Liputan6.com, Jakarta - Kualitas udara di Jakarta kian memburuk. Berbagai faktor bisa menjadi penyebabnya, seperti padatnya populasi pertumbuhan penduduk, tingginya mobilitas kendaraan bermotor, kurangnya ruang hijau, serta masih banyak lagi.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), polusi udara menyebabkan sekitar 7 juta kematian prematur per tahun di seluruh dunia, terutama sebagai akibat dari meningkatnya kematian akibat penyakit kardiovaskular, kanker, dan infeksi saluran pernapasan.
Diperkirakan bahwa lebih dari 80% kehidupan di daerah perkotaan yang memantau polusi udara terpapar pada tingkat kualitas udara yang melebihi batas pedoman WHO, dengan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah paling berisiko. Demikian seperti dilaporkan oleh CNN, Rabu (26/2/2020).
Advertisement
"Polusi udara merupakan risiko kesehatan lingkungan paling mendesak yang dihadapi populasi global kita," kata laporan AirVisual.
Bersamaan dengan Hanoi, ibu kota Vietnam, Jakarta telah menyalip Beijing untuk pertama kalinya di antara ibu kota yang paling tercemar di dunia, "dalam perubahan bersejarah yang mencerminkan industrialisasi yang cepat di kawasan itu," kata laporan itu.
Kedua ibu kota memiliki tingkat PM 2.5 tahunan yang sekitar 20% lebih tinggi dari Beijing, menurut laporan itu.
"Kota-kota yang pertumbuhannya cepat perlu membuat pilihan jika mereka ingin tumbuh secara berkelanjutan," kata Yann Boquillod, direktur pemantauan kualitas udara di IQAir.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tuntutan Rakyat
Namun, laporan itu tidak semata-mata memiliki arti yang buruk. Kekuatan rakyat membawa perubahan, kata Direktur Pemantauan Kualitas Udara di IQAir, Yann Boquillod.
"Hingga saat ini, pertumbuhan lebih penting daripada lingkungan, tetapi kami melihat tren yang sangat jelas bahwa orang menuntut lebih banyak dari pemerintah lokal mereka," kata Boquillod.
Dalam satu tahun terakhir penduduk Jakarta telah menuntut pemerintah atas memburuknya polusi udara di kota. Jakarta adalah kota paling tercemar di Asia Tenggara dan ibu kota paling tercemar kelima - naik dari posisi 10 pada 2018, menurut laporan itu.
Dengan fakta tersebut, Jakarta terlihat berada di jalur untuk menjadi megacity terbesar di dunia pada tahun 2030, dengan populasi 35,6 juta, menurut laporan Euromonitor 2018.
"Pertumbuhan cepat kota ini bertepatan dengan tingkat PM2.5 yang tinggi, karena populasi yang bertambah menambah kemacetan lalu lintas, dan permintaan energi berbasis batu bara," kata laporan AirVisual.
Advertisement