Liputan6.com, Jakarta - Banjir kembali melanda sejumlah wilayah di Jakarta, pada Minggu 23 Februari 2019 setelah hujan deras mengguyur. Banjir terjadi kesekian kalinya sejak awal 2020.
Beberapa tempat terendam. Tak hanya yang langganan banjir, namun tempat yang tidak pernah langganan pun menjadi terdampak.
Advertisement
Salah satu kawasan yang terkena banjir adalah kawasan Menteng, Jakarta Pusat, seperti Jalan Surabaya dan di Jalan Pegangsaan Barat, persis di samping kantor DPP PDIP dan PPP.
Banjir juga melanda Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Alat-alat yang terpasang di Departemen Radiologi dan Radioterapi RSCM basah terendam air.
Pengamat Perkotaan Nirwono Joga menilai, jangan sampai menyalahkan hujan ekstrem saat terjadinya banjir.
"Jangan terjebak, gara-gara hujan kita banjir. Namanya musim hujan kan ya harus hujan. Tetapi yang harus digarisbawahi adalah pada saat musim hujan apa yang harus dilakukan," kata Nirwono kepada Liputan6.com, Senin (24/2/2020).
Dia menuturkan, sudah dipastikan hujan yang mengguyur Jakarta kemarin merupakan hujan lokal, sehingga banjirnya pun lokal. Jadi, tidak ada alasan menyebut banjir kiriman dari Bogor atau menyalahkan daerah lain karena sungainya mengalir ke Jakarta. Karena hujan lokal tersebut, maka tanggung jawab sepenuhnya ada di Pemprov DKI.
"Kalau kita bicara banjir di jalan, maka bisa dipastikan itu saluran air di kota kita yang tidak berfungsi optimal. Saluran air kita hanya 33 persen yang berfungsi, 67 saluran air tidak berfungsi, mulai dari isinya sampah, lumpur, kabel kabel tumpang tindih. Nah pertanyaannya, dibersihkan atau tidak, lalu dibersihkan pada saat musim kemarau apa sekarang, ini menjadi evaluasi," kata dia.
Nirwono menilai, saluran drainase di Jakarta sudah ketinggalan zaman karena ukurannya terlalu kecil. Seharusnya, di jalan atau kawasan yang langganan banjir, saluran drainase diperlebar. Sementara, saluran drainase di beberapa tempat saat ini, lebarnya hanya 50 cm hingga 150 cm, tidak cukup lagi mengalirkan air.
"Program pelebaran drainase menjadi 2-3 meter benar-benar serius perlu dilakukan. Ini masih menjadi PR," kata dia.
Saluran pun, kata dia, seringkali di beberapa titik ada yang terhenti, tertutup jalan, dan tidak terhubung ke waduk atau situ terdekat sebelum dialirkan ke sungai.
Selain drainase, perlu adanya pengerukan dan pelebaran tempat penampungan air di Jakarta terutama di kawasan yang sering banjir. Perlu juga membangun waduk atau buatan untuk menampung luapan air.
Nirwono mengatakan, di Cipinang Melayu, daerah banjir dekat Kali Ciliwung, tidak hanya cukup dilakukan bersih-bersih lumpur, tapi bagaiman rencana pelebaran sungainya, pengerukan, relokasi warga, hingga naturalisasi atau normalisasi.
"Harus ada ketegasan bahwa sungai harus dilebarkan, keberanian ini yang saya enggak lihat. Bahwa ini nanti ada program jelas nanti akan dilebarkan, sosialisasi ke warga terdampak, direlokasi ke rusunawa di mana, dan kapan ada prosesnya. Ini nggak kita lihat dari Januari sampai sekarang," kata dia.
Menurutnya, yang ada sekarang, Pemprov DKI dan pemerintah pusat malah fokus pada Formula E dan revitalisasi Monas.
Dia pun prihatin dengan banjir yang menggenangi fasilitas publik seperti RSCM pada Minggu 23 Februari 2020 setelah sempat banjir pada 2007.
"Ini harusnya fokus totalitas DKI ngurus banjir dulu. Ini yang kita harapkan apalagi ini merupakan ibu kota negara, artinya tempat vital negara seperti di Halim, RSCM itu harus jadi prioritas. Kalau kita bicara RSCM harusnya itu tidak terjadi, tidak ada alasan," kata Nirwono.
Terjebak Beautifikasi
Nirwono pun menilai, banjir yang terjadi karena tidak ada keseriusan mengatasi banjir sejak Januari 2020. Sumur resapan air dan biopori dinilainya tidak banyak berpengaruh mengatasi Jakarta.
Karena yang terpenting adalah perbaikan saluran air, revitalisasi sungai, pengerukan waduk, hingga rehabilitasi saluran drainase secara besar-besaran.
Dia pun mengkritisi revitalisasi trotoar ternyata tidak dibarengi dengan memperbesar saluran airnya. Seharusnya, saat revitalisasi saluran air juga diperbesar. Misalnya lebar trotoar menjadi 3 meter juga dibarengi dengan pelebaran saluran air hingga 2 meter.
"Ini menunjukkan dalam penanganan kota, kita masih terjebak kepada beautifikasi, orang hanya melihat di atas, tidak tahu di dalam saluran air kabel-kabel masih tumpang tindih drainase nggak efektif," kata dia.
Dia pun menilai, warga terdampak banjir secara psikologis stres karena berulang kali mengungsi dan kembali ke rumahnya untuk bersih-bersih.
Nirwono meminta gubernur, sekda, dan jajaran pemprov DKI fokus ke penanganan ke banjir. Kemudian mengecek lagi pompa air, baik permanen maupun mobile apakah siaga atau tidak. Supaya energi tidak hanya untuk polemik revitalisasi Monas dan Formula E.
Nirwono mengatakan, kalau Jakarta dibiarkan tanpa ada perbaikan, maka semakin memperkuat alasan harus pindah. Dia pun khawatir Jakarta akan dibiarkan tenggelam karena sudah tidak jadi ibu kota dan orang tidak lagi memperhatikannya.
"Pemprov DKI, pusat, harus komitmen apapun yang dilakukan, fokus 5 tahun ke depan ini bisa tidak mengurangi banjir Jakarta. Saya nggak berharap Jakarta bebas banjir dalam 5 tahun tetapi ada penurunan signifikan daerah yang tergenang banjir," kata dia.
Fokus ini perlu dilakukan supaya tidak lagi saling menyalahkan dan beda pendapat antara DKI dan pusat. Jangan sampai yang dikorbankan masyarakat terdampak banjir.
"Justru saya melihat warga terdampak kalau nggak ditolong, Pemprov DKI 'membiarkan masyarakat terancam banjir'. Nah keberanian gubernur yang saya belum dilihat, misal Cipinang Melayu mau diapain, daerah bantaran kali mau diapakan," kata dia.
"Pertanyaannya adalah, sebagai seorang gubernur, mau ngapain? Enggak sekedar bersihkan lumpur. Tapi langkah konkret yang perlu keberanian. Bongkar saluran air, saluran air dibersihkan," imbuh Nirwono
Nirwono mengatakan, kalau ada klaim-klaim keberhasilan menangani banjir, harus ada indikatornya. Misalnya berapa revitalisasi embung, situ atau waduk, revitaliasi sungai, pelebaran saluran air yang telah berhasil dilakukan dalam waktu 5 atau 10 tahun.
"Jadi hitungannya dan ukurannya sama. Tidak ada klaim sepihak. Sehingga yang muncul bukan karena suka atau tidak suka," kata Nirwono.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kapan Genangan Tinggal Kenangan?
Sementara itu, pengamat tata kota Yayat Supriatna berpendapat, Jakarta memang berada di wilayah banjir, ada 13 sungai yang bermasalah, berada di wilayah hilir, permukaan tanahnya yang menurun, dan drainase yang tidak tertata.
"Drainase tidak tahu intensitas menampung berapa. Dalam berapa jam saja sudah tergenang. Harusnya genangan tinggal kenangan. Tapi di kita nggak bisa, karena memang tinggal di daerah dataran rendah dan rawan banjir. Maka yang dibutuhkan adalah gerakan waspada bencana," kata Yayat kepada Liputan6.com, Senin (24/2/2020).
Dia mengatakan, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, harus siap dengan apapun yang terjadi. Sebab, warga yang tinggal di daerah langganan banjir, seperti di pinggir sungai, dataran rendah, dan drainase buruk, tidak punya pilihan.
Namun demikian, di daerah yang biasanya tidak pernah banjir namun terendam seperti di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, harus diselidiki penyebabnya.
"Mungkin karena got mampet, adanya sampah, dan faktor lain yang disebabkan air tidak mengalir mudah. Pemerintah harus terbuka, apakah karena saluran pembuangan yang tertutup, pengecilan drainase, pengerjaan trotoar, dan tali air terlalu kecil," kata Yayat.
Dia mengatakan, kalau ada banjir harus dilaporkan, demikian pula jika ada gorong-gorong tertutup sampah harus dibersihkan. Jangan sampai banjir membuat masyarakat menjadi pasrah, masa bodoh, putus asa, dan pasif terhadap situasi yang ada.
"Sikap itu yang kita nggak harapkan apalagi karena kemiskinan, tinggal di daerah rawan banjir. Orang yang terkena banjir itu lelah pikologisnya, ekonominya, dan kesehatan," kata dia.
Yayat mengatakan, untuk mengurangi risiko banjir Jakarta, sudah ada master plan yang dibuat pemerintah pusat. Seperti, peningkatan kapasitas sungai hingga selokan. Namun pertanyaannya, dari rencana itu apakah sudah dilaksanakan atau tidak.
"Sekarang ini dalam jangka pendek nggak bisa membangun proyek-proyek menangani banjir. Bulan-bulan darurat pilihannya, pemerintah melakukan evakuasi seperti tempat pengungsian dan bantuan penyelamatan warga," kata dia.
Dia mengatakan, Jakarta tidak akan bebas banjir yang bisa dilakukan adalah mengurangi risiko banjir supaya dampaknya tidak terlalu luas dan genangannya tidak terlalu lama.
"Belanda saja angkat kaki karena tidak bisa menanganinya," kata dia.
Bagaimana menguranginya, kata Yayat, perlu pendekatan satu per satu, salah satunya pemetaan wilayah, dilihat daerah yang rawan.
"Dan supaya memberi keleluasan kepada Dinas Sumber Daya Alam (SDA) untuk menginvestigasi, pembersihan, dan aspek lainnya supaya mereka mempunyai bekal dan dilindungi dalam penanganan banjir," kata dia.
Lalu bagaimana nasib Jakarta setelah tak lagi jadi ibu kota negara? Yayat mengatakan, pemerintah sudah menganggarkan dana Rp 571 triliun, untuk membenahi masalah Jakarta seperti banjir, kemacetan, hingga masalah kumuhnya,
"Anggaran sudah disiapkan, walaupun tidak lagi ibu kota, masalahnya dikurangi," Yayat menandaskan.
Sementara itu, Nia, warga Kelapa Gading, Jakarta Utara mengatakan, sudah terbiasa dengan banjir di kawasan rumahnya. "Dari 1992 seingat saya banjir, tapi siklus 5 tahunan. Semenjak ada pusat perbelanjaan, perkantoran, ruko dibangun di kawasan rawa setiap tahun banjir," tutur Nia kepada Liputan6.com.
Dia pun mengaku, keluarganya sudah mempunyai persiapan tersendiri jika banjir merendam. Sehingga keluarganya tidak perlu mengungsi ke tempat penampungan. Apalagi, air dan listrik juga tetap menyala seperti biasa.
"Kita sudah punya SOP, jadi nggak berkeluh kesah. Misalnya bagaimana memindahkan kursi, kulkas, kasur pas banjir," ucapnya.
Namun demikian, dia mengaku tetap trauma. Dia selalu was-was kalau hujan. Khawatir banjir. "Ada trauma tersendiri, walapun pindah ke Depok tetap waspada banjir," kata dia.
Dia pun mengatakan, banjir pada awal Januari 2020 terbilang mengejutkan. Sebab, empat tahun sebelumnya, sudah tidak mengalami banjir. "Makanya nggak nyangka, jadi barang-barang jadi rusak, mesin cuci, kursi, lainnya."
Perasaan was was juga menghantui penghuni apartemen di Cakung, Jakarta Timur. Salah seorang penghuninya menyebutkan, saat banjir 1 Januari 2020, lantai basement tempat parkir khusus motor terendam. Alhasil, motornya dan penghuni lain tenggelam.
"Tiap hujan sekarang was-was. Sekarang ada speaker kalau hujan, pengumuman dari sekuriti mau pindahkan motor atau kendaraan yang terparkir di basement," kata Muti.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi pun mengkritik penanganan banjir di Jakarta. Dia menilai, banjir yang terjadi sekarang, termasuk di RSCM Jakarta, karena tidak dikendalikan dengan baik. Ia pun membandingkan dengan pemerintahan periode sebelumnya.
"SOP-nya tidak jelas. Ini kan harus dipersiapkan seharusnya, hujan turun, pompa dimainkan, jadi barang enggak akan ada masalah. Yang saya kritik juga bagaimana SOP-nya antara SKPD yang kita enggak tahu," papar dia, Minggu 23 Februari 2020.
Prasetyo menuding Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kurang mengantisipasi datangnya hujan besar. Contohnya, kata dia, bak kontrol sulit terbuka, akibat dari pelebaran trotoar.
"Kalau mau lebarin trotoar silakan lah. Tapi jangan sampai menutup bak kontrol yang ada di perumahan-perumahan masyarakat yang ada di sekitar Menteng. Terjadilah (banjir) efeknya ke mana-mana," ucap Prasetyo Edi.
Advertisement
Normalisasi Sungai Ciliwung
Ketua Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) Bambang Hidayah menyambangi kantor Gubernur DKI Jakarta. Kedatangannya untuk membahas penanganan banjir yang kerap melanda ibu kota.
Usai pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam, Bambang mengatakan, dalam rapat tersebut disinggung upaya tunggal untuk sodetan Ciliwung adalah pembebasan lahan di Bidara Cina, Jakarta Timur. Sebab menurutnya, faktor lain banjir di Jakarta adalah pengendalian di hulu.
"Karena bagaimanapun juga salah satu penyebab banjir di Jakarta karena air dari hulu kan jadi untuk itu perlu juga yang di hulu itu segera diselesaikan. Kemudian rencana sodetan itu kan masih menunggu Pak Gubernur untuk penentuan lokasi yang dibebaskan karena sodetan Ciliwung ke Banjir Kanal Timur itu kan baru 600 meter," ujar Bambang, Senin (24/2/2020).
Jika pembebasan lahan dilakukan, kata Bambang, setidaknya bisa mengendalikan debit air yang masuk ke Jakarta. Ia mengakui, butuh waktu untuk melakukan pembebasan lahan di Bidara Cina. Apalagi setelah Pemprov DKI kalah gugatan di PTUN.
Bambang Hidayah mengatakan, dalam waktu dekat akan melakukan normalisasi Sungai Ciliwung yang melintas di Pejaten Timur dan Masjid Istiqlal..
"Tahun ini saya ada target juga melakukan normalisasi Ciliwung 1,5 km, bisa kita lakukan di daerah Pejaten Timur sama di Istiqlal," kata Bambang.
Langkah itu dilakukan sebagai upaya penanggulangan banjir di Jakarta dalam waktu dekat. Untuk lahannya, Bambang memastikan tidak ada kendala.
BBWSCC, kata Bambang, juga akan melakukan normalisasi beberapa anak sungai dengan cara pengerukan seperti yang akan dilakukan di Danau Kemayoran. Dari pengerukan tersebut menurut Bambang dampaknya cukup signifikan.
Dia menambahkan, BBWSCC akan membuat pompa Sentiong sebagai upaya saat air laut pasang yang menyebabkan sejumlah titik di Kemayoran, Jakarta Pusat terendam banjir, termasuk underpass Kemayoran.
"Masalahnya karena Sentiong itu pasang lautnya, sehingga air dari Kemayoran tidak bisa dibuang ke Sentiong sehingga airnya terjadi back water salah satunya underpass," kata Bambang.
Sementara itu, Badan Musyawarah (Bamus) DPRD DKI Jakarta membentuk panitia khusus (pansus) banjir. .
"Semua anggota lintas fraksi menyuarakan, oh iya ya, banjir sesuatu yang urgent, ya semua sepakat tadi, ya sudah kalau gitu oke kita setuju kita ada pansus banjir," ujar Wakil Ketua Bamus Zita Anjani di gedung DPRD, Senin (24/2/2020).
Politikus PAN itu mengatakan, pansus banjir dirasa perlu ada untuk menuntaskan masalah banjir secara fokus. Apalagi, banjir di Jakarta terjadi tiga kali dalam kurun waktu dua bulan.
Pembentukan pansus banjir, kata dia menuai pendapat kontra dari PKS, PKB, dan PAN. PKS dan PKB, kata Zita, mengambil sikap kontra sebab mempertanyakan mengenai mekanisme kerja pansus. Sementara PAN mempertanyakan apakah pembentukan pansus banjir disepakati seluruh anggota Bamus.
"Tapi hampir semuanya sepakat," tandas Zita.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka