Misteri Matinya Ikan-Ikan di Laut Ternate dan Halmahera

Birunya laut di Pantai Nukila, Ternate Tengah, kini tinggal kenangan. Kondisinya sangat memprihatinkan, air laut menjadi coklat dan banyak ikan yang mati.

oleh Hairil Hiar diperbarui 27 Feb 2020, 05:00 WIB
Warna air laut di Ternate mulai berubah beberapa hari terakhir. Kondisi itu ditemukan di beberapa titik pada kedalaman laut 5 sampai 23 meter. (Liputan6.com/ Hairil Hiar)

Liputan6.com, Ternate - Brush Uswalk sedih, peselancar asal Amerika Serikat itu tak lagi menjumpai birunya laut di Pantai Nukila, Ternate Tengah, Rabu (26/2/2020).

Lelaki 62 tahun itu sudah tiga hari berada di Kota Ternate. Ia baru saja dari Ambon, Maluku. Brush mengaku prihatin dengan kondisi air laut di pantai tersebut. Saat menyelam, ia menemukan kondisi laut kotor dan berubah warna menjadi coklat kemerahan.

"Pas turun menyelam saya kaget dengan warna air laut. Apalagi kondisi airnya itu juga disertai dengan penemuan beberapa jenis ikan langka yang mati," kata Brush.

Brush bilang, sejak jadi peselancar dan menyelam di beberapa negara belum menemukan kerusakan laut semengerikan ini. "Kalau laut kotor sudah pernah, tapi ikan mati ini fenomena yang langka," katanya.

Aditya Agoes, penyelam dan pengelola Nasijaha Dive Center Ternate mengakui, warna air laut di Ternate mulai berubah beberapa hari terakhir. Kondisi itu ditemukan di beberapa titik pada kedalaman laut 5 sampai 23 meter. Selebihnya 24-25 meter itu bersih dan jernih. 

Ia khawatir kondisi itu berdampak pada manusia yang mengonsumsi ikan, selain juga menghilangnya keanekaragaman jenis biota laut dan ikan yang hidup di situ.

"Beberapa jenis ikan yang kami temukan mati secara mendadak itu di antaranya walking shark (hiu berjalan), kakatua, ikan kulit pasir, dan beberapa jenis ikan kecil," ujar Aditya.

Aditya mengaku tengah menyelidi apa yang sebenarnya terjadi. Sampel air dan daging ikan mati di kedalaman 5-23 meter itu sudah dibawa ke Laboratorium Unkhair Ternate.

Ruslan Biyan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate mengatakan, kondisi air laut dan ikan-ikan yang ditemukan mati mendadak itu sudah ditindaklanjuti tenaga ahli.

Ruslan mengimbau masyarakat di Ternate dan sekitarnya untuk tetap tenang, dan sementara waktu tidak mengonsumsi ikan-ikan mati mendadak di laut beberapa hari terakhir. 

"Kita belum bisa ambil kesimpulan, tapi untuk antisipasi hal yang tidak kita inginkan, bagusnya daging ikan yang mati mendadak di laut ini jangan dimakan," jelas Ruslan.

 


Penyebab Ikan Mati

Ruslan mengatakan, kotornya air laut dan matinya ikan-ikan, sehari sebelumnya juga ditemukan di pesisir pantai Pulau Makean, arah selatan Pulau Ternate.

Ia menyatakan, penyebab dari peristiwa tersebut belum dapat disimpulkan. Apakah karena pengaruh limbah, ataukah karena perubahan suhu alam yang terjadi di bumi saat ini.

"Kesimpulan ini yang masih ditunggu sesuai hasil uji lab dari Perikanan Unkhair," tambahnya.

M Ghufran H Kordi, Peneliti Perikanan dan Kelautan BaKTI atau Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia mengemukakan, fenomena air laut di Maluku Utara berubah menjadi warna coklat kemerahan disertai beberapa jenis ikan yang mati bisa disebabkan oleh pencemaran.

"Bisa juga karena ledakan plankton, khususnya fitoplankton (yang lebih populer dikenal dengan nama Harmful Algal Bloom atau HAB). Namun, untuk memastikan fenomena tersebut  perlu dilakukan pemeriksaan terhadap ikan-ikan yang mati dan analisis kualitas air," katanya.

Mantan Dosen Jurusan Budi Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu menjelaskan, HAB adalah istilah generik yang digunakan untuk mengacu pada pertumbuhan lebat fitoplankton di laut maupun di perairan payau.

"Pertumbuhan lebat fitoplankton (ledakan populasi plankton) ini yang dapat menyebabkan kematian massal ikan, mengontaminasi makanan bahari seperti seafood dengan toksin, racun yang diproduksi oleh fitoplankton, dan mengubah ekosistem sedemikian rupa yang dipersepsikan oleh manusia sebagai mengganggu atau harmful," jelas Ghufran.

Ghufran menyatakan, fenomena ini dikenal sebagai red tide untuk menggambarkan ledakan populasi fitoplankton yang dapat mengubah warna air laut tersebut. Ghufran bilang, ledakan populasi fitoplankton ini tidak berkaitan dengan tidealias pasang surut air laut.

 

 


Fenomena alam Elnino

Seorang warga menyaksikan ikan-ikan mati di Pantai Nukila, Ternate Tengah, Rabu (26/2/2020). (Liputan6.com/ Hairil Hiar)

Di Indonesia, fenomena HAB pernah dicatat pertama kali terjadi pada 1976 di Teluk Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara. Fenomena ini menyebabkan jatuhnya korban manusia, yang oleh penduduk setempat menyebutnya air beracun berwarna merah.

Kemudian terjadi lagi pada 1983 di Nusa Tenggara Timur. Pada saat itu, lanjut Ghufran, Gubernur NTT Ben Boy, melaporkan adanya peristiwa keracunan dan kematian massal penduduk setelah memakan ikan yang mati mengambang di permukaan perairan Pantai Selat Lewotobi, Desa Wulanggitang, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

"Kasus itu dilaporkan 240 orang keracunan dan empat orang meninggal," sambung Ghufran.

"Setelah dilakukan penelitian dengan memeriksa sampel ikan dan air laut yang diambil pada saat kejadian, diketahui penyebab HAB adalah blooming Pyrodinium bahamenses var compressum. Ini merupakan penyebab HAB utama di Pasifik Selatan termasuk di perairan Asia Tenggara," lanjut Ghufran.

Menutunya, HAB oleh Pyrodinium bahamense var compressum yang terjadi di perairan Indonesia ini, sangat jelas mempunyai keterkaitan dengan kejadian-kejadian HAB di negara-negara di Asia Tenggara bersamaan dengan terjadinya El Nino.

El Nino adalah fenomena  memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur. Sedangkan di Indonesia secara umum, dampak dari El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan.

HAB yang terjadi di Nunukan, Pulau Sebatik Selatan, Kalimantan Timur pada 1987, lanjut Ghufran, juga terjadi bersamaan dengan kejadian yang sama di Sabah, Malaysia. 

Semua kejadian HAB, baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara, kata Ghufran, bersamaan waktunya dengan terjadinya ENSO atau El Nino pada 1983, 1987, dan tahun 1988.

"Dengan demikian, kejadian HAB baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara ini umumnya sangat berkaitan dengan fenomena alam El Nino, yang merupakan salah satu tanda terjadinya Global Climate Chan ge di dunia (Adnan & Sidabutar, 2004)," sebut Gufran.

 

 


Perlu Waspada

Ghufran mengemukakan, biota laut dan ikan yang mati akibat fenomena HAB ini ketika dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan. Ia menambahkan, selain menimbulkan gangguan pada kesehatan manusia dan lingkungan, juga dapat menimbulkan kerugian ekonomi.

"Berita HAB yang tersebar di media dapat menyebabkan turunnya omset perdagangan hasil-hasil perikanan, karena orang menjadi takut mengonsumsi seafood," jelasnya.

Ia menambahkan, HAB adalah peristiwa alam yang berhubungan dengan cuaca. Namun, HAB juga dipicu oleh aktivitas manusia di daratan dan di lautan. 

Pengayaan nutrien, seperti halnya nitrat dan fosfat, kata Ghufran, selain berasal dari zat hara daratan (run off), juga dapat disebabkan dari aktivitas budi daya di pantai. 

"Begitu pula pemindahan biota budi daya, seperti kima dan kerang/tiram dari satu daerah ke daerah lain juga dapat menyebabkan tingginya resiko ‘terinfeksi’ suatu perairan karena terbawanya jenis-jenis mikro alga berbahaya yang berasal dari perairan lain," jelasnya.

"Untuk menghindari bahaya ini, masyarakat tidak boleh mengonsumsi ikan-ikan yang mati. Masyarakat juga tidak mengambil dan mengonsumsi kerang atau siput yang berada di daerah HAB dan sekitarnya," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya