Apa Kabar Penyintas Bencana Palu Setelah 1,5 Tahun?

Pemulihan infrastruktur pertanian sangat lamban, dan pendapatan mereka anjlok hingga 80%.

oleh Heri Susanto diperbarui 27 Feb 2020, 19:00 WIB
Lahan pertanian di Desa Lero, Sigi yang rusak terdampak gempa dan kekeringan, Selasa (18/2/2020). (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto)

Liputan6.com, Sigi - Namanya Sairin (62 th). Ia petani mapan di Desa Jono Oge, Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi. September 2018, bencana datang, gempa, tsunami disusul likuefaksi mengharuskan Sairin kehilangan rumah, harta benda, dan sawah yang terkubur lumpur likuefaksi.

Berdasar data di BPBD Sulteng, bersama sawah Sairin ada juga 209,9 hektar rusak yang terbagi dalam lahan pertanian dan permukiman di Desa Jono Oge.

Setahun setengah berlalu. Sairin dan Isah (58), istrinya masih saja tinggal di Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun lembaga kemanusiaan di desa tersebut. Hidup sebagai penyintas tenpa bekal lahan untuk bertani sebagai satu-satunya ketrampilan yang ia miliki.

Suami istri itu terus berusaha keras mencari sumber ekonomi alternatif selain pertanian sawah seperti sebelum likuefaksi. Hasilnya tak seberapa, tapi ia pantang menyerah.

"Sekarang kerja serabutan macam kuli bangunan. Kadang garap kebun milik teman yang saya sewa. Istri juga sekarang jualan makanan kecil di pasar," kata Sairin di  huntaranya.

Sairin dan istrinya, Isah sedang beristirahat di depan huntaranya di Desa Jono Oge, Sigi setelah menggarap kebun yang disewanya, Kamis (20/2/2020). (Foto: Liputan6.com / Heri Susanto)

Rusaknya irigasi Gumbasa dan jaringannya yang jadi sumber utama pengairan di Sigi membuat pemulihan ekonomi penyintas makin kesulitan.

"Kalau lahan pertanian dan pengairan Gumbasa cepat diperbaiki ya mungkin bisa cepat bangkit walaupun. Sampai sekarang, air masih sulit didapat," kata  Sairin.

Sairin tak sendirian. Masih banyak para penyintas likuefaksi berbasis petani, bernasib sama di Kabupaten Sigi. Curah hujan minim, rusaknya jaringan irigasi teknis Gumbasa harus menghentikan pengairan di 8.000 hektar lahan pertanian.

 


Apa yang Sudah Dilakukan Negara?

Kepala BPTP Sulteng, Fery Fahrudin Munier saat diwawancarai di kantornya, Senin (24/2/2020). (Foto: Liputan6.com / Heri Susanto)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)  Sulawesi Tengah mencatat, kerusakan lahan sawah akibat likuefaksi dan rusaknya irigasi di Sigi mencapai 6.611,2 hektar. Kerusakan yang lebih serius dibanding Kota Palu, Donggala maupun Kabupaten Parigi Moutong. Ada 5.510 penyintas bencana di Sigi kehilangan sumber ekonomi utamanya sebagai petani.

Kepala BPTP Sulteng, Fery Fahrudin Munier mengungkapkan berdasarkan survei tahun 2019, pendapatan rata-rata petani di Sigi turun drastis, dari  Rp2.865.833 sebelum bencana menjadi Rp533.000 setelah bencana.

"Turun hingga 80 persen. Terendah dibanding petani daerah lain yang terdampak bencana," kata Kepala BPTP Sulteng, Fery Fahrudin Munier.

Lalu apa yang sudah dilakukan negara?

BPTP sendiri berupaya mendorong petani sawah menanami lahan dengan tanaman yang tidak butuh banyak air. Padi gogo, jagung, kacang-kacangan, dan bawang menjadi pilihan untuk mengganti padi sawah karena punya nilai ekonomi.

 


Sampai Kapan?

Lahan pertanian di Desa Lero, Sigi yang rusak terdampak gempa dan kekeringan, Selasa (18/2/2020). (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto)

Di ladang-ladang palawija itu menurut Munier penerapan teknologi sumur dalam dan dangkal bisa diterapkan menggantikan pengairan dari Irigasi teknis Gumbasa. Jaringan irigasi Gumbasa yang rusak diprediksi baru selesai dikerjakan tahun 2023.

"Kajian kami, penggunaan sumur dalam dengan pipanisasi bisa mengairi 10 sampai 15 hektar lahan palawija atau satu kelompok tani. Di beberapa tempat sudah kami uji dan berhasil,” kata Munir.

BPTP berharap dengan cara itu kondisi para petani penyintas bencana di Sigi berangsur pulih.

"Memang pemulihan bertahap. Paling tidak dengan cara itu penyintas bisa melupakan peristiwa yang telah dialaminya dengan bertani kembali meski terbatas,” kata Munier.

Perbaikan jaringan Gumbasa dilakukan Kementerian PUPR. Tahap pertama, Maret 2020 sudah bisa mengairi 1.070 hektar lahan sawah. Namun hingga Februari 2020 ini baru 7 kilometer jaringan irigasi gumbasa yang telah diperbaiki. 

Simak video pilihan berikut:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya