor impor kan ada perjanjian yang sedang di proses. itu bisa diselesaikan secara bilateral. Yah kita kan optimis, sekarang kita punya GSP yang hanya 20 persen," jelasnya.

Mantan Menteri Perindustrian tersebut menambahkan, seharusnya Indonesia tak perlu khawatir tetapi harus bangga dengan adanya pernyataan AS tersebut. "Justru kita berbangga," tandasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pernyataan AS

Presiden AS Donald Trump dan Presiden RI, Joko Widodo berbincang saat bertemu di sela-sela KTT G20 di Hamburg, Jerman, (8/7). Sejumlah pemimpin negara berkumpul dalam KTT G20 pada 7-8 Juli 2017. . (AP Photo/Evan Vucci)

Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang. Indonesia dianggap sebagai negara maju. Selain Indonesia, sejumlah negara juga dikeluarkan dari daftar tersebut, seperti China, Brasil, India, dan Afrika Selatan.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta W Kamdani mengatakan, kebijakan AS ini tentu akan berdampak bagi Indonesia. Khususnya dalam hal perdagangan antara Indonesia dengan Negara Paman Sam tersebut.

"Kalau benar ini terjadi akan berpotensi berdampak pada, pertama, manfaat insentif Generalized System of Preferences (GPS) AS untuk produk ekspor Indonesia karena berdasarkan aturan internal AS terkait GSP, fasilitas GSP hanya diberikan kepada negara-negara yang mereka anggap sebagai LDC's dan negara berkembang," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (22/2).

"Dengan adanya redesignation Indonesia sebagai negara maju oleh AS, secara logika Indonesia tidak lagi eligible sebagai penerima GSP apapun hasil akhir dari kedua review GSP yang sedang berlangsung terhadap Indonesia," lanjut dia.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya