Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat (AS) mengambil kebijakan yang cukup mengagetkan bagi Indonesia. Negara Paman Sam tersebut mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang. Tak sendiri, Indonesia keluar dari daftar tersebut bersama dengan negara lain, seperti China, India, Brasil, serta Afrika Selatan.
Indonesia keluar dari daftar negara berkembang setelah Kantor Perwakilan Dagang AS atau US Trade Representative (USTR) merevisi metodologi perhitungan negara berkembang untuk investigasi atas bea masuk, yaitu sebuah bea yang dikenakan pada impor. Hal tersebut dikarenakan pedoman sebelumnya yang diterbitkan tahun 1998 sekarang sudah usang.
Ada tiga aturan mengapa sebuah negara tak lagi masuk kategori berkembang dan tak berhak mendapat perlakuan spesial dari AS. Pertama, pendapatan nasional per kapita di atas USD 12 ribu. Kedua, share ke perdagangan dunia lebih dari 0,5 persen. Ketiga, mempertimbangkan keanggotaan di organisasi ekonomi internasional.
Baca Juga
Advertisement
Pendapatan nasional per kapita Indonesia baru USD 3.027 per 2018. Namun, Indonesia masuk kategori kedua dan ketiga.
"Perwakilan Dagang AS mempertimbangkan bahwa negara dengan share 0,5 persen atau lebih di dalam perdagangan dunia merupakan negara maju," jelas USTR. "Keanggotaan G20 mengindikasikan bahwa sebuah negara itu maju," tulis USTR dalam keterangannya.
Keputusan itu selaras dengan keluhan Presiden Donald Trump yang sering kesal karena banyak negara mengaku masih berkembang, sehingga dapat untung dari aturan dagang AS. Misal, terkait aturan minimum subsidi produk ekspor.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menyatakan, dikeluarkannya Indonesia dari negara berkembang tersebut harus ditanggapi dengan senang.
"Kalau dibilang sama Amerika negara maju ya harus senang, masa sedih," ujar Airlangga pada Rabu 26 Februari 2020.
Airlangga menambahkan, berdasarkan proyeksi yang sudah ada, memang Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat di 2045.
Dengan status baru tersebut membuat produk Indonesia berdaya saing. Keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang tidak membuat biaya ekspor barang menjadi naik. Sebab, sudah ada perjanjian bilateral sebelumnya yang mendasari.
Tak Berpengaruh Besar
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan keputusan AS mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang tak memberi pengaruh besar bagi perdagangan. Sebab, keputusan AS tersebut lebih spesifik kepada tambahan bea masuk atau Countervailing Duties (CVD) barang Indonesia.
"Sebenarnya kalau dilihat dari pengumuman itu lebih ke countervailing duty (CVD). Selama ini di Indonesia hanya sekitar 5 komoditas yang menikmati itu, jadi sebetulnya enggak terlalu besar sekali pengaruhnya kepada perdagangan kita," ujar Sri Mulyani, pada Senin 24 Februari 2020.
Baca Juga
Keputusan Negara Paman Sam tersebut juga tidak berpengaruh besar terhadap fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang selama ini telah dinikmati Indonesia sebagai salah satu negara berpendapatan menengah.
Adapun, GSP adalah pemotongan bea masuk barang impor yang datang dari negara berkembang ke Amerika Serikat.
"CVD ini berbeda dengan GSP, jadi dan tidak ada hubungannya dengan berbagai hal yang lain. Jadi kita akan lihat. Tidak ada hubunganya itu sama sekali," jelasnya.
Sri Mulyani berharap, dengan naiknya status Indonesia tersebut bisa meningkatkan daya saing (competitiveness) sebagai negara berpendapatan menengah.
"Jadi ya memang harus terus meningkatkan competitiveness kita saja. Kalau dari sisi itu kan yang selama ini menjadi pusat perhatian Presiden. Produktivitas, competitiveness, connectivity, itu semua yang akan menciptakan cost of product yang lebih efisien," jelas Sri Mulyani.
Meski demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut berharap fasilitas GSP dari pemerintah AS bisa tetap dipertahankan.
"GSP masih belum ditetapkan, jadi kita akan tetap lakukan upaya terbaik untuk tetap dapat GSP itu. Dan tentu kita juga akan lihat dari sisi industri kita untuk semakin kompetitif," tandasnya.
Memperlancar Arus Investasi Asing
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden (KSP) Denni Puspa Purbasari, menyatakan masuknya Indonesia ke kategori negara maju tersebut memang sejalan dengan gerak pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia.
Jika dilihat dari purchasing power parity (PPP), pendapatan per kapita Indonesia sudah berada di angka USD 12.670. Angka ini melebihi ambang batas negara menjadi negara maju yang sebesar USD 12.000.
Menurut Denni, sebenarnya pencabutan tarif ini sudah diantisipasi oleh pemerintah. Oleh sebab itu, perubahan status tersebut tidak akan mengubah kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia sehingga pendapatan per kapitanya terus meningkat.
Baca Juga
"Kita akan tetap pada kebijakan yang akan terus membuat pendapatan per kapita Indonesia meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia," ungkap Denni.
Dengan adanya perubahan status ini, Indonesia mempunyai banyak peluang. Menurutnya cepat atau lambat Indonesia akan mengarah untuk menjadi negara maju.
Negara maju tidak berbicara soal pendapatan saja, tetapi juga tentang sikap bahwa Indonesia bisa percaya diri untuk lebih produktif dan meningkatkan produksi agar sejajar dengan negara maju lainnya.
"Dengan perubahan status ini membuat Indonesia lebih percaya diri untuk berproduksi secara efisien seperti negara maju, menurut Saya spiritnya ke arah sana," papar Denni.
Senada, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pun juga mengatakan bahwa banyak dampak positif yang didapat Indonesia dengan menyandang status sebagai negara maju. Salah satunya adalah soal investasi.
Status baru Indonesia sebagai negara maju ini akan turut memperlancar masuknya investasi asing. "Ya lebih melancarkan," kata dia.
Advertisement
Dampak Tak Mengerikan
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, sebenarnya pencabutan ini tidak begitu berpengaruh karena tidak berkaitan dengan GSP.
"Kalau kita lihat kan khawatirnya kena GSP. Tapi sudah diklarifikasi kan kalau itu nggak ada hubungannya. Hubungannya itu cuma dengan WTO, dengan CVD law-nya Amerika," ujar Shinta saat dihubungi Liputan6.com.
Lebih lanjut, hukum pengenaan tarif anti subsidi atau countervailing duty diatur dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures yang dikeluarkan oleh World Trade Organization (WTO) dan dalam hukum tersebut membahas hal teknis implementasi subsidi bea masuk barang impor.
"Jadi ini mencakup investigasi, ada tidaknya subsidi perdagangan, berapa batas toleransi subsidi dan lainnya," imbuh dia.
Memang diakui, mungkin setelah naik status jadi negara maju, Indonesia akan mendapat toleransi subsidi yang lebih rendah. Asal tahu saja, saat masih jadi negara berkembang, toleransi subsidi bea masuk barang impor Indonesia ke Amerika bisa mencapai 2 persen.
"Nah, kalau sudah jadi negara maju mungkin jadi lebih rendah 1 persen. Ini kita masih dapat GSP kok, dan under review untuk kelanjutannya," katanya. Pun, dampak ke kondisi ekspor Indonesia juga dinilai tidak akan semengerikan yang dibayangkan.
"GSP-nya sendiri saat ini sebenarnya cuma USD 1,8 miliar dari total ekspor sebesar USD 21 miliar, meskipun berdampak tapi kan nggak besar-besar amat," kata Shinta mengakhiri.
Menko Airlangga pun menyatakan hal yang sama. Airlangga mengatakan, keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang tidak membuat biaya ekspor barang menjadi naik. Sebab, sudah ada perjanjian bilateral sebelumnya.
"Kalau biaya ekspor impor kan ada perjanjian yang sedang di proses. itu bisa diselesaikan secara bilateral. Yah kita kan optimis, sekarang kita punya GSP yang hanya 20 persen," jelasnya.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyatakan Indonesia siap meningkatkan daya saing, khususnya untuk terus meningkatkan ekspor ke AS. Selain itu, status Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP tidak terdampak.
“Dikeluarkannya Indonesia dalam kategori negara berkembang tersebut, artinya daya saing produk Indonesia harus ditingkatkan agar kita terus dapat memenangkan pasar ekspor Indonesia. Sementara itu, perubahan kriteria negara berkembang yang ditetapkan USTR tersebut hanya berlaku dalam aturan pengenaan CVD dan tidak berdampak pada status Indonesia sebagai negara berkembang penerima fasilitas GSP," tegas Mendag Agus.
Menurut USTR, tiga kriteria baru yang diterapkan AS untuk negara berkembang dari pengecualian de minimis CVD, misalnya Argentina, Brasil, India, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Indonesia dikeluarkan dari pengecualian karena keanggotaan Indonesia dalam G-20 dan memiliki pangsa total perdagangan 0,9 persen.
Mendag Agus menambahkan, saat ini pemerintah Indonesia dan pemerintah AS masih terus mengadakan konsultasi terkait country review penerima program GSP. Status negara berkembang penerima fasilitas GSP sendiri diatur dalam statute yang berbeda dibawah Trade Act 1974.
Tak Beri Keuntungan
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah Redjalam mengatakan, ketimbang membanggakan status baru tersebut, ia mengimbau pemerintah agar melihatnya sebagai pemicu untuk memperbaiki perekonomian nasional.
"Ya enggak ada. Paling kalau mau lebih positif cara melihatnya harus dijadikan momentum membangun industri kita yang lebih efisien dan berdaya saing agar tidak terus menerus berharap dari fasilitas yang diberikan negara maju," tuturnya kepada Liputan6.com.
Piter pun menolak anggapan bahwa dengan status negara maju akan semakin membuka pintu bagi investasi asing masuk ke Indonesia. "Enggak ngefek," sambungnya.
Hal senada juga dilontarkan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Dia mengatakan, label sebagai negara maju justru memberikan lebih banyak dampak negatif ketimbang positif.
"Lebih banyak ruginya. (Tapi ada keuntungannya?) Belum ada," ujar dia.
Bhima pun menyoroti potensi pencabutan GSP oleh Amerika Serikat yang justru bakal melemahkan pasar ekspor bagi produk-produk asal Indonesia.
"Kita masih butuh GSP apalagi konteks permintaan ekspor ke AS melemah ditengah perang dagang dan Virus Corona. Ada 3.500 produk yang dapet fasilitas GSP, sehingga kalau GSP ditarik daya saing produk indonesia ke AS bisa turun karena harga jual jauh lebih mahal," ungkapnya.
Advertisement
Buruh Menolak
Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menolak label baru Indonesia sebagai negara maju. Sebab, secara Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2019 lalu belum mencapai kisaran USD 4.000 per kapita per tahun.
"Kalau menurut saya dari income per kapita kita masih belum USD 4.000. Kalau memang Omnibus Law katanya akan mencapai USD 6.100-12.000. Tapi kan dengan konteks income per kapita kita yang masih segitu itu memang belum pantas lah kita disebut sebagai negara maju," kata Sekjen OPSI Timboel Siregar kepada Liputan6.com.
Timboel juga mengatakan, status baru tersebut nantinya justru akan menyulitkan Indonesia di sektor perdagangan internasional. Dia khawatir Indonesia sebagai negara maju tak bisa beradaptasi jika bea ekspor dinaikan, seeta pemberian potongan bea masuk impor (General System of Preference/GSP) dicabut.
"Jadi ada persoalan bagaimana pendefinisian baru tentang Indonesia, saya khawatir ekspor kita menurun. Artinya berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kan salah satunya ekspor. GSP juga mau dicabut dan sebagainya," tuturnya.
"Kemudian bagaimana juga terkait dengan konteks perdagangan kita. Utang masih tinggi, saya pikir ini agak sedikit sulit malah mendefinisikan kita negara maju. Mungkin bisa jadi tantangan kita untuk maju terus, pemicu bagus. Tapi justru kita agak sulit," tambahnya.
Selain itu, Timboel juga menilai bahwa pencabutan label negara maju oleh Amerika Serikat merupakan upaya politik dagang yang coba diluncurkan Presiden AS Donald Trump.
"Saya enggak begitu percaya sama Trump. Tapi kalau IMF, World Bank, dan sebagainya sudah mengatakan itu, mungkin. Tapi masalahnya mereka juga belum ngomong. Kalau Trump itu kan hanya sekedar politik perdagangan aja," cibirnya.
"Jangan terlena lah. Menteri Luar Negeri aja kan tepuk tangan tuh. Harus dilihat gitu dampak dari status ini," dia menandaskan.