Menko Airlangga: Indonesia Harus Senang Disebut Negara Maju, Jangan Sedih

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto meminta masyarakat harus bangga Indonesia dianggap sebagai negara maju oleh AS

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 26 Feb 2020, 15:50 WIB
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memberikan paparan dalam acara Dialog Refleksi Akhir Masa Jabatan Anggota MPR, DPR, dan DPD RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Dialog membahas capaian kinerja DPR, MPR, dan DPD periode 2014-2019. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto memberi tanggapan perihal pencabutan status Indonesia oleh Amerika Serikat (AS) dari negara berkembang menjadi negara maju.

Menurutnya, tidak perlu sedih, justru harus senang karena Indonesia kini jadi negara maju.

"Makanya, kalau dibilang sama Amerika negara maju ya harus senang, masa sedih," ujar Airlangga dalam acara CNBC Economic Outlook pada Rabu (26/02/2020).

 

Airlangga menambahkan, berdasarkan proyeksi yang sudah ada memang Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat di tahun 2045.

Sebelumnya, sempat muncul kekhawatiran jika Indonesia keluar dari negara berkembang, maka konsekuensinya adalah masalah fasilitasi perdagangan.

Sebab, saat status negara berkembang dicabut, Indonesia akan kehilangan fasilitas khusus yang diberikan oleh Amerika Serikat. Salah satunya adalah fasilitas bea masuk impor atau skema generalized system of preferences (GSP) yang ditetapkan AS.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Keluar dari Daftar Negara Berkembang, Apa Dampaknya ke Perdagangan Indonesia?

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan paparan dalam seminar nasional di Auditorium Adhiyana, Jakarta, Senin (3/2/2020). Seminar tersebut mengangkat tema 'Membangun Optimisme dan Peluang di Tengah Ketidakpastian'. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan keputusan Amerika Serikat mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang tak memberi pengaruh besar bagi perdagangan. Sebab, keputusan AS tersebut lebih spesifik kepada tambahan bea masuk atau Countervailing Duties barang Indonesia.

"Sebenarnya kalau dilihat dari pengumuman itu lebih ke countervailing duty (CVD) dan itu sangat spesific untuk CVD. Dan itu selama ini di Indonesia hanya sekitar 5 komoditas yang menikmati itu jadi sebetulnya enggak terlalu besar sekali pengaruhnya kepada perdagangan kita," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (24/2).

Sri Mulyani melanjutkan, keputusan Negara Paman Sam tersebut juga tidak berpengaruh besar terhadap fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang selama ini telah dinikmati Indonesia sebagai salah satu negara berpendapatan menengah.

"CVD ini berbeda dengan GSP, jadi dan tidak ada hubungannya dengan berbagai hal yang lain. Jadi kita akan lihat. Tidak ada hubunganya itu sama sekali," jelasnya.

Selama ini hanya terdapat lima komoditas Indonesia yang menikmati fasilitas CVD. Walau demikian, dia berharap Indonesia terus meningkatkan daya saing (competitiveness) sebagai negara berpendapatan menengah.

"Jadi ya memang harus terus meningkatkan competitiveness kita saja. Kalau dari sisi itu kan yang selama ini menjadi pusat perhatian Presiden. Produktivitas, competitiveness, connectivity, itu semua yang akan menciptakan cost of product yang lebih efisien," jelas Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut berharap fasilitas GSP dari pemerintah AS bisa tetap dipertahankan. "GSP masih belum ditetapkan, jadi kita akan tetap lakukan upaya terbaik untuk tetap dapat GSP itu. Dan tentu kita juga akan lihat dari sisi industri kita untuk semakin kompetitif," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya