Ekonom: Label Negara Maju Tak Beri Keuntungan Apapun bagi Indonesia

Ekonom menilai label sebagai negara maju justru memberikan lebih banyak dampak negatif ketimbang positif.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 26 Feb 2020, 20:30 WIB
Deretan gedung bertingkat terlihat dari jendela gedung pencakar langit di kawasan Jakarta, Kamis (26/12/2019). Pemerintah memproyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan di kisaran 5,2%, berada di bawah target APBN 2020 sebesar 5,3%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta -s Sejumlah ekonom menilai, pencabutan Indonesia dari daftar negara berkembang dan naik sebagai negara maju oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) tak akan memberikan dampak positif apapun bagi NKRI.

Seperti yang diungkapkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah Redjalam. Ketimbang membanggakan status baru tersebut, ia mengimbau pemerintah agar melihatnya sebagai pemicu untuk memperbaiki perekonomian nasional.

"Ya enggak ada. Paling kalau mau lebih positif cara melihatnya harus dijadikan momentum membangun industri kita yang lebih efisien dan berdaya saing agar tidak terus menerus berharap dari fasilitas yang diberikan negara maju," tuturnya kepada Liputan6.com, Rabu (26/2/2020).

Piter pun menolak anggapan bahwa dengan status negara maju akan semakin membuka pintu bagi investasi asing masuk ke Indonesia. "Enggak ngefek mas," sambungnya.

Hal senada juga dilontarkan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Dia mengatakan, label sebagai negara maju justru memberikan lebih banyak dampak negatif ketimbang positif.

"Lebih banyak ruginya. (Tapi ada keuntungannya?) Belum ada," ujar dia.

Bhima pun menyoroti potensi pencabutan GSP oleh Amerika Serikat yang justru bakal melemahkan pasar ekspor bagi produk-produk asal Indonesia.

"Kita masih butuh GSP apalagi konteks permintaan ekspor ke AS melemah ditengah perang dagang dan virus corona. Ada 3.500 produk yang dapet fasilitas GSP, sehingga kalau GSP ditarik daya saing produk indonesia ke AS bisa turun karena harga jual jauh lebih mahal," ungkapnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Indonesia Jadi Negara Maju, Defisit Neraca Dagang Semakin Melebar

(Foto:@Pelindo III)

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, mengatakan bahwa keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang akan sangat mempengaruhi fasilitasi perdagangan.

"Jadi, ketika begitu kita keluar dari negara berkembang ada konsekuensinya dari masalah fasilitas perdagangan. Kejadian ini akan membuat kita berisiko defisit," ucapnya pada acara IDX Channel Economic Forum, Senin (24/02/2020).

Pencabutan status Indonesia sebagai negara berkembang akan berakibat pada semakin melebarnya defisit neraca perdagangan.

Sebab, saat status negara berkembang dicabut, Indonesia akan kehilangan fasilitas khusus yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS). Salah satunya adalah fasilitas bea masuk impor atau skema generalized system of preferences (GSP) yang ditetapkan AS.

Setelah GSP tidak berlaku lagi, Indonesia diharuskan untuk membayar bea masuk dengan tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN). Itu lah yang nantinya dapat membuat Indonesia kehilangan daya saingnya di pasar AS. 


Keluar dari Daftar Negara Berkembang, AS Anggap Indonesia dan China Sudah Maju

Pemandangan gedung-gedung bertingkat di Ibukota Jakarta, Sabtu (14/1). Hal tersebut tercermin dari perbaikan harga komoditas di pasar global. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Amerika Serikat (AS) mengeluarkan sejumlah negara dari daftar negara berkembang. Negara-negara tersebut antara lain China, India, Brasil, Afrika Selatan, serta Indonesia.

Dikutip dari TheStar, kelima negara tersebut dihapus dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat, dan dianggap sebagai negara maju terkait perdagangan internasional. 

Melalui rilisnya, Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative/USTR) menyatakan merevisi metodologi negara berkembang untuk investigasi atas bea balik, yaitu sebuah bea yang dikenakan pada impor. Hal tersebut karena pedoman sebelumnya yang diterbitkan tahun 1998 sekarang sudah usang.

Xue Rongjiu, Wakil Direktur China untuk Studi WTO yang berbasis di Beijing, mengatakan keputusan AS yang mengeluarkan China dari negara berkembang dan memasukkannya ke dalam negara maju telah merusak otoritas sistem perdagangan multilateral. 

"Tindakan unilateralis dan proteksionis seperti itu telah merugikan kepentingan China dan anggota WTO lainnya," kata Xue.

Pasalnya, penghapusan negara-negara dari daftar internal negara-negara berkembang akan membuat AS lebih mudah untuk melakukan penyelidikan terhadap kegiatan subsidi ekspor.

Sementara itu, China selalu dengan tegas membela sistem multilateral. Hubungan perdagangan dan ekonominya dengan mitra negara maju maupun negara berkembang telah membuktikan bahwa mekanisme negosiasi multilateral efektif, dan telah mendorong pertumbuhan ekonomi dunia. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya